Trauma dan Tragedi dalam Kanvas Sri Pramono

Trauma dan Tragedi dalam Kanvas Sri Pramono

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Rasa kehilangan orang terdekat membuat sedih dan trauma mendalam. Tidak semua orang bisa melewati atau mengolahnya menjadi sebuah karya.

Adalah Sri Pramono, seorang pecinta alam yang juga seorang seniman kontemporer, mengekspresikan trauma dan tragedi lewat lukisan berjudul Menembus yang Keras pada 2010, selang 4 tahun setelah kepergian sahabatnya karena kecelakaan saat melakukan panjat tebing di Parang Endog, Bantul, Yogyakarta.

"Menembus yang keras ini sebenarnya saya ibaratkan itu tekstur tebing. Kemudian sebuah tragedi itu menembus batas dimensi antara kehidupan dan kematian. Bahkan masa itu secara teknis panjat tebing sebenarnya sudah benar," paparnya saat ditemui di sela-sela pembukaan pameran tunggalnya bertajuk Survival Energy, Kamis (1/6/2022), di MayinArt Gallery, Sonosewu, Kapanewon Kasihan, Bantul.

Tidak seperti ke 18 lukisan lainnya yang dikerjakan hanya butuh waktu kurang dari satu minggu, lukisan Menembus yang Keras ini butuh waktu setahun. Rasa duka yang masih menyelimuti Pramono membuatnya kadang tidak mampu melanjutkan goresannya di atas kanvas.

"Secara teknik tidak ada kesulitan dan mampu, tapi batin terkadang belum siap jika teringat kejadian itu," imbuhnya.

Lukisan berukuran 150x250 cm ini didominasi warna coklat, tekstur cat akrilik merupa tebing batu yang ada dalam kenangan Pramono. Efek tonjolan-tonjolan tekstur terlihat, walau dilihat oleh penikmat seni awam. Jarum jahit yang menembus tonjolan batu dengan benang merah yang menjuntai dan kusut di bagian bawah, masih cukup jelas untuk sebuah lukisan abstrak.

Karya Pramono dilapisi dengan baik dengan goresan yang tumpang tindih, warna-warna yang berani, gambar, elemen abstrak, dan tekstur yang tak terhitung jumlahnya. Meski sekilas abstrak, cara dia menyatukan semua elemen ini membuat orang-orang yang melihatnya penasaran untuk menemukan maknanya.

"Lukisan ini adalah sebuah catatan penting bagi saya. Tidak saya jual," kata Sri Pramono yang sering di panggil Si Preks oleh teman-temannya.

"Sebenarnya karya-karya saya itu kan substansi dari petualangan saya zaman dulu. Sampai sekarang saya masih naik gunung, memanjat tebing, walau tidak se intens dulu. Jadi apa pun yang saya lakukan dalam berkarya, itu merupakan substansi ketika saya menghadapi kondisi badai, kondisi hujan dan sebagainya," paparnya.

Pramono merupakan pelukis abstrak dan humanis dalam arti sebenarnya. Ia berpikiran bebas dan memiliki kepedulian pada isu-isu sosial. Melalui karya-karyanya, Pramono menyoroti berbagai hal, antara lain belenggu mental, masalah sosial-ekonomi, krisis ekologi dan paradoks politik di masyarakat.

Budayawan dan sastrawan, ST Sunardi, menyatakan tema Survival Energy yang dipilih merupakan ekspresi semangat dan daya juang di masa-masa sulit selama dua tahun terakhir ketika pandemi Covid-19 melanda. Dampak pandemi dirasakan dalam segala aspek kehidupan secara global.

"Namun ada kalanya di tengah krisis, kita harus melihat kembali ke dalam diri kita, menemukan penghiburan dan kekuatan yang berasal dari dalam, digerakkan oleh energi untuk bertahan hidup dan berkembang melampaui batasan-batasan diri dan lingkungan," paparnya.

"Spirit inilah yang diambil oleh Sri Pramono yang dia ungkapkan dalam karya-karyanya yang enigmatik dan simbolik," lanjutnya.

"Saya merasa ada optimisme. Abstrak iya, jika dilihat secara optik aneh gitu, tetapi di situ ada jiwa. Setelah agak lama melihat, itu sepertinya ada semacam ritme yang entah dibangun lewat bentuk, kadang-kadang malah ada cahaya. Bahkan, kalau jeli itu, sepertinya ada perspektif juga secara umum," terang Sunardi.

"Ketika berhadapan dengan karya abstrak itu kita bisa menciptakan ruang-ruang kita sendiri di sana dan menikmati. Kalau tidak, kita malah diserang dan terganggu dengan karya itu. Kalau kita masuk kemudian sampai merasakan ada gerak dan ritme kita diundang untuk memilih ruang mana yang cocok," lanjutnya.

Sementara kurator pameran, Heri Kris, menambahkan gaya abstrak sudah lama ditekuni Sri Pramono dan gaya ini pula kemudian menjadi pilihannya hingga sekarang. Konsistensi dalam berkarya tetap dia kelola dan fokus pada persoalan-persoalan yang terkait dengan karyanya.

"Bermodal pemikiran yang terbuka dan imajinasi, pengunjung diajak mengeksplorasi dunia di dalam 18 karya abstrak yang dipamerkan, melihat obyek melampui dunia visual," lanjutnya.

"Penikmat karyanya diajak berkelindan dengan emosi sang seniman yang tertuang di kanvas, namun sekaligus sapuan-sapuan abstrak penuh simbol itu bicara secara personal kepada setiap individu," kata dia.

Pameran tunggal Sri Pramono bertajuk Survival Energy berlangsung 1-10 Juni 2022, di MayinArt Gallery, Perumahan Sonosewu Baru 446, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. MayinArt adalah sebuah galeri kurasi seni online berbasis di Singapura

Pameran ini terbuka untuk umum pada 1 hingga 10 Juni 2022 dari pukul 10 pagi - 6 sore. Pameran ditutup dengan artist talk pada hari Jumat, 10 Juni 2022 pukul 4 sore. (*)