Sungkeman sebagai Budaya Hukum Adiluhung

Oleh: Sudjito Atmoredjo

HARI raya idul fitri 1444 H sudah berlalu. Keindahannya terasakan sebagai kenangan semua pihak, ketika sungkeman masih menjadi budaya hukum adiluhung. Apa itu sungkeman, dan apa pula budaya hukum?

Sungkeman sebagai Budaya Hukum Adiluhung

HARI raya idul fitri 1444 H sudah berlalu. Keindahannya terasakan sebagai kenangan semua pihak, ketika sungkeman masih menjadi budaya hukum adiluhung. Apa itu sungkeman, dan apa pula budaya hukum?

Sungkeman adalah sebuah prosesi adat (khususnya di Jawa), dilakukan seseorang yang usianya lebih muda, kepada orang yang lebih tua (atau dituakan), dalam maknanya sebagai pangabekten (penghormatan), pangapuran (saling memaafkan), serta permohonan doa-restu.

Adapun budaya hukum adalah perilaku sosial-budaya, terkait dengan nomos (bahasaYunani: nomoi) yakni: hukum kebiasaan. Nomos merupakan living law. Ada dan telah berlangsung dalam waktu lama, lintas generasi. Dilakukan oleh banyak orang dalam himpunan komunitas, atau masyarakat, bahkan bangsa. Nomos, diperlengkapi dengan berbagai atribut, baik isi maupun bentuknya. Kemudian eksistensinya dilanggengkan.

Prosesi sungkeman dilakukan dengan cara-cara unik, yakni bersimpuh, menunduk, berjabat tangan, dan mencium dengkul (lutut). Ijab, terucapkan dalam bahasa Jawa halus (kromo hinggil); kemudian qobul (jawaban) dengan bahasa ngoko (lugu). Segala sikap dan ucapan, bermakna sebagai adab (sopan-santun) dalam hubungan antar generasi.

Contoh rangkaian kata-kata dalam sungkeman adalah:

“Kepareng matur dhumateng Simbah (Bapak, Ibu, Pakdhe, Budhe). Kula sowan, sepisan silaturahim. Ingkang kaping kalih, ngaturaken sugeng riyadi idul fitri. Kaping tiga, ngaturaken sembah lan pengabekti. Ugi nyuwun samudra pengaksami sedaya kalepatan.  Sak lanjengipun kepareng kula nyuwun donga pangestu, mugi punapa ingkang dados gegayuhan kula saged kasembadan, kaijabah Allah swt.”

Ketika prosesi sungkeman berlangsung tulus, tidak jarang air mata kedua belah pihak berlinang, bahkan menetes. Haru, bahagia, lega. Begitu adiluhung (berkualitas tinggi) budaya hukum sungkeman.

Dalam perspektif moralitas-religius, budaya hukum sungkeman, berisikan ajaran orang-orang tua kepada anak-cucu keturunannya bahwa kita semua adalah saudara. Tidak ada perbedaan kasta, derajat, pangkat, dan jabatan, antara satu dengan lainnya. Silaturahmi dilakukan demi peningkatan kualitas iman dan taqwa.

Pesan-pesan demikian, senantiasa diaktualisasikan pada saat damai, serba kecukupan, maupun pada saat terjadi krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lainnya. Falsafah humanisme (jati-diri manusia) dijabarkan menjadi semangat ukhuwah (persaudaraan), tanpa keterjebakan pada kehidupan serba majemuk dan berlapis-lapis tingkatannya.

Di Indonesia, nilai-nilai moralitas-religius terwadahi dalam Pancasila. Itulah maka sungkeman, senantiasa bersumber pada Pancasila, berkarakter sosial-religius, kekeluargaan, sebagai pengejawantahan ketaqwaan kepada Tuhan (Allah swt), dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam skala individu maupun sosial-kebangsaan, sungkeman diorientasikan demi terwujudnya kedamaian, keselarasan, dan kehormanisan.

Orang-orang tua, sebagai pendahulu, telah banyak memberikan keteladanan berbagai kebajikan. Betapa teguh, amanah, dan konsisten menegakkan nomos yang bersumber pada Ilahi. Diteladankan kearifan hidup bersahabat dengan alam. Diteladankan hidup rukun, jalinan akrab dengan tetangga. Segala keteladanan bermakna sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Sungkeman pada keotentikannya merupakan budaya hukum adiluhung. Patut disyukuri, walaupun berhadapan dengan perubahan zaman, karakter sungkeman sebagai habitual behavior (perilaku kebiasaan) terus melekat. Kemungkinan berubah menjadi social rules (aturan sosial) ataupun rule-governed behavior, amat kecil. Mengapa demikian?

Merujuk pendapat ahli hukum kebiasaan (H.L.A.Hart, 1961), kebertahanan demikian karena tidak mudah terpenuhinya persyaratan lahirnya social rules. (1) Ketaatan berpartisipasi dan berkontribusi bagi semua anggota komunitas pada sungkeman; (2) Tidak layak ditimpakan sanksi terhadap anggota yang absen; (3) Pengelolaan sungkeman senantiasa bersifat internal. Dari tiga persyaratan tersebut, tidaklah mungkin kekuasaan eksternal (misal pemerintah) memaksakan kehendaknya, baik untuk pengubahan, pelestarian, ataupun peniadaan sungkeman.

Generasi muda pada zaman milenial, tampaknya tidak/kurang peduli dengan budaya hukum sungkeman. Alih-alih, bersimpuh, berbahasa halus (kromo hinggil), unggah-ungguh. Secara empiris, sungkeman sudah jarang dipahami dan dipraktikkan anak-anak muda. Mereka menjadi wong Jawa sing wis kelangan Jawane.

Akibatnya, sungkeman mengalami degradasi. Bersujud­, bersimpuh, berbahasa halus, pengedepanan sopan-santun telah tergantikan dengan sikap egaliter, bahasa profan, dan serba pragmatis. Misal, komunikasi secara virtual, menggunakan bahasa pergaulan, dan perilaku sejenis lainnya.

Pada umumnya orang-orang tua memprihatinkan gejala lunturnya sungkeman pada generasi milenial tersebut. Gejala demikian merupakan wujud kerusakan budaya hukum. Rusak karena tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas-religius, dan rusak dalam wujud perilaku.

Segalanya, terpulang pada perkembangan ilmu dan teknologi komunikasi serba canggih, tetapi tidak dibarengi pemantapan etika pada penggunanya. Perilaku pragmatis seperti itu menjadi bumerang terhadap budaya hukum, dan merenggangkan kohesi sosial maupun kerekatan emosional antar-generasi. Sungguh, tidaklah mudah mengajak generasi milenial untuk kembali ke budaya hukum adiluhung.

Dari perspektif mirror theory (teori cermin), terdegradasinya budaya hukum sungkeman, sebenarnya sekadar cermin perkembangan komunitas atau masyarakatnya. Teoretikus sosiologi hukum (Tamanaha, 2006) menjelaskan bahwa masyarakatlah penentu corak, kualitas, dan bentuk-bentuk nomos (hukum kebiasaan) yang berlaku. Artinya, sungkeman akan tetap adiluhung ataukah semakin terdegradasi, tergantung dari sikap dan perilaku masyarakatnya.

Demi ketahanan budaya hukum dan keadiluhungan sungkeman, kiranya para ahli, pemerhati, dan tokoh masyarakat perlu bersinergi mendesian sungkeman secara futuristik. Berbagai pilihan tentang isi maupun bentuk perlu diaktualisasikan. Identifikasi dan analisis permasalahan, dituangkan ke dalam kebijakan yang populis dan partisipatif.

Salam Pancasila, sehat, dan bahagia. Wallahu’alam. ***

Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi

Guru Besar UGM, Pengajar Sosiologi Hukum