KORANBERNAS.ID,SLEMAN--
Penjabat Sementara (Pjs) Bupati Sleman Kusno Wibowo, mengungkapkan stunting memang masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Sebab cita-cita Sleman adalah zero stunting.
"Sehingga, penurunan stunting tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga terlibat sesuai ketugasannya," kata Kusno Wibowo pada wartawan, Senin (14/10/2024).
Diungkapkan Kusno, daerah Minggir menjadi lumbung padi, ada mina padi, kemarin juga panen nila di sana, tetapi masih merah. Ini perlu ada kolaborasi, hasil panen perikanan bisa diberikan kepada warga yang ada stuntingnya, sehingga bisa menurunkan stunting di Minggir.
“Kolaborasi itu penting, semua OPD. Fokus kegiatan ini difokuskan ke lokus yang sama. Kami pun berharap hingga tingkat Kalurahan, untuk memberikan pendidikan tentang pola asuh anak-anak, terutama untuk yang akan menikah. Karena masalah pola asuh ini kan penting,” tuturnya.
Tidak hanya antar OPD, kolaborasi juga harus terbangun kuat dengan menggandeng seluruh pihak, seperti masyarakat, BUMD, hingga swasta.
“Kita harus berkolaborasi pentahelix, dengan swasta dan masyarakat. Swasta bisa bergerak melalui CSR, kemudian BUMD di Sleman juga siap membantu dalam mengatasi stunting. Bisa menjadi bapak asuh, agar CSRnya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan stunting di Sleman,” ungkapnya.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Cahya Purnama menjelaskan angka stunting di Kabupaten Sleman tahun 2024 melalui pengukuran Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) di angka 4,41 persen. Menurut Cahya ada empat Kapanewon yang masih mencatatkan angka stunting tinggi di Sleman. Yaitu Kapanewon Minggir menjadi Kapanewon dengan angka stunting tertinggi, yaitu 8,5 persen, disusul Kapanewon Pakem sebesar 7,5 persen, lalu Kapanewon Seyegan sebesar 7,08 persen, dan Kapanewon Turi sebesar 6,61 persen.
Berdasarkan Audit Kasus Stunting (AKS) yang dilakukan di Seyegan dan Pakem, penyebab stunting utamanya karena pola pemberian makan balita yang tidak tepat. Makanan yang diberikan belum adekuat, karena menitikberatkan pada camilan.
“Seyegan dan Pakem tertinggi pada tahun 2023, sekarang bergeser ke Minggir dan Turi, meskipun Seyegan dan Pakem masih tinggi juga. Jadi masih pada pola asuh yang belum bagus. Salah satunya menitikberatkan pada camilan ke anak, tidak ada jadwal teratur ketika makan, ini dimulai ketika MPASI,” kata Cahya.
Mungkin ada yang orangtuanya bekerja, kemudian anak dititipkan ke nenek atau pengasuh yang tidak memiliki pengetahuan memadai.
"Jadi bukan karena kemiskinan. Data kami, (stunting) yang disebabkan kemiskinan hanya 5 persen, sedangkan 90 persen ke atas karena pola asuh,” tutur Cahya.
Selain itu, stunting disebabkan karena masih adanya ibu hamil yang berisiko tinggi melahirkan bayi prematur. Cahya menyebut di empat Kapanewon tersebut masih banyak bayi lahir dengan berat badan rendah.
"Tingginya angka stunting disebabkan oleh tata laksana follow up bayi prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) yang kurang optimal," jelasnya.
Selain itu akses ke penjaminan pembiayaan kesehatan yang masih belum merata. Hal itu karena masih banyak yang belum memahami bahwa stunting juga dikover oleh BPJS Kesehatan. Pemberian insentif asupa gizi balita berupa makanan tambahan (PMT) kurang sesuai target. Kemudian juga kasus perawakan pendek non stunting atau kasus stunting dengan red flag belum semua dirujuk untuk ditangani dokter spesialis anak.
"Lalu juga perilaku merokok di rumah tangga. Ini menyebabkan infeksi pernapasan berulang pada balita," ujarnya.(*)