Warga Jogja Gugat Presiden dan Menko Polhukam Rp 1,07 T

Warga Jogja Gugat Presiden dan Menko Polhukam Rp 1,07 T
Zealous Siput Lokasari didampingi kuasa hukumnya saat hadir di Pengadilan Negeri Yogyakarta. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Zealous Siput Lokasari, seorang warga Yogyakarta, menggugat Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD atas dugaan diskriminasi ras dan etnis terkait kepemilikan tanah di Yogyakarta.

Zealous kecewa, karena kedua pejabat negara itu tidak hadir dalam sidang kedua di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada Kamis, (25/1/2024). Ia mengatakan gugatan dilayangkan karena mereka tidak merespons surat-surat yang ia kirimkan sejak 2016, ketika istrinya Veronica Lindayati Lokasari, mengalami perlakuan tidak adil saat mengurus peralihan nama sertifikat tanah di Kantor Pertanahan Kulonprogo.

Siput menyebut, bahwa istrinya disebut sebagai non-pribumi dan tidak dilayani dengan baik oleh petugas. Akibatnya, sertifikat tanahnya dicoret dan tidak bisa digunakan lagi.

Ia menilai, bahwa penggunaan istilah non-pribumi sudah melanggar Inpres No. 26/1998 tentang Menghentikan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Pemerintahan. Ia juga menganggap bahwa hal ini bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang yang melarang diskriminasi.

Dalam hal ini ia menuntut ganti rugi materiel sebesar Rp 6,396 miliar dan imateriel sebesar Rp 1 triliun dari tergugat. Ia mengatakan bahwa nilai gugatan itu relatif dan bukan tujuan utamanya. Ia lebih mengharapkan agar tergugat datang dan minta maaf kepadanya, serta mengakui kesalahan mereka.

Nilai gugatan itu kan relatif, tetapi mungkin perlu dipertanyakan, loh kenapa sih kita menggugat?. Bukan karena tanah, bukan pula perkara uang. Karena kita semua tahu kan bahwa negara ini kan ada undang-undang yang melarang diskriminasi, itu jelas. Kemudian yang melarang bahkan menyebut istilah non-pribumi, itu sudah jelas. Ada aturan yang mengatur, itu merupakan bagian daripada Pancasila itu sendiri, ya kan?,” tuturnya kepada wartawan Kamis (25/1/2024).

Oncan Poerba, penasihat hukum penggugat, mengatakan bahwa sidang akan tetap berjalan sesuai dengan prosedur hukum meskipun sebagian para tergugat tidak hadir. Ia mengatakan bahwa para tergugat akan diberi kesempatan untuk hadir sebanyak tiga kali, namun mereka tidak memanfaatkan kesempatan tersebut.

Kalau dia besok nggak ada, lanjut. Jadi hukumnya tanpa kehadiran para pihak tergugat itu (sidang) lanjut, walaupun tanpa kehadiran. Karena ukurannya itu tiga kali. Panggilan itu kalau tidak dipenuhi, lanjut, ujar Oncan Poerba.

Ia menambahkan, bahwa para tergugat juga tidak memiliki surat kuasa yang sah untuk diwakili oleh pihak lain. Menurutnya, surat tugas yang mereka miliki tidak cukup untuk menggantikan surat kuasa, terutama jika berasal dari instansi-instansi tertentu.

Jadi sebenarnya kalau tiga kali itu sudah dipanggil tapi kalau tidak datang belum bisa kita pastikan lah sengaja mengulur waktu atau tidak. Hanya kalau sekiranya sudah tiga kali ya sebaiknya datang, tuturnya.

Oncan Poerba juga mengingatkan, bahwa ketidakhadiran para tergugat justru merugikan mereka sendiri. Ia mengatakan, bahwa tanpa hadirnya mereka, semua jawaban hukum dari pihak penggugat akan dianggap diakui oleh pengadilan.

Jadi tanpa hadirnya mereka dianggap semua gugatan hukum kita dianggap diakui. Jadi justru merugikan para tergugat nanti. Jadi makanya lebih baik mereka harus hadir. Tidak boleh tidak atau mewakili dengan kuasa hukumnya,” tandasnya. (*)