Tak Ingin Ada Diskriminasi, Setumpuk Surat Dikirim Lewat Kantor Pos Yogyakarta

Tak Ingin Ada Diskriminasi, Setumpuk Surat Dikirim Lewat Kantor Pos Yogyakarta

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Seorang warga Kota Yogyakarta, Zealous Siput Lokasari, mendatangi Kantor Pos Besar Yogyakarta, Rabu (21/12/2022). Tidak seperti biasanya, kali ini dia membawa setumpuk surat.

Pada salah satu surat tersebut tertulis nama beserta alamat penerima di Jakarta, yaitu Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly. Adapun isinya perihal permohonan Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di DIY untuk setiap Warga Negara Indonesia.

Didampingi Agus Hendry Susanto dan Willie Sebastian, kepada wartawan Siput menjelaskan surat-surat itu sengaja dikirim lewat kantor pos sebagai bentuk rasa cinta kepada Yogyakarta. Seperti yang dirasakannya selama ini, dirinya tidak ingin ada diskriminasi di provinsi ini.

Surat serupa sudah dikirimkan ke Gubernur DIY pada pertengahan Desember silam, dengan tembusan Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Mahkamah Konstitusi serta berbagai instansi lainnya hingga berjumlah 27 instansi, termasuk tembusan ke redaksi media cetak dan online.

Terus terang, lanjut Siput, dirinya maupun rekan-rekannya merasa kecewa. Sejak terbitnya Rekomendasi Komnas HAM 073/R/Mediasi/VIII/2014 tanggal 11 Agustus 2014 terkait dengan diskriminasi RAS atas Hak Tanah Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di Provinsi DIY, sejak itu pula rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan.

Sebagaimana isi surat rekomendasi Komnas HAM yang ditandatangani oleh Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, Pemda DIY diminta mencabut Instruksi Wakil Kepala Daerah Provinsi DIY No k898/i/A/1975 tanggal 5 Maret 1975.

“Dan paling menyedihkan lagi, kita ini sudah (berjuang) sekian puluh tahun sampai terbitnya rekomendasi Komnas HAM. Itulah sebabnya kami pagi ini bersurat kepada Pak Yasonna, dan beberapa hari lalu kepada Pak Gubernur, agar supaya melaksanakan rekomendasi Komnas HAM. Kita juga sudah bersurat ke Pak Presiden tapi Pak Presiden diam saja. Ya, kita nangkep-nya Pak Presiden ini nggak enak lah,” kata Siput.

Perasaan sedih bertambah tatkala dirinya mengetahui  MenkumHAM beberapa waktu lalu memberikan penghargaan untuk Pemda DIY serta kabupaten/kota dengan predikat Kabupetan/Kota Peduli HAM.

Secara personal, Siput menilai penghargaan itu rasanya kurang pas, mengingat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga menentang keras adanya diskriminasi. Hal itu juga dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

“Oleh karena itu, kami ingin meluruskan hal tersebut. Apa ada warga negara Nonpribumi di NKRI ini? Tidak ada. Semua peraturan perundangan di NKRI ini pada intinya adalah menjunjung tinggi HAM,” tambahnya.

Seperti tertulis di dalam surat itu, masih ada kelompok rentan dan dimarjinalkan di DIY sehubungan dengan kepemilikan tanah.

Artinya, sebut dia, masih terjadi pengkotak-kotakan antara pribumi dan nonpribumi. “Jadi, saya dan teman-teman intinya adalah justru sayang kepada DIY. Saya sayang sama Pak Gub, Kami ini sangat menghormati Pak Gub. Jjangan sampai di DIY ini ada setitik nila merusak susu sebelanga, seolah-olah pelanggaran HAM didiamkan,” kata dia.

Ditanya apakah sudah ada komunikasi selama ini, dia menyatakan sudah datang ke kantor Gubernur DIY. “Saya sudah datang ke Kepatihan bersama Pak Willie, kami ingin tanyakan ke Pak Gub kenapa masih pakai diskriminasi nonpribumi?” ujarnya. (*)