Aksi Damai Pawai 79 Gerobak Sapi Siap Digelar
Ini wujud keprihatinan PPPSRS Apartemen Malioboro City, menuntut segera diterbitkannya SLF hitam di atas putih.
KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Apartemen Malioboro City, Edi Hardiyanto, menyatakan pikanya siap menggelar aksi damai pawai 79 gerobak sapi dari Pemkab Sleman hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Rencananya, aksi itu digelar 2 September 2024 dengan tuntutan segera diterbitkannya Sertifikat Laik Fungsi (SLF) apartemen tersebut hitam di atas putih.
“Kami menuntut agar SLF segera dikeluarkan dan harus keluar sebelum tanggal 1 September. Jika sebelum tanggal 1 September tidak ada kabar progres dari pihak Pemkab Sleman, otomatis tanggal 2 September kami aksi dan kami menuntut SLF langsung dikeluarkan,” ujarnya, Minggu (25/8/2024).
Kepada wartawan di sela-sela menghadiri undangan Pawai Gerobak Sapi di Lapangan Pojok, Harjobinangun Pakem Sleman, Edi menjelaskan kenapa harus ada perjanjian tertulis karena pihaknya tidak ingin dipermainkan. “Kami tidak mau diberi janji-janji manis tanpa ada suatu kejelasan berupa perjanjian atau pernyataan tertulis,” kata dia.
Delapan tahun
Didampingi Sekretaris PPPSRS, Budijono, lebih lanjut Edi menyampaikan SLF hitam di atas putih sebagai bentuk bentuk keseriusan dari Pemerintah Kabupaten Sleman, Pemerintah DIY serta Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian PUPR.
“Kami sudah menunggu delapan tahun. Kami ingin SLF segera turun dalam waktu dekat ini. Jika tidak, ya itu yang akan kami laksanakan. Kami harus ada kejelasan berupa perjanjian dari Pemkab Sleman yang ditandatangani entah itu oleh bupati, sekda, sekda Provinsi DIY, BPN dan disaksikan oleh DPRD. Itu yang paling utama,” tandasnya.
Ditanya kenapa mengerahkan gerobak sapi, menurut dia, selain dalam rangka HUT ke-79 RI aksi damai itu juga sebagai bentuk keprihatinan serta sebagai sarana penyampaian aspirasi kepada pemegang kekuasaan.
Selain itu, juga dalam rangka nguri-uri budaya. Baginya, gerobak sapi memiliki makna sebagai suatu simbol perjuangan selama ini yang selalu dimulai dari bawah dan tidak mengenal lelah.
"Ïni sebagai simbol perjuangan kami yang tidak kenal lelah, pelan-pelan akan tetapi kelakon. Sekarang kami sudah sampai pada titik puncak untuk membuat suatu keputusan. Harus segera ada diskresi,” kata Edi. (*)