Pembangunan IKN, Tata Ruang dan Konflik Agraria
Oleh: Boy Anugerah
PEMBANGUNAN IKN merupakan proyek strategis nasional yang bersifat jangka panjang, diproyeksikan selesai hingga 2045 ketika Indonesia memasuki usia 100 tahun kemerdekaan. Saat ini, pembangunan IKN berada pada tahap pertama, yakni pembangunan infrastruktur fisik demi mewujudkan IKN sebagai pusat gravitasi nasional. Pembangunan fisik yang telah menelan dana lebih dari Rp. 73 triliun hingga kini bisa dikatakan tidak terlalu berjalan mulus. Banyak kompleksitas persoalan yang dihadapi, salah satunya yang cukup krusial untuk diatensi oleh pemerintah adalah adanya resistensi dari masyarakat lokal Kalimantan Timur.
Seperti banyak yang diberitakan oleh media massa lokal (media massa nasional sangat sedikit yang mengangkat), aliansi masyarakat adat Kalimantan Timur menolak pembangunan fisik IKN di wilayah mereka. Pertama, mereka merasa tidak diajak diskusi dan dilibatkan dalam pembangunan IKN. Kedua, kebijakan pemerintah mengambil alih lahan adat mereka dianggap tidak sesuai dalam hal ganti ruginya. Seperti yang dinyatakan oleh Menteri ATR sekaligus Kepala BPN RI, Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono, ada sekitar 36 ribu hektar lahan bermasalah untuk pembangunan IKN, yang mana 2 ribu hektar di antaranya masih dimukimi oleh penduduk.
Ragam persoalan
Problematika pembangunan IKN, tidak hanya berpolemik dalam bentuk konflik agraria dengan masyarakat saja, tapi juga disinyalir bertentangan dengan prinsip eko-hijau, yakni proses pembangunan yang semestinya memperhatikan prinsip pemeliharaan lingkungan hidup dan keseimbangan alam. Pembangunan IKN, suka tidak suka, banyak dilakukan dengan membabat hutan hujan tropis yang menjadi keunggulan komparatif Kalimantan Timur. Kelompok peduli lingkungan seperti Green Peace dan WWF banyak mengkritik langkah pemerintah tersebut, karena dinilai tidak sepadan dengan rusaknya habitat flora dan fauna di sana. Sikap pemerintah yang melakukan pembangunan di atas ekosistem penting di Kalimantan Timur ini juga menjadi salah satu musabab banyaknya calon investor IKN yang balik badan dan batal menanamkan modalnya. Investor dari negara-negara maju dibebani tanggung jawab oleh negaranya untuk menjunjung tinggi prinsip pemeliharaan lingkungan hidup sebagai bagian dari komitmen 3P, yakni profit, people, dan planet (lingkungan hidup). Ketiganya harus dilaksanakan secara seimbang, tidak semata berbasis keuntungan.
Pembangunan IKN yang diproyeksikan berlangsung dalam beberapa tahap hingga 2045 harus diakui tidak begitu berjalan mulus pada tahap awal. Ada banyak kendala seperti investasi, pendanaan, hingga konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah. Hanya saja hal ini tidak diekspos secara luas seperti kasus Wadas di Jawa Tengah, atau kasus Rempang di Kepulauan Riau. Seperti yang bisa dicermati dari pemberitaan di media massa, masyarakat adat Kalimantan Timur yang terdiri atas beberapa suku lokal seperti Dayak Benuaq, Dayak Kaharingan, Dayak Tunjung, dan Dayak Paser, melayangkan penolakannya tehadap pembangunan IKN.
Pertama, pembangunan IKN tidak melibatkan partisipasi mereka seperti dengan dilakukannya dengar pendapat atau diskusi kepada mereka selaku masyarakat lokal. Kedua, skema ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah cenderung bersifat memaksa, satu arah, karena mereka tidak dilibatkan sedari awal pembangunan. Sirkumstansi inilah yang menyebabkan ada sekitar 36 ribu hektar lahan untuk IKN belum clean and clear dari masalah, yang mana 2 ribu hektar di antaranya masih dimukimi oleh penduduk. Situasi yang potensial meledak ini ke depan diperumit oleh kebijakan pemerintah dengan memberikan HGB, HPB, dan HGU kepada investor atas tanah di Kalimantan hingga 160-190 tahun ke depan, serta adanya rencana relokasi aparatur negara untuk mendiami kawasan IKN.
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam revisi UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN dan Perpres No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN yang memberikan HGU, HGB, dan HPB dengan jangka waktu yang sangat panjang ini, pada dasarnya membahayakan kedaulatan negara. Jangka waktu 190 tahun pada kasus HGU adalah jangka waktu yang sangat panjang. Secara tersirat, pemberian hak guna dan pakai sedemikian menunjukkan problem mendasar dalam pembangunan IKN, yakni kesulitan untuk mencari investor. Namun demikian, solusi yang tepat bukanlah dengan memberikan konsesi dalam bentuk hak guna dan hak pakai dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Lahan dan bangunan, selain memiliki nilai finansial yang bisa divaluasi berdasarkan kondisi pasar, juga memiliki nilai sosiologis dan nilai historis. Hal ini sangat berlaku terhadap masyarakat adat Kalimantan Timur, yang tanah dan pemukimannya akan digusur oleh pemerintah untuk pembangunan IKN. Kebijakan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke IKN pasti didasari oleh objektif pembangunan ke depan yang berbasis prinsip tata ruang komperehensif. Namun demikian, cetak biru pembangunan ini perlu mendapatkan persetujuan dari masyarakat, agar lahan, bangunan, dan hak ulayat mereka yang terlanggar, dapat dikompensasi dengan nilai yang sepadan oleh pemerintah, bukan saja nilai finansial, tapi juga nilai sosiologis dan nilai sejarah di dalamnya. Yang sulit tentu saja nilai sosiologis dan nilai historis, bukan saja sulit diukur nilainya, bahkan mungkin nilainya tidak bisa diukur dan menjadi basis legitimasi masyarakat adat setempat untuk tidak mau dan tidak bisa dipindahkan.
Kebijakan pemerintah
Dalam merespons persoalan konflik agraria atau konflik lahan dengan masyarakat, pemerintah, khususnya OIKN yang menjalankan proses pembangunan di IKN, perlu melihat dan merujuk kembali pada regulasi yang mengatur tata ruang, yakni UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pengelolaan wilayah, termasuk pembangunan infrastruktur di dalamnya harus berpijak pada pengelolaan tata ruang yang baik dengan mempedomani prinsip keberlanjutan (sustainability), keterpaduan (integration), keserasian sosial (social harmony), efisiensi (efficiency), ketahanan (resilience), keberagaman (diversity), serta fungsionalitas (functionality).
Suatu ruang hidup (lebensraum) harus dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi fungsi-fungsi tertentu secara optimal, baik untuk hunian atau pemukiman penduduk, bisnis, transportasi, rekreasi, serta kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat lainnya. Dengan mempedomani prinsip-prinsip tata kelola ruang tersebut, objektif yang diharapkan dapat terwujud adalah, terciptanya lingkungan hidup yang lebih baik, berkelanjutan, dan hamonis bagi seluruh masyarakat. Apa yang terjadi dalam pembangunan fisik IKN sepanjang 2024 ini, tentu belum memenuhi prinsip tata ruang yang baik dan benar. Indikatornya jelas, yakni konflik agraria dan konflik sosial dengan masyarakat adat, serta banyak lahan mangkrak yang tidak bisa dibangun karena konflik-konflik yang belum selesai.
Pemerintah tidak bisa menutup persoalan dengan mengonsolidasi media massa agar tidak melakukan pemberitaan masif. Rakyat Kalimantan Timur adalah rakyat Indonesia yang harus diperhatikan kesejahteraannya. Pembangunan IKN yang dimaksudkan untuk menciptakaan pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional jangan sampai dilakukan dengan “menumbalkan” kepentingan masyarakat adat setempat. Pemerintah perlu melakukan evaluasi kembali terhadap cetak biru pembangunan yang sudah ditetapkan, serta evaluasi terhadap proses pembangunan yang sudah berjalan. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali berdasarkan prinsip penataan ruang yang dijelaskan secara komprehensif dalam UU Penataan Ruang.
Solusi ke depan
Adapun langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memitigasi dan menyelesaikan konflik agraria dengan masyarakat dalam pembangunan IKN sebagai berikut;
Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi kembali cetak biru pembangunan IKN, lahan mana yang sudah clean and clear dengan masyarakat, mana yang belum, bukan berdasarkan keinginan satu arah dari pemerintah saja.
Kedua, cetak biru dan kebijakan regulatif pemerintah terkait alih fungsi lahan dan bangunan masyarakat adat di Kalimantan Timur perlu memasukkan aspek sosiologis dan historis untuk mekanisme kompensasi, tidak bisa berpijak pada asumsi pasar dan nilai finansial saja.
Ketiga, pemerintah berpedoman pada prinsip tata ruang lahan (UU Penataan Ruang) dalam pembangunan IKN, sehingga memiliki basis rasionalisasi yang kuat yang dapat digunakan sebagai dasar negosiasi dengan masyarakat. Pemerintah perlu menunjukkan perhitungan pemerintah secara kalkulatif dan transparan mengenai besaran lahan yang perlu diakuisisi untuk pembangunan IKN, serta peruntukan-peruntukannya.
Keempat, kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat adat harus bersifat sepadan dan memberikan kesejahteraan yang lebih. Kompensasi harus sesuai nilainya, seperti memberikan ganti untung terhadap lahan yang diambil oleh pemerintah, pemukiman yang harus digusur, serta memberikan kompensasi dalam bentuk perumahan baru yang lebih potensial menyejahterakan masyarakat. Kelima, regulasi-regulasi IKN yang selama ini dibuat dengan tidak melibatkan partisipasi masyarakat, perlu diuji publik dengan melibatkan masyarakat dalam implementasinya. Jika pada tataran implementasi menimbulkan resistensi yang kuat, maka regulasi ini perlu direvisi atau bahkan dicabut. (*)
Boy Anugerah, SIP., MSI., MPP.,
Tenaga Ahli di MPR RI, Alumnus Program Tannasda dan Taplaikbs di Lemhannas RI