Tak Terima Regrouping SDN Plipir, Puluhan Warga Geruduk DPRD

Tak Terima Regrouping SDN Plipir, Puluhan Warga Geruduk DPRD

KORANBERNAS.ID, PURWOREJO--Dinas Pendidikan dan Olah Raga Purworejo, menutup SDN Plipir yang terletak di Desa Plipir, Kecamatan Purworejo.

Sekolah ini memiliki murid hanya 60 orang, sehingga diharuskan bergabung alias regrouping dengan SD Pacekelan yang berada di desa sebelahnya.

Tak terima SD Negeri yang berada di desanya ditutup, maka puluhan warga Desa Plipir mengadukan hal tersebut ke DPRD Kabupaten Purworejo, Rabu (5/2/2020).

Juru bicara warga Desa Plipir Denis, mempertanyakan penutupan sekolah desanya. Dengan nada mengeluh, Denis juga bertanya mengapa bukan SD Pacekelan saja yang di regrouping ke SD Plipir.

“Kami bisa bilang begitu, karena Desa Pacekelan memiliki dua sekolah dasar,” papar Denis.

Menurut Denis, kebijakan ini merepotkan orangtua dari siswa di Desa Plipir untuk menjemput putra putri mereka. Jarak yang harus mereka tempuh menjadi semakin jauh.

“Kami tidak menolak regrouping, tetapi tunggulah sampai tahun ajaran baru. Sehingga anak-anak tidak kebingungan dalam beradaptasi,” ucap Denis.

Karena menurutnya, di SD yang baru proses belajar mengajarnya lebih cepat daripada SD sebelumnya.

Kepala Desa Plipir, Ashuri menuturkan pihaknya diundang ke Kecamatan Purworejo dan mendapat paparan, yang intinya bagi SD yang muridnya kurang dari 60 orang akan di regrouping.

“Kami masih merasa lega karena jumlah murid di SD Plipir berjumlah 61 siswa. Selain itu, saat sosialisasi tersebut juga disampaikan, untuk SD yang siswanya kurang dari 60 murid, regrouping akan dilakukan 2-3 tahun ke depan,” jelas Ashuri.

Namun kenyataannya, pada pertemuan ke-3 yang dilakukan hanya berselang 2-3 bulan kemudian, SK penutupan SDN Plipir diberikan kepadanya.

“Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya hanya bisa pasrah,” tandas Kades dengan 330 Kepala Keluarga (KK) ini.

Ashuri menambahkan, bahwa di belakangnya ada orangtua dan wali murid yang keberatan dengan keputusan regrouping tersebut.

Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga Sukmo Widi mengatakan, ketentuan dalam APBD Perubahan tentang Pelaksanaan Anggaran, salah satunya untuk pelaksanaan regrouping.

“Guru yang mengajar di sekolah dasar, idealnya satu sekolah dengan 10 pegawai negeri sipil (PNS). Namun kenyataannya, 52 persen dari guru wiyata bakti,” ungkap Sukmo.

Menurut dia, guru harus mempunyai sertifikat uji kompetensi. Sedangkan rata- rata guru wiyata bakti tersebut belum memiliki sertifikat dimaksud.

“Jumlah sekolah dasar di Purworejo saat ini 500 lebih. Idealnya cukup 340 saja,” tandasnya.

Melihat data tersebut, katanya, akan banyak SD di Kabupaten Purworejo yang harus di regrouping.

Selain itu, lanjut Sukma, SD dengan jumlah siswa 60 orang, tidak akan menerima dana bos. Jika kondisinya demikian, maka SD tidak bisa bergerak dan beraktivitas normal.

Begitu juga dengan SDN Plipir memiliki siswa 60 orang, ada tambahan siswa baru 1 orang, tetapi belum masuk kedalam daftar dinas.

Selain itu, SD Plipir memiliki 3 orang PNS, yang terdiri dari kepala sekolah dan 2 guru. Sedang guru wiyata bakti ada 5 orang.

“Jika tanpa BOS, siapa yang akan membiayai guru wiyata bakti tersebut,” jelas Sukmo.

Ketua Komisi IV DPRD Purworejo yang membidangi Pendidikan, Rani Summadiyaningrum, menerima audensi warga Plipir yang menyatakan keberatan dengan kebijakan tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, Rani berpesan kepada Kepala Dindikpora untuk memberikan pemahaman regulasi regrouping SD kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak terkejut dan bisa menerima keputusan dari pemerintah.

Sementara itu,Wakil Ketua DPRD Kabupaten Purworejo, Yophi Prabowo menyampaikan pesan kepada Kepala Dindikpora untuk melakukan pendekatan sosial kepada masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat merasa nyaman.

“Bagi siswa eks SD Plipir yang berasal dari keluarga kurang mampu dan anak yatim, saya berjanji akan membantu bea siswa,” janji Yophi. (SM)