Strategi Indonesia dan Rivalitas AS-Tiongkok di Indo Pasifik

Oleh: Boy Anugerah

Rivalitas di antara AS dan Tiongkok terjadi pada bidang politik, ekonomi perdagangan, teknologi, serta pertahanan dan keamanan. Pertarungan di antara keduanya tidak berada pada posisi vis a vis secara langsung, tapi cenderung memakai pola seperti yang pernah diterapkan pada perang dingin, yakni penggunaan proksi dan negara-negara satelit untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional mereka. Sirkumstansi yang sama seperti perang dingin juga dapat dirasakan secara kentara pada persaingan keduanya di bidang pertahanan keamanan. Gelar pasukan, kerja sama militer dengan negara sekutu, hingga pengembangan teknologi pertahanan berdampak pada terciptanya dilema keamanan, yakni situasi yang menguntungkan bagi negara yang melakukan (doer) tapi menjadi situasi yang mengancam bagi negara lain (others). Rivalitas di antara keduanya juga menciptakan relasi yang tumpang tindih dalam tata kerja sama internasional. India misalnya, tergabung dalam forum segi empat QUAD dengan AS, tapi di sisi lain tergabung dengan SCO bersama Tiongkok.

Strategi Indonesia dan Rivalitas AS-Tiongkok di Indo Pasifik
Boy Anugerah (Istimewa).

SALAH satu dinamika geopolitik yang memberikan pengaruh besar terhadap negara-negara di dunia adalah rivalitas antara dua kekuatan besar dunia, yakni AS dan Tiongkok. Perubahan sistem internasional sebagai resultante berakhirnya perang dingin pada dekade 1990-an, dari bipolar menjadi multipolar, ternyata tidak membawa pengaruh yang signifikan bagi terwujudnya tata relasi antarnegara yang bersifat lebih harmonis dan penuh perdamaian. Asumsi kaum realisme klasik yang menyatakan bahwa negara sebagai entitas politik selalu bergerak berdasarkan kepentingan nasionalnya, menemukan relevansinya pada kasus rivalitas AS dan Tiongkok. Baik AS maupun Tiongkok sama-sama berkompetisi untuk melakukan perluasan pengaruh secara sistematis di kawasan dan tak segan melakukan politik konfrontatif untuk memproteksi kepentingan nasionalnya. Rivalitas di antara kedua negara berlangsung pada banyak dimensi, bahkan saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.

Rivalitas di antara AS dan Tiongkok terjadi pada bidang politik, ekonomi perdagangan, teknologi, serta pertahanan dan keamanan. Pertarungan di antara keduanya tidak berada pada posisi vis a vis secara langsung, tapi cenderung memakai pola seperti yang pernah diterapkan pada perang dingin, yakni penggunaan proksi dan negara-negara satelit untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional mereka. Sirkumstansi yang sama seperti perang dingin juga dapat dirasakan secara kentara pada persaingan keduanya di bidang pertahanan keamanan. Gelar pasukan, kerja sama militer dengan negara sekutu, hingga pengembangan teknologi pertahanan berdampak pada terciptanya dilema keamanan, yakni situasi yang menguntungkan bagi negara yang melakukan (doer) tapi menjadi situasi yang mengancam bagi negara lain (others). Rivalitas di antara keduanya juga menciptakan relasi yang tumpang tindih dalam tata kerja sama internasional. India misalnya, tergabung dalam forum segi empat QUAD dengan AS, tapi di sisi lain tergabung dengan SCO bersama Tiongkok.

Indonesia sebagai negara penting dan terbesar secara geografis dan demografis di Asia Tenggara, sangat potensial terpapar pengaruh dari rivalitas di antara kedua negara. Hal ini mengingat Indonesia memiliki kerja sama bilateral yang kuat dengan kedua negara. Neraca perdagangan dengan masing-masing negara bertikai tersebut juga masuk pada kategori high volume. Sebagai negara kunci kawasan, Indonesia tidak luput dari politik proksi kedua negara. Indonesia sempat mendapat tawaran untuk bergabung dalam forum QUAD, meski akhirnya menolak. Sedangkan dengan Tiongkok, pola proksinya lebih halus karena menggunakan mekanisme perdagangan. Banyak kerja sama strategis yang dilakukan oleh Indonesia dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang menggunakan jasa kontraktor Tiongkok, pembangunan pabrik smelter di Sulawesi yang menggunakan tenaga konsultan dan tenaga kerja Tiongkok secara masif. Telepas dari kapasitas Indonesia untuk menyeimbangkan relasi dengan kedua negara saat ini, Indonesia perlu mengambil langkah yang lebih strategis agar anasir-anasir negatif dari persaingan kedua negara dapat dibendung secara optimal. Maka opsi untuk mengedepankan kerja sama kawasan melalui instrumen ASEAN begitu mengemuka.

Keunggulan kawasan dan gerak merayap Tiongkok

Indo Pasifik merupakan kawasan yang bernilai strategis, dinilai dari aspek geografis, demografis, serta sumber daya alam. Dari kaca mata geopolitik dan geoekonomi modern, penguasaan terhadap kawasan Indo Pasifik berpeluang menjadikan suatu negara sebagai negara yang besar dan kuat dan menjadi poros bagi negara-negara lain di dunia. Dari sisi geografis, kawasan ini mencakup dua samudera besar di dunia, yakni Hindia dan Pasifik. Negara-negara yang bercorak maritim akan sangat tergantung pada jalur niaga dan konektivitas antarnegara yang berjalan di kedua samudera tersebut. Dari sisi demografis, kawasan ini sangat padat penduduk, yang secara ekonomi merupakan pangsa pasar bagi negara yang mampu menguasainya. Sedangkan dari sisi sumber daya alam, nilai strategisnya sangat terlihat dari besarnya kandungan sumber daya maritim di dalamnya, terutama minyak bumi dan gas alam yang belum tergantikan posisinya saat ini sebagai sumber energi utama meskipun EBT terus-menerus dikembangkan oleh banyak negara.

Tiongkok yang berambisi untuk menguasai dunia baik melalui jalur darat maupun jalur laut, sangat menyadari absennya AS di kawasan Indo Pasifik. AS pada dekade 2000-an sangat disibukkan dengan perang global melawan terorisme (global war on terrorism) yang dikobarkan pasca serangan mematikan di Pentagon dan World Trade Center pada 2001. AS menggalang kekuatan sekutu yang berhimpun di NATO sebagai aliansi strategisnya untuk melakukan invasi terhadap Afghanistan dan Irak yang dianggap sebagai negara-negara sponsor terorisme. Invasi dan perang yang dikobarkan di kedua negara tersebut untuk memerangi Taliban dan Alqaedah bukan saja menyedot anggaran perang yang besar, tapi juga waktu perang yang berkepanjangan yang belum bisa ditentukan kapan berakhir. Ketika Tiongkok masuk ke kawasan Indo Pasifik melalui pendekatan diplomasi lunak dengan memakai jalur perdagangan, AS baru menyadari absensinya. Tiongkok bukan saja hadir, tapi menancapkan pengaruhnya dan menggerus pengaruh AS secara signifikan. Tiongkok secara aktif menjalankan kebijakan Silk Road dan Belt Road Initiative (BRI) untuk menguasai kawasan baik dari darat maupun maritim.

Respons AS

AS tentu tidak tinggal diam. Hal pertama yang dilakukan oleh AS adalah melakukan pemulihan terhadap berbagai kerugian yang mereka derita selama menjalankan perang melawan terorisme di Afghanistan dan Irak. Pada 2021, tepat 20 tahun pasca invasi di Afghanistan dan Irak, AS menarik total seluruh pasukannya. Langkah ini ditempuh bukan hanya karena desakan publik domestik, tapi lebih ke arah kalkulasi untung rugi. Pasca penarikan pasukan ini, AS kemudian memusatkan perhatiannya secara total terhadap kawasan Indo Pasifik. Untuk memperkuat kembali pengaruhnya, AS menggunakan instrumen klasik yang dikuasainya yakni IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara berkembang di kawasan. AS juga menguatkan posisinya di Jepang dan Korea Selatan sebagai protektor kedua negara dari tekanan dan dilema keamanan yang diciptakan oleh Tiongkok. Beragam kerja sama militer mulai dari perdagangan senjata dan joint military exercises dilakukan terhadap kedua negara. Tak ketinggalan, AS juga menjalankan strategi lama khas perang dingin, yakni menciptakan proksi-proksi seperti QUAD (AS, Australia, India, Jepang) dan AUKUS (AS, Australia, Inggris).

Rivalitas antara AS dan Tiongkok di kawasan sudah barang tentu menimbulkan dampak terhadap negara-negara lain di kawasan, termasuk Indonesia. Bentuk rivalitas yang paling mencolok adalah dengan berkobarnya ketegangan atau tensi politik dan militer di Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok mengklaim bahwa Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah kedaulatannya berdasarkan klaim tradisional sejarah pada masa lalu, yakni dengan menunjukkan peta sembilan garis putus-putus sebagai dasarnya. Klaim ini menuai penolakan dari negara-negara maritim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam, yang mendasarkan klaim wilayah mereka berdasarkan kaidah hukum laut internasional (Unclos 1982). Indonesia sejatinya juga terdampak karena seringnya pelanggaran ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara oleh kapal-kapal nelayan Tiongkok yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai. Apa yang dilakukan oleh Tiongkok bukan saja sekadar klaim, tapi juga melakukan pendudukan secara fisik dengan membangun pulau-pulau buatan, pangkalan militer, instalasi militer, penempatan personel dan sistem persenjataan militer di Laut Tiongkok Selatan. Hal inilah yang memancing kehadiran AS di kawasan. AS yang notabene merupakan sekutu strategis Malaysia dan Filipina, begitu juga Taiwan sebagai claimant state tidak akan tinggal diam terhadap aksi Tiongkok yang hendak menjadi penguasa kawasan secara ilegal.

Pengarusutamaan regional

Perkembangan sedemikian tentu memancing tensi tinggi dan sentimen negatif di kawasan Asia Tenggara. Secara strategis, politik luar negeri suatu negara akan dibangun berdasarkan perhitungan atau kalkulasi kekuatan masing-masing. Kehadiran Tiongkok dengan aksi-aksi koersifnya di kawasan, demikian pula halnya dengan AS yang menggunakan kapal perangnya, tentu bukan tandingan negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk dihadapi secara vis a vis. Maka dalam kalkulasi strategis, rational choice yang dapat dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia adalah dengan menggunakan instrumen ASEAN sebagai sarana kerja sama kawasan. ASEAN yang terdiri atas sepuluh negara, termasuk claimant states Asia Tenggara, dan memiliki kemitraan strategis dengan berbagai forum seperti ARF dan Forum Indo Pasifik dinilai sebagai sarana yang tepat untuk menciptakan perimbangan kekuatan (balance of power). ASEAN sendiri memiliki berbagai perangkat untuk menciptakan perdamaian kawasan, seperti Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZoPFAN), Treaty of Amity and Cooperation (TAC), ASEAN Regional Froum (ARF), hingga ASEAN Political and Security Community (APSC).

Secara mendetail, berikut langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan negara-negara kawasan dengan menggunakan instrumen ASEAN untuk membendung pengaruh rivalitas AS dan Tiongkok.

Pertama, menyatukan pandangan di antara seluruh negara Asia Tenggara bahwa perlindungan terhadap wilayah maritim, baik kedaulatan wilayah maupun hak berdaulat, akan ditempuh dengan berpedoman pada kaidah hukum laut internasional (Unclos 1982).

Kedua, mendiskusikan mekanisme resolusi konflik yang akan ditempuh secara bersama-sama untuk setiap pelanggaran yurisdiksi yang dilakukan oleh Tiongkok pada forum kepala negara dan menteri pertahanan ASEAN. Sedapat mungkin negara-negara ASEAN menghindari penyelesaian masalah secara bilateral dengan Tiongkok untuk menghindari sikap Tiongkok yang kerap mendua dan mengelabui hukum internasional.

Ketiga, negara-negara maritim Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam melakukan patroli maritim (joint patrol) secara bersama-sama untuk mencegah dijadikannya spot-spot penting maritim sebagai arena unjuk kekuatan militer AS dan Tiongkok.

Keempat, memperkuat kemandirian kawasan dan mendukung penguatan kerja sama dalam visi komunitas ASEAN untuk mengurangi, bahkan menghilangkan ketergantungan secara politik, ekonomi, dan militer terhadap AS dan Tiongkok.

Kelima, menolak untuk bergabung dengan proksi-proksi politik, ekonomi, dan militer yang dibuat oleh AS dan Tiongkok seperti yang ditunjukkan oleh Indonesia dengan menolak bergabung ke dalam forum kerja sama QUAD.

Rivalitas antara AS dan Tiongkok di kawasan Indo Pasifik merupakan cerminan dari realisme politik yang dianut oleh negara-negara besar yang senantiasa mengutamakan kepentingan nasional by all means, bahkan dengan melanggar hukum internasional dan komitmen untuk mewujudkan perdamaian dunia. Rivalitas AS dan Tiongkok di berbagai dimensi ini sangat mirip polanya dengan perang dingin, yang mana salah satunya adalah menimbulkan dilema keamanan bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Tenggara.

Upaya Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara untuk membendung dampak negatif dari rivalitas AS dan Tiongkok seyogianya dilakukan dengan menggunakan instrumen kawasan, yakni pengarusutamaan kerja sama ASEAN. Hal ini merupakan rational choice berdasarkan kapasitas dan kekuatan yang dimiliki untuk menciptakan balance of power baik terhadap Tiongkok maupun terhadap AS. ***

Boy Anugerah

Alumnus Taplaikbs Diplomat di Lemhannas RI/Tenaga Ahli di DPR RI