Judi di Tengah Pandemi

Judi di Tengah Pandemi

SESUAI dengan keputusan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah kembali dibuka pada bulan Juli 2021. Kebijakan tersebut diambil bebarengan proses vaksinasi nasional terhadap tenaga pendidik, dosen, guru, murid, hingga perangkat pendidikan di sekolah atau universitas. Meskipun demikian, Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan kapasitas KBM hanya untuk 50 persen siswa.

Pendidikan menjadi kebutuhan dasar masyarakat Indonesia sesuai amanah UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dilema masyarakat mengenai ancaman pandemi dan kebodohan prematur siswa akibat vakum belajar selama setahun lebih, membuat perdebatan di kalangan akademisi, politikus, hingga masyarakat. Apalagi Menteri Kesehatan (Menkes) juga memberi warning mengenai batasan KBM di sekolah atau kampus seperti kapasitas peserta didik 25 persen, maksimal dilakukan 2 hari dalam seminggu, dan maksimal durasi pembelajaran 2 jam.

Menggelar KBM di tengah pandemi adalah perjudian yang dilakukan pemerintah. Apalagi beberapa daerah juga mengalami ledakan kasus positif, seperti Kudus dan Bangkalan. Ada tanggung jawab turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa, ada pula risiko terjadi ledakan kasus Covid-19 melalui klaster pendidikan. Meskipun menjadi prioritas vaksinasi, namun sekolah tetap menjadi medium untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas.

Bidang kesehatan dan pendidikan mempunyai program masing-masing. Sedangkan Covid-19 adalah bencana nasional yang harus dihadapi bersama seluruh elemen masyarakat. Setiap kementerian atau institusi (lembaga) harus menurunkan ego untuk bijak menyusun program. Tidak boleh gegabah yang pada akhirnya berdampak buruk bagi masa depan Indonesia.

Untuk saat ini, kesehatan memang lebih yang diprioritaskan, namun mengentaskan kebodohan bangsa juga menjadi kewajiban negara. Pemerintah harus cermat menganalisis bahwa vaksinasi pendidikan juga dibutuhkan, selain hanya fokus pada vaksinasi kesehatan. Mayarakat harus kebal terhadap kebodohan, ditingkatkan imun pengetahuan, dan dimanjakan dengan kemudahan akses pendidikan.

Pajak Pendidikan

Ketika pendidikan butuh suntikan vaksinasi ilmu pengetahuan, isu pungutan pajak terhadap sektor pendidikan menimbulkan polemik di masyarakat. Ternyata Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) bukan hanya memajaki sembako, jasa pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara pun harus dipajaki.

Pemerintah seolah menjadi debt collector bagi masyarakat miskin yang bercita-cita menyekolahkan anaknya agar menjadi orang yang terdidik. Ketika beberapa daerah memutuskan untuk tidak menaikkan Upah Minimun Regional (UMR), pemerintah aktif memungut dana dari masyarakat melalui embel-embel Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Setahun lebih pendidikan divakumkan karena pandemi, pemerintah berencana membuka sekolah tatap muka. Di sisi lain, kebahagiaan anak-anak belajar dan bersosialisasi di sekolah harus dibebani dengan biaya pendidikan yang lebih mahal karena aturan pajak dari negara. Asalkan negara kaya (karena pajak nasional), masyarakat menjadi bodoh (karena tidak mampu bersekolah) pun disepakati.

Seharusnya anak didik diberikan vaksin pendidikan secara gratis. Masa depan bangsa ada pada generasi berikutnya. Jika sektor pendidikan dibebani pajak, risikonya banyak siswa yang putus sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan. Pada tahun ajaran 2019/2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat sudah ada 157 ribu siswa SD hingga SMA yang putus sekolah.

Pandemi memaksa ribuan anak merelakan kebutuhan pendidikan. Pemerintah yang seharusnya mengulurkan tangan mengatasi problem putus sekolah malah menjadi sebab untuk peningkatan putus sekolah yang lebih banyak. Tidak ada vaksinasi pendidikan, yang muncul adalah pajak pendidikan.

Belum selesainya dampak pandemi yang menyebabkan melimpahnya pengangguran, kemiskinan, dan hancurnya usaha (bisnis) masyarakat, pemerintah malah giat berpikir tentang pendapatan negara. Membangkitkan ekonomi negara bukan dengan cara mengorbankan pendidikan masyarakat. Membiarkan masyarakat bodoh karena ketidakmampuan bersekolah adalah pengingkaran paling nyata terhadap cita-cita bangsa dan negara.

Jika PPN nanti tetap diterapkan dalam jasa pendidikan, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Ketika banyak negara yang memilih menggratiskan biaya pendidikan, Indonesia malah dihantui dengan mahalnya biaya pendidikan. Konsep demikian yang menjadikan Indonesia susah keluar dari lingkaran negara berkembang. Semakin tertinggal, karena masyarakatnya dibiarkan bodoh. **

Joko Yuliyanto

Penggagas komunitas seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis di media daring dan luring.