Mangrove dan Strategi Pembangunan yang Lestari

Mangrove dan Strategi Pembangunan yang Lestari

MANGROVE dan Pak Jokowi cekeran menjadi viral hari-hari ini. Presiden RI Joko Widodo menempatkan mangrove menjadi salah satu strategi pembagunan lestari (sustainable development) Indonesia. Mangrove, yang dikenal mampu menyimpan karbon 4-5 kali lebih banyak dibanding hutan tropis daratan, memiliki potensi besar sebagai sumber daya penyerap karbon. Indonesia pun terkenal memiliki hutan mangrove yang luas. Dari total sekitar 16,5 juta ha mangrove dunia, Indonesia memiliki 3,4 juta ha (21 persen).

Rehabilitasi dan preservasi mangrove merupakan salah satu pengejawantahan kesepakatan global perubahan iklim dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement). Pemerintah berencana melakukan rehabilitasi mangrove seluas 34.000 ha di seluruh Indonesia. Hal ini ditegaskan Presiden RI ketika menanam mangrove bersama warga lokal di Pantai Wisata Raja Kecik, Desa Muntai Barat, Kec. Bantan, Bengkalis, Kep. Riau, Selasa 28 Sep 2021.  Kegiatan tersebut untuk menjawab kerusakan hutan mangrove yang tercatat sekitar 600.000 ha. Bentuk kerusakan bisa disebabkan oleh alih fungsi menjadi pertanian, perkebunan, pemukiman, tambak perikanan, infrastruktur, juga illegal logging, pencemaran limbah dan abrasi. Mengapa hal ini terjadi?

Di samping hutan mangrove menjadi penahan karbon (carbon sink), hutan mangrove juga mampu menahan abrasi dan untuk kegiatan wisata.  Melestarikan hutan mangrove juga berarti menghindarkan ancaman menyusutnya daratan (mungkin juga pemukiman, lahan pertanian dan lainnya). Kayu mangrove juga merupakan bahan bakar, sementara buah mangrove juga bisa diolah untuk camilan. Dengan demikian, terdapat konflik jenis penggunaan mangrove yang mungkin dilakukan: ada yang melestarikan (sebagai penyimpan karbon, menahan abrasi, dan sumber bahan camilan), namun penggunaan kayu mangrove untuk bahan bakar bersifat tidak melestarikan, apalagi kalau dikonversi untuk tambak, pemukimam dll. Bagaimana memilih alternatif penggunaan lahan mangrove ini?

Pembangunan Lestari

Penilaian terhadap jenis manfaat mangrove ini bukan merupakan hal yang sederhana. Dasar penentuan pilihan adalah manfaat yang diperoleh. Berapa rupiah nilai manfaat mangrove sebagai penyimpan karbon? Sebagai penahan abrasi? Kesulitan ini muncul karena tidak terdapat pasar (harga) jasa penyimpan karbon dan penahan abrasi. Berbeda dengan nilai kayu bakar atau nilai camilan, karena bisa djual ke pasar yang bisa dilakukan penghitungan nilainya (valuasi). Untuk wisata, juga sudah berkembang metode valuasinya. Oleh karena itu, upaya membandingkan mana jenis penggunaan lahan mangrove yang paling tinggi harus dilakukan valuasi terlebih dahulu.

Sebagai pedoman praktis dalam pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan yang lestari, Prof. Emil Salim, menggarisbawahi bahwa penilaian dan penggunaan sumber daya harus mempertimbangkan 3 hal (triple bottom line), yaitu manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan manfaat lingkungan. Di dalam ilmu ekonomi lingkungan (environmental economics), juga terdapat pedoman bahwa penilaian bisa menggunakan metode biaya transpor (travel cost) maupun penilaian kontingensi (contingency approach). Tugas penilaian ini merupakan tugas pembuat kebijakan, pemerintah. Yang diperlukan kemudian adalah kemauan (di samping kemampuan) untuk mempergunakan metode-metode ini di dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam. Persyaratan AMDAL dan berbagai aturan mengenai kelestarian lingkungan perlu diperketat agar pengarusutamaan pembangunan lestari bisa dijaga.

Model dan contoh-contoh pengelolaan mangrove secara lestari perlu diidentifikasi dan disebarluaskan. Salah satu kegiatan Indonesian Natural Dye Institute (INDI) UGM untuk kelestarian mangrove adalah mendorong tumbuhnya industri pewarna alami. Mangrove menjadi salah satu sumber pewarna alami itu. INDI-UGM membantu masyarakat Kampung Laut di Cilacap untuk mengidentifikasi potensi mangrove sebagai sumber pewarna alami, memperkenalkan metode tebang pilih agar mangrove lestari, sementara masyarakat tetap bisa memanfaatkannya untuk sumber penghidupan. Kegiatan ini didukung program pengabdian Masyarakat (KKN UGM), Desa Binaan, dan Penelitian Multidisiplin UGM 2021. Kiranya pemanfaatan mangrove untuk industri pewarna alami ini bisa menjadi model pelestarian mangrove di Indonesia. Berbagai daerah, mungkin memanfaatkan hutan mangrove untuk wisata (olahraga maupun rekreasi). Semoga dengan berbagai upaya ini, kelestarian mangrove menjadi bisa direalisasikan. **

Prof. Catur Sugiyanto

Dosen FEB UGM