Ini Alasannya Kenapa Makam Pangeran Sumodiningrat Layak Jadi Cagar Budaya

Ini Alasannya Kenapa Makam Pangeran Sumodiningrat Layak Jadi Cagar Budaya

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Menggandeng Pusat Studi Mataram (Pusam), pengurus Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) DIY ziarah ke beberapa tempat yang sarat nilai kesejarahan, Sabtu (22/5/2021).

Ziarah diawali ke makam Putri Pembayun, putri dari Raja Mataram Islam pertama, Panembahan Senapati, di pemakaman Karang Lo Karangturi Banguntapan Bantul. Dilanjutkan ke situs Watugilang Kalurahan Baturetno Banguntapan yang merupakan peninggalan budaya Hindu, letaknya tidak jauh dari Makam Karang Lo.

Rombongan yang dipimpin Ketua AGSI  DIY Wahyudi didampingi sekretaris Agus Tony Widodo, Wening Parmujiasih serta Soeprastiono Nugroho (Kepala Departemen Hukum), Maria Parmeiasih (bendahara), Lucki Fidianto dan Muhtar (anggota departemen Litbang) serta founder Pusam, Lilik Suharmaji, melanjutkan ziarah ke makam Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat.

Sumodiningrat adalah menantu sekaligus panglima perang Sultan Hamengku Buwono II  (Sultan Sepuh). Makamnya di belakang Masjid Kagungan Dalem Jejeran Kelurahan Wonokromo Pleret Bantul.

“Kunjungan dan ziarah ke makam Putri Pembayun untuk mengenang sekaligus menghargai Putri Pembayun sebagai anak yang berbakti kepada ayahandanya Panembahan Senapati demi kejayaan Mataram Islam,” kata Wahyudi kepada koranbernas.id, Sabtu (22/5/2021) malam.

Putri Pembayun layak jadi teladan bagi para perempuan Indonesia  karena pengorbanannya untuk bangsa dan negaranya tanpa pamrih. Putri Pembayun bersedia menjadi duta Mataram guna menundukkan Ki Ageng  Mangir IV yang memang saat itu tidak mau tunduk kepada Mataram di bawah  kekuasaan Panembahan Senapati.

“Memang saat itu wilayah Mangir  di Pajangan Bantul dalam pandangan Mataram bagaikan negara dalam negara. Panembahan Senapati  berusaha keras agar wilayah Mangir tunduk kepada Mataram yang beribukota di  Kotagede. Tidak sampai di situ setelah Ki Ageng Mangir IV suami pertamanya  gugur di tangan Senapati, Putri Pembayun tetap setia kepada ayahandanya dan rela diperistri oleh Ki Ageng Karang Lo seorang abdi setia  Panembahan Senapati atas perintah ayahandanya. Itulah, makam Putri Pembayun satu kompleks  dengan makam suami keduanya, Ki Ageng Karang Lo,” terang Wahyudi.

Lilik Suharmaji  menyampaikan apresiasi kepada pemuda dan  Karang Taruna  Jejeran Wonokromo karena membersihkan, merawat dan mengecat makam Panglima Perang Pangeran Sumodiningrat. Makam abad ke-19 itu tampak bersih dan rapi.

Lilik menilai  makam  Pangeran Sumodingrat pantas dan layak dijadikan cagar budaya mengingat  keteguhan, keberanian, dan kesetiaannya  mempertahankan Kesultanan Mataram dari gempuran kolonial Inggris pada 18, 19, dan 20 Juni 1812.

Apabila makam ini dijadikan cagar budaya maka keberadaannya terawat dan terlindungi oleh negara. “Pangeran Sumodiningrat yang berjuluk Singa Barong agul-agul Mataram saat itu adalah panglima perang yang membawahi ribuan prajurit Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi tentara Inggris di bawah komando Raffles pada peristiwa Geger Sepoy,” terangnya.  (*)