Negara Hukum Pancasila?!

Negara Hukum Pancasila?!

INDONESIA sebagai negara hukum sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Itulah fakta yuridis-formal. Sejak saat itu Indonesia sudah terbebas dari belenggu penjajahan. Dunia internasional – kecuali Belanda saat itu - sudah mengakuinya.

Untuk diingat bahwa dahulu Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika ada soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) yang ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Namun, sikap tersebut kemudian berubah.

Menteri Luar Negeri Belanda (Bernard Bot) menjelaskan, di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17 Agustus 1945. Dan bahwa 60 tahun setelah itu, pengakuan kemerdekaan dalam pengertian politik dan moral, telah diterimanya dengan lapang dada. Atas nama Belanda, Bot, meminta maaf kepada Indonesia karena bersikap kurang tepat pada waktu-waktu sebelumnya.

Pernyataan Bot tersebut dikemukakan pada upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia, Den Haag. Pernyataan Bot itu disaksikan Ratu Beatrix. Beliau hadir dan meletakkan karangan bunga.

Latar belakang permasalahan bangsa pada awal kemerdekaan tersebut sengaja diungkap agar dipahami sebagai peringatan, sehingga ada kewaspadaan terus-menerus terhadap kolonialisme. Benar bahwa penjajahan secara fisik atau kolonialisme klasik sudah padam pada tahun 1945-an.

Akan tetapi, neokolonialisme, sebagai bentuk penjajahan dengan sarana ilmu pengetahuan, teknologi dan ideologi, masih terjadi dan diperkirakan akan terus berlangsung. Neokolonialisme ini justru lebih bengis dan berbahaya. Kekuatannya hebat. Sosoknya tidak kasat mata. Kehadirannya bisa sangat santun. Gerakannya pelan, tanpa riak. Kita tidak ingin terjajah lagi oleh siapapun, dalam bentuk dan jenis penjajahan manapun. Akan tetapi, mampukah kita menepisnya?

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada usia ke 75 tahun adalah bagaimana menjadikan negara hukum yang masih berada pada tataran yuridis-formal tersebut menjadi negara hukum yuridis-substansial? Dengan kata lain, perwujudan negara hukum Pancasila agar benar-benar nyata, konkrit, dan fungsional, masih menjadi pekerjaan rumah bangsa yang perlu terus-menerus diperjuangkan bersama.

Perlu diketahui, bahwa kualifikasi Indonesia sebagai negara hukum, secara yuridis-formal, awalnya tertulis dalam Penjelasan UUD 1945. Bunyinya: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”. Selanjutnya diberikan penjelasan berbunyi: “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtssaat), tidak berdasarkan kekuasaan  belaka (Machtsstaat)”.

Setelah kemerdekaan berusia lebih dari setengah abad, muncul kesadaran adanya sesuatu yang kurang tepat pada pernyataan tentang Rechtstaat di atas. Rechtsstaat, sebagaimana aslinya di Jerman, adalah suatu bangunan negara hukum murni, yang tidak berhubungan dengan politik. Ajaran Hans Kelsen tentang Reine Rechtslehre (Ajaran Hukum Murni) menjadi landasan lahirnya konsep Rechtsstaat. Ajaran ini sebenarnya hanya ingin memberikan penjelasan tentang “apa dan bagaimana hukum itu”, dan tidak tentang bagaimana hukum seharusnya dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan.

Bangsa Indonesia berkepentingan menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pada ranah yuridis-ketatanegaraan, fungsi utama Pancasila sebagai Philosophischegrondslag adalah sebagai sumber hukum tertinggi. Hal demikian sudah sejak dulu tertuang dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 (jo. Tap. MPR No.V/MPR/1973 dan Tap. MPR No.IX/MPR/1978).

Idealitasnya, keseluruhan hukum yang ada dan berlaku di negeri ini, dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Kalaupun ada intervensi unsur kekuasaan, unsur politik, unsur ekonomi, ataupun unsur-unsur lain, ke dalam hukum, segalanya hanya dapat dibenarkan bila selaras (tidak bertentangan) dengan nilai-nilai Pancasila.

Lebih konkritnya, substansi hukum (baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis) haruslah bermuatan nilai-nilai Pancasila. Ketika hukum dilaksanakan, maka pelaksana hukum wajib bersikap profesional dan mengedepankan moralitas Pancasila. Begitu juga ketika terjadi pelanggaran hukum, maka pelakunya wajib diproses secara hukum, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Melalui amandemen UUD 1945 ke empat, konsep negara hukum Pancasila dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi – Bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan”, pada Pasal 1 ayat (3), berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Kata “Pancasila” memang secara eksplisit tidak ada di situ. Akan tetapi secara implisit (tersirat) ditemukan pada bagian Penjelasan UUD 1945 alinea ke empat. Pancasila itu rohnya Staatsfundamentalnorm (Pokok-pokok Kaidah Negara yang Fundamental). Dimaksud Staatsfundamentalnorm Indonesia adalah Pembukaan UUD 1945. Di antara unsur-unsur pokok kaidah negara yang fundamental, asas kerohanian Pancasila adalah mempunyai kedudukan istimewa dalam kehidupan kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia (Notonagoro, 1974). Oleh karenanya konstitusi (sebagai hukum dasar tertulis), maupun konvensi (sebagai hukum dasar tak tertulis), beserta hukum-hukum lainnya, keseluruhannya harus bersumber dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya terhadap Pancasila.

Sudah tentu sangat diharapkan, amandemen tentang Rechsstaat menjadi Negara Hukum Pancasila, tidak berhenti pada teks konstitusi saja, melainkan berlanjut ke ranah pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum, seluruhnya. Sayang, harapan luhur demikian, hingga kini tak kunjung menjadi kenyataan. Dengan kata lain, amanah konstitusi tentang Negara Hukum Pancasila, belum dilaksanakan, masih jauh di angan-angan.

Negara hukum sebagaimana secara empiris berlangsung hingga saat ini, baru merupakan Negara Hukum yang tampil pada tataran yuridis-formal (formele rechtsstaat) saja. Negara hukum pada kualitas demikian, justru menjadikan Pancasila sebagai barang sakral yang tidak pernah disentuh. Kadang-kadang, Pancasila difungsikan sebagai tameng dan alat politik rezim kekuasaan. Ujungnya, manifes negara hukum kekuasaan (Machtsstaat). Hal demikian antara lain terindikasikan dari ketiadaan atau kurangnya kepedulian penguasa terhadap nasib bangsa dan negara seluruhnya. Kepedulian rezim penguasa cenderung kepada kelompok, partai, atau golongan tertentu, sementara komponen bangsa lainnya termarginalkan.

Indikasi lainnya, adanya kecenderungan penyempitan pemahaman hukum sebatas perundang-undangan, hukum positif, atau hukum tertulis. Hukum dalam kualifikasi demikian dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan sebagai bagian dari aktivitas (kepentingan) politik. Secara vulgar dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik. Apakah nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan, telah terakomodasi di dalam hukum ataukah tidak, bukanlah menjadi fokus perhatian dan orientasi  rezim penguasa.

Bisa dicermati, indikasi-indikasi demikian itu marak pada segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Begitu banyak demo terhadap RUU ke DPR sebagai bagian bentuk legislative review. Banyak pula judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU yang disahkan DPR dan Pemerintah. Pendemo atau pemohon dihadapkan pada realitas bahwa proses pembuatan hukum sudah sesuai prosedur. UU telah sah. Legalitas, Yes. Tetapi legitimitas, No. Mengapa? Karena jauh dari aspirasi rakyat.

Indikasi lain adalah semakin marak dan semangatnya menambah jumlah perundang-undangan. Semangat itu ditampung dalam program legislasi nasional dan daerah. Hampir tiap jam, terdapat penambahan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Terjadilah obesitas perundang-undangan. Panambahan kuantitas tidak diimbangi dengan peningkatan kualitasnya. Banyak perundang-undangan berkualitas “sampah hukum”, yang ditengarai inkonsisten terhadap peraturan perundangan lain, bahkan inkonstitusional, dan cacat ideologis.

Bila teori Sistem Hukum (the Legal System Theory) dari Laurence M. Friedman (1975) digunakan untuk menyandera hukum Indonesia sebagai sebuah sistem, akan terlihat dengan jelas, bahwa pada subsistem substansi, struktur, maupun budaya hukum, keseluruhannya bermasalah. Sebab utamanya karena nilai-nilai Pancasila tidak/belum dijadikan sebagai roh, sumber, jiwa, sistem hukum nasional. Lantas, nilai-nilai macam apa yang menjadi roh dalam tubuh sistem hukum Indonesia saat ini?

Studi banding dan kajian ke berbagai negara menghasilkan pemahaman bahwa bernegara hukum itu unik. Senantiasa ditemukan distorsi-distorsi yang disebabkan oleh penggunaan hukum modern, utamanya kuatnya paham liberalisme, individualisme, positivisme dan kapitalisme. Namun demikian masih ada negara hukum berdasarkan nurani. Tidak ada standar universal mengenai model bernegara hukum. Masing-masing negara punya otoritas, kemerdekaan, keleluasaan, untuk memilih konsep negara hukum terbaik bagi bangsanya.

Teramati, sudah bertahun-tahun, utamanya pasca reformasi, hukum sebagai produk politik amat dominan menguasai segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pada itu, politik praktis yang semakin berkembang adalah politik berbasis liberalisme. Politikus bergandeng tangan dengan pebisnis (penganut paham kapitalisme) , agar permasalahan dana untuk aktivitas politik (misal: Pilpres atau Pilkada) bisa terpenuhi. Kolusi, kong-kalingkong, antara penguasa (politikus) dan pengusaha (pebisnis) berlanjut pada pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum. Orientasi hukum (perundang-undangan) berpihak kepada yang kaya dan berkuasa, sementara si miskin, mesti minggir atau dikorbankan. Dampaknya, hukum cenderung tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Keadilan menjadi komoditas amat mahal harganya. Pengadilan pun berubah fungsi, bukan  lagi sebagai rumah keadilan (house of justice) melainkan menjadi medan peperangan. Satu pihak dimenangkan dan pihak lain dikalahkan. Vonis hakim dengan irah-irah: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu formalitas belaka, sementara itu substansial adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Keuangan Yang Maha Kuasa”. Disadari atau tidak, dalam kondisi demikian, sebenarnya telah terjadi neokolonialisasi atas rakyat oleh oknum-oknum penguasa dan pengusaha.

Ingin ditegaskan bahwa hukum dalam tataran konsep maupun praktis cenderung diorientasikan untuk sarana terpenuhinya kebutuhan dan kelanggengan kekuasaan, popularitas dan materi-duniawi. Dengan kata lain, sekulerisme amat mewarnai sistem hukum Indonesia, serta-merta terjauhkan dari karakter religius. Para pelaku hukum lupa, lalai, ingkar, bahwa ada kehidupan akhirat. Di sanalah segala perilaku hukum mesti dipertanggungjawabkan. Di sana pula pengadilan dan keadilan sejati terjadi dan kembali kepada masing-masing.

Begawan hukum Indonesia Satjipto Rahardjo (2008) mengidealkan terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum Pancasila. Disain besarnya sebagai rumah nyaman untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan bagi penduduknya. Semua makhluk di negeri ini bisa merasakan kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan. Tak ada dominasi, kolonialisasi, hegemoni antar satu dengan lainnya.

Kapan kebahagiaan itu hadir dan dirasakan bersama? Ketika perjalanan hidup dan kehidupan berbangsa semakin dekat dengan visi dan misi bernegara. Visinya, adalah terwujudnya Negara Hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Adapun misinya adalah terbentuknya Pemerintahan yang mampu: melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Visi dan misi bernegara itu perlu terus dipertahankan, diaktuaisasikan, dan direalisasikan.

Negara hukum Pancasila bukanlah negara yang sudah selesai dibangun (finite). Proses pembangunan, penghunian, pengelolaan, perawatan, perlu terus dilakukan bersama dan berkelanjutan (state in the making). Penyelenggara negara wajib pro aktif untuk bertindak secara bijaksana. Jangan geser, jangan gusur Pancasila dengan ideologi asing yang bersifat destruktif, seperti: liberalisme, kapitalisme, sekulerisme.  Warga negara – pada posisi dan eksistenssi masing-masing – wajib berkontribusi secara konkrit. Jauhkanlah dari sikap meminta-minta, berolok-olok, saling mencaci-maki, ataupun mengkritik tanpa aksi. Antara penyelenggara negara dan warga negara mesti bersinergi, saling percaya, saling melengkapi, demi kejayaan negeri dan bumi pertiwi.

Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar ilmu hukum UGM