Hukum dan Makna Kemerdekaan

Oleh: Sudjito Atmoredjo

SEBAIKNYA pemaknaan kemerdekaan kembali pada prinsip back to law and order. Artinya, semua komponen bangsa dengan sungguh-sungguh berupaya membenahi Negara hukum ini menyeluruh, sejak dasar filosofinya, berikut substansi, prosedur, dan budaya-hukumnya. Stop segala bentuk pereduksian hukum, dari sebagai national order menjadi sekadar political order.

Hukum dan Makna Kemerdekaan
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

PROKLAMASI kemerdekaan itu peristiwa hukum. Terjadi karena perbuatan hukum. Subyek (pelakunya) bangsa Indonesia. Ada akibat hukumnya, penjajahan berakhir, berganti menjadi era kemerdekaan. Banyak persoalan hukum, sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Semuanya perlu mendapatkan perhatian dan penuntasannya.

Dalam memperingati proklamasi kemerdekaan ke-78 tahun (1945-2023), alangkah bijak bila segenap komponen bangsa, bersikap dan berperilaku elegan-kontributif, demi terwujudnya cita-cita dan tujuan bernegara, sebagaimana tersurat pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4: “ … membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. … “

Kemerdekaan adalah peluang bagi setiap orang untuk berdharma bakti. Dalam lingkup suatu organisasi yakni Negara, peluang itu merupakan hak sekaligus kewajiban bagi bangsanya. Hak dan kewajiban bangsa itu bersifat intrinsic, melekat, inherent. Artinya, dalam kemerdekaan melekat tanggung jawab moral, hukum, politik, sosial-eknomi, dan lain-lain, bagi bangsanya.

Kemerdekaan bukan hadiah penjajah. Tidak dibenarkan, bangsa lain mengganggu, mereduksi, menegasikan kemerdekaan. Justru sebaliknya, di antara bangsa-bangsa wajib saling menghormatinya. Penghormatan (respect) terhadap kemerdekaan adalah pemberian perhatian seksama atas jati diri suatu bangsa secara tulus. Ketulusan itu termanifestasikan pada sinergitas dan kerja sama saling menguntungkan antarbangsa-bangsa.

Sejak proklamasi dikumandangkan, Negara ini berdaulat penuh atas wilayah dan hak-hak bangsanya. Dalam tekad dan semangat tinggi, perihal pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan cara seksama, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Ternyata, tidak mudah menuntaskan persoalan-persoalan hukum pasca proklamasi kemerdekaan itu. Pertama, persoalan pemindahan kekuasaan. Antara tahun 1945-1949, Belanda mengobarkan perang (agresi) untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda (Ben Bot), menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara de facto pada tahun 1945. Tetapi Belanda secara resmi (de yure) menggunakan tanggal 27 Desember 1949. Dasarnya, hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Perkembangan terakhir, dalam debat tentang kajian dekolonisasi di Parlemen Belanda, Rabu (14/6/2023), PM Belanda Mark Rutte secara resmi mengakui hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pengakuan itu zonder voorbehaud (tanpa keraguan). Sepenuhnya dan tanpa syarat. Konsekuensi yuridisnya, wajib ada pemberian ganti rugi materiil dan immateriil, atas jatuhnya korban-korban sipil akibat agresi Belanda 1945-1949. Inilah pekerjaan rumah pemerintahan sekarang.

Kedua, perihal lain-lain. Cakupan kata “lain-lain” dalam teks proklamasi, amat luas. Artinya, persoalan internal dan eksternal yang dihadapi bangsa ini sedemikian banyak, kompleks, terus bertambah. Sebagai Negara hukum, penyelesaiannya harus berdasarkan hukum, bukan sekadar politis, atau etis. Penyelesaian harus komprehensif, transparan, tanpa pandang bulu.

Telah banyak perubahan di negeri ini. Cuma dipertanyakan, apakah perubahan-perubahan itu sudah mengarah perwujudan cita-cita bernegara? Jawaban atas pertanyaan ini, pasti pro dan kontra. Beberapa tokoh menyatakan, pemerintahan sudah berada di jalan yang benar (on the right track). Banyak prestasi diraih. Bangunan infrastuktur, seperti jalan tol, disodorkan sebagai bukti. Pada sisi lain, betapa banyak perilaku sesat, jahat, semakin masif. Misal, kolusi, korupsi, nepotisme. Lebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Data kuantitatif maupun kualitatif membuktikan, cita-cita bernegara masih jauh dari kenyataan.

Perbedaan pendapat itu lumrah, wajar, natural. Persoalan menjadi krusial, genting, ketika ada pengakuan (klaim) bahwa pendapatnya paling benar. Klaim bahwa dirinyalah paling berjasa, paling kontributif, untuk negerinya. Sementara itu, pendapat orang lain dianggap salah. Padahal, cara berhukum dan berpolitik dengan model liberalis, atau berekonomi dengan model kapitalis. Apakah ini benar?

Mr. Soepomo, sebagai tokoh kemerdekaan, pernah mengalami kesulitan ketika hendak menjabarkan makna kemerdekaan ke UUD. Dalam pencermatannya, ada perbedaan mendasar makna kata “akoe” bagi orang Indonesia, dan “akoe” bagi Belanda/Barat. Katanya: “… rasa ‘akoe’ di tanah Indonesia melingkoengi golongannya, sedang ‘akoe’di tanah Barat hanya melingkoengi dirinya sendiri” (Attamimi, 1990). Itulah, maka memaknai kemerdekaan dengan pengakuan (klaim) saja tidaklah cukup, melainkan perlu bukti konkrit, dan legitimasi dari masyarakat/bangsanya.

Hemat saya, dalam memaknai Negara hukum, sebaiknya urusan hukum tidak direduksi menjadi urusan undang-undang (affair of rules), tetapi urusan perilaku manusia (affair of behavior), dan urusan keadilan (affair of justice). Semua orang (warga Negara dan penyelenggara Negara) diposisikan sebagai subyek hukum dan berada dalam kesetaraan (equality before the law). Ini bukan urusan sederhana. Ini pekerjaan rumah bersama.

Sebaiknya pemaknaan kemerdekaan kembali pada prinsip back to law and order. Artinya, semua komponen bangsa dengan sungguh-sungguh berupaya membenahi Negara hukum ini menyeluruh, sejak dasar filosofinya, berikut substansi, prosedur, dan budaya-hukumnya. Stop segala bentuk pereduksian hukum, dari sebagai national order menjadi sekadar political order.

Akatualisasikan semangat kemerdekaan menjadi percaya diri untuk berdikari. Stop utang luar negeri. Kencangkan ikat pinggang, cancut tali wanda. Berperilaku bijak, saleh, berwawasan nasional. Itulah makna-makna hakiki kemerdekaan. Sekali merdeka tetap merdeka. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM