Siklus Politik Lima Tahunan Mengabaikan Peran Perempuan

Mereka diminta untuk memaklumi adanya politik biaya tinggi.

Siklus Politik Lima Tahunan Mengabaikan Peran Perempuan
Diskusi publik bertajuk Merebut Kembali Demokrasi, Meretas Rute Politik Deliberasi pada Selasa (30/4/2024) di Fisipol UGM. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Melalui diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Law, Gender and Society Centre di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono, menggugah kesadaran akan peran perempuan dalam politik Indonesia.

Dia menyoroti peran perempuan yang sangat beragam dalam masyarakat dan politik. Sering kali peran itu terabaikan dalam siklus politik lima tahunan.

Sri Wiyanti berpendapat melihat politik hanya dari perspektif pemilu dan partai politik adalah pandangan yang sempit. Isu-isu penting seperti pendidikan anak, perawatan dan penghapusan kekerasan berbasis gender sering kali tidak memperoleh perhatian layak dalam arena politik.

"Perempuan dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, mulai dari masalah kultural hingga stigma terhadap aktivis perempuan," jelasnya dalam diskusi publik bertajuk Merebut Kembali Demokrasi, Meretas Rute Politik Deliberasi, Selasa (30/4/2024) di Fisipol UGM.

Diskusi mencakup pentingnya memahami bagaimana demokrasi dapat membawa dampak langsung pada kehidupan sehari-hari perempuan, serta perlunya upaya kolaboratif untuk membangun politik dan demokrasi yang inklusif bagi mereka.

ARTIKEL LAINNYA: Angka Kriminalitas Turun, Pelanggaran Lalu Lintas Meningkat

Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni UGM menambahkan dimensi yang penting dalam pembicaraan tersebut.

Sujito menyoroti adanya kesenjangan antara institusi demokrasi dan masyarakat, serta adanya fenomena politik biaya tinggi yang membuat oligarki menjadi norma baru dalam politik. Hal ini menyulitkan partisipasi politik bagi mereka yang kurang memiliki sumber daya finansial.

"Pemilu kita saat ini menjadi ukuran penentu praktik demokrasi. Sekarang ada kecenderungan ketika berbicara tentang pemilu, itu hanya menjadi pesta yang memfasilitasi para oligarki," ujarnya.

Sujito menekankan ketika orang berbicara seperti itu, mereka diminta untuk memaklumi adanya politik biaya tinggi. "Hal ini juga menutup peluang bagi anak muda yang pintar tapi tidak punya uang. Poin saya adalah, kontestasi antara partai politik sekarang memaksa masyarakat untuk memaklumi praktik oligarki dan partai itu terjadi," lanjutnya.

Pada akhirnya, narasumber diskusi tersebut mengingatkan pembangunan politik dan demokrasi yang inklusif bagi perempuan membutuhkan perubahan tidak hanya dalam hukum dan kebijakan, tetapi juga dalam kesadaran dan praktik politik yang ada di masyarakat secara luas. (*)