Guru Besar Itu Bernama Ibu

Guru Besar Itu Bernama Ibu

SELEBRASI Hari Ibu yang selalu kita rayakan bertepatan tanggal 22 Desember setiap tahun, sudah seharusnya menjadi momentum kebangkitan kaum ibu untuk terus berjuang mengurai PR bangsa. Kita tahu, terutama di wilayah pedesaan tak sedikit kaum ibu yang hanya mengenyam tembok SD bahkan tak sekolah gegara miskin. Pada sisi lain, kita saksikan ibu-ibu yang terpaksa harus berjuang sebagai buruh, pekerja migran, sementara di ujung lain kaum ibu juga menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).

Kita maklumi, pada tempo yang lain juga, kaum ibu masih saja memunguti kusutnya nasib dan masa depannya karena mereka tertimpa PHK, terkena agresi pandemi Covid-19, bahkan yang menjadi korban bencana pun kebanyakan kaum ibu dan anak-anak.

Pada bangku sekolah, kampus maupun pesantren yang kita nilai aman, ternyata kaum ibu junior mengalami kisah kelu yang harus mendapatkan pelecehan maupun korban predator seks. Di balik tembok domestik pun, kaum ibu masih kerap mengalami KDRT.

Seperca kisah kusam di antara gemerlap dan gemulai kaum ibu yang hadir dalam dunia eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Jika kemudian atau kelak ada yang menyandang status ibu, maka akan berlaku kasih ibu sepanjang masa, seperti disuarakan pada banyak lagu. Ibu itu tiang negara, kala ibu-ibu hebat maka negara pun akan kuat. Di balik sukses pria pun, tak bisa dilepaskan dari peran atau jasa seorang perempuan atau ibu.

Menjadi aneh, ketika ada anak yang hari ini mengirimkan ibunya ke Panti Wreda hanya alasan sibuk, betapa naifnya kala ada anak yang memerkarakan ibunya hanya gegara soal warisan dan betapa naifnya lagi kala anak yang tega menghabisi nyawa ibunya sendiri.

Amat aneh lagi, saat ada anak yang membeli gaya hidup dengan mengeksploitasi ibunya untuk mencari uang lewat cara underground. Miris, kala menyaksikan ibu digaruk Satpol, kala diborgol polisi, saat ibu di-buly kaumnya sendiri. Mereka nampaknya pura-pura amnesia, padahal pesona kampus sejati itu berada di pangkuan ibu.

Tak ada bahasa apapun kecuali bahasa ibu (mother tounge) yang diserap dan diucap oleh anak untuk pertama kalinya. Pada ujung lainnya, sebaliknya ada ibu yang sampai hati menjual anaknya, menelantarkan anaknya, membuang anaknya atau membunuh anaknya. Penyokong terbesar praktik kelam kaum ibu di atas lebih dipicu karena faktor kemiskinan yang menyembul. Kemiskinan juga yang acap menjadi pembenar rerupa keterpurukan. Miskin material, miskin ilmu, miskin hati, miskin jiwa bahkan miskin inovasi, dan lain-lain. Ini juga bahan permenungan dan pemikiran, ya penyadaran kita.

Hemat penulis, setiap ibu adalah orang hebat. Ketika gelar “nyonya” melekat pada namanya, saat itulah perjuangan panjang dimulai. Seorang ibu membawa “perintah dari langit” untuk mengandung, menggendong, dan menggandeng dan segelas kodrat lainnya. Artinya, ada totalitas jiwa dalam memenuhi amanat itu.

Mula satu adalah mengandung. Banyak sekali risiko yang dihadapi ibu hamil. Ada yang mual dan muntah sepanjang hari, paribasan mangan wae ora kolu, boyoke pegel-pegel, mudah capek. Setelah mengandung, ibu dihadapkan pada misi suci yang disebut melahirkan. Mempertaruhkan seluruh hidup demi mengantarkan sang buah hati hadir ke dunia.  Bahkan tugas ibu melahirkan itu konon rasanya seperti 20 tulang patah bersamaan. Luar biasa.

Paska melahirkan, seorang ibu juga “menggendong,” merawat anak dengan sepenuh jiwa. Ketika si anak sakit, seringkali seorang ibu begadang demi menjaga si buah hati, meski kondisinya sendiri payah karena seharian mengurus rumah tangga. Ketika si anak mulai latihan jalan, dengan setia seorang ibu menggandengnya, nétah, agar si anak tidak terjatuh. Dan ini pegel-nya luar biasa.

Kedua aktivitas mulia, yakni “nggéndhong” dan “nggandhèng” ini tidak hanya secara harfiah, namun juga mengandung makna filosofis merawat, membesarkan, dan mendidik anak sesuai perkembangan usianya. Seorang ibu selalu siap mendengar setiap keluhan anaknya, mengajarkan kepada anak tentang hakekat hidup, kejujuran, dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap ujian, bahkan saat anak-anaknya sudah dewasa. Seorang ibu itu ibarat guru besar universitas kehidupan.

Berpengharapan

Dalam ajaran Islam, seruan sekaligus kewajiban menghormati kepada seorang ibu selalu berkumandang, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku hormati?” Rasul pun menjawab: “Ibumu”. “Lalu siapa lagi?”, “Ibumu”. “Siapa lagi”, “Ibumu”. “Siapa lagi”, “Ayahmu”.”

Sosok ibu disebut sebanyak tiga kali karena umumnya ibu telah melewati tiga fase kesulitan dalam hidup, antara lain ketika mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Meskipun sosok ayah disebut satu kali oleh Rasulullah SAW, bukan berarti peran ayah tidak penting. Seorang ayah memiliki andil dalam hal pendidikan dan nafkah bersama-sama dengan ibu. Artinya, sosok ayah maupun ibu memiliki peran yang sama-sama penting dalam mendidik karakter anak.

Menjadi kewajiban kita sebagai anak untuk selalu menghormati dan menyayangi kedua orang tua, terlebih kepada ibu. Ada peribahasa: “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”, itu benar adanya.  Seberapa pun besar cinta kasih anak kepada ibu tidak akan mampu menyamai banyaknya cinta kasih ibu kepada anaknya. Jika kebetulan punya anak-anak yang kurang pandai, suka iseng, preman, tak mandiri, dll, tidak mengurangi sedikit pun cinta ibu kepada anaknya. Doa ibu pun amat dahsyat. Mari muliakan ibu kita, agar tetap semangat, bersenyum, berpengharapan dan tanpa air mata.

Kita punya dan mengenal nama Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rohana Kudus, RA Kartini, HR Rasuna Said, SK Trimurti maupun Herlina Kasim, dll, mereka adalah perempuan hebat pada masanya. Kini, perempuan banyak menempati posisi penting di dunia, seperti presiden, menteri, jenderal, politisi, gubernur, bupati/walikota, staf khusus presiden, camat, tapi kepala desa atau lurah bahkan kepala dusun atau ketua RT perempuan masih sangat terbatas. Hari ini saya kangen ibu. Ibulah kangen yang menjaga. *

 Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng