Seniman Bimo Wiwohatmo Pentaskan Karya yang Menentang Dirinya Sendiri

Saya mencoba menahan, menolak obral gerak.

Seniman Bimo Wiwohatmo Pentaskan Karya yang Menentang Dirinya Sendiri
Bimo Wiwohatmo dan beberapa seniman pendukung memberikan keterangan di Taman Budaya Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Seniman sekaligus koreografer Bimo Wiwohatmo mementaskan sebuah karya eksperimental tak biasa, Selasa (8/8/2023) malam, di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Karya ini disebutnya sebagai sebuah pertunjukan tidak biasa yang menentang dirinya dan iringan instrumen musik.

"Saya mencoba menahan emosi tubuh seorang penari. Penari biasanya takut untuk diam, ingin selalu bergerak. Saya mencoba menahan, menolak obral gerak. Ini akan lebih lambat secara gerak tapi iringan musiknya akan bertempo cepat. Saya ingin mencoba memberi memori pada audience yang datang menyaksikan," ungkap Bimo Wiwohatmo kepada wartawan Senin (7/8/2023) di Taman Budaya Yogyakarta.

Pertunjukan ini berjudul Manah, tidak ada narasi atau pun sinopsis yang dipublikasikan kepada penonton atas pertunjukan ini. Dengan begitu, ia meyakini setiap penonton akan membangun sendiri interpretasi tentang karya eksperimentalnya tersebut. Pertunjukan ini terbuka untuk umum dan dapat disaksikan secara cuma-cuma.

Eksperimentasi ini, lanjut Bimo, lebih pada menahan diri dari keriuhan panggung, menahan untuk tidak berlebih, dan menahan untuk tak terlalu yakin bahwa berjalan ke masa depan adalah keharusan.

ARTIKEL LAINNYA: Film Biopik H Djuanda Digarap Muhammadiyah dengan Teknologi Mutakhir

Ada kenyataan saat ini ternyata beragam tari Klasik Jawa masih terjaga namun dalam muatan yang berbeda atas kepentingan di luar dirinya.

"Karya tersebut hadir tidak selalu beriring dengan ritus-ritus yang dulu mendukung kehadirannya, akan tetapi dengan kepentingan yang berbeda. Demikian juga dengan penari-penari yang memiliki keterbatasan untuk “hadir” dalam proses bersama," kata dia.

Harga sebuah pertemuan dalam proses menari menjadi sangat terbatas karena semakin riuhnya perjalanan dan kerja. Pertemuan juga tidak harus fisikal, bisa virtual. Adakah ini memerlukan uji coba kembali untuk menentukan langkah kembali dengan cara yang baru?

"Dalam tradisi Klasik Jawa ada pola tertentu dalam mengitari obyek yang dihormati dalam sistem sirkulasi," ujarnya.

ARTIKEL LAINNYA: Lulusan SD Bisa Cari Kerja di Ajang Bantul Career Expo 2023

Dia menjelaskan, ada pradaksina yaitu melingkari obyek dengan cara berjalan melingkar ke kiri dengan obyek di sisi kanan (searah jarum jam). Lalu di sisi sebaliknya juga ternyata ada parasawya yaitu memutar berlawanan dengan arah jarum jam.

"Bagaimana jika kita mencoba memutari kembali tari klasik Jawa saat ini dengan kemungkinan kedua pola tersebut," kata dia.

Ini juga merupakan eksperimentasi dalam menginterpretasi kembali gerak tari Jawa untuk saat ini. Namun yang pasti sebuah karya baru bukanlah sebuah langkah kembali seutuhnya, karena pelacakan atau pengulangan mengharuskan sebuah perbedaan.

"Konsep ini bertumpu pada konsepsi retrokreasi dari Deleuze. Demikan juga yang dianjurkan oleh para pujangga dalam khasanah Jawa Kuno dengan konsep nganggit atau nggubah. Selalu diperlukan eksperimen," tandasnya.

ARTIKEL LAINNYA: OPPO Luncurkan Reno10 Series 5G dengan Sistem Kamera Smartphone Tingkat Profesional

Bimo mempercayakan penataan musik kepada Wasis Tanata, Sebagai penata artistik Beni Susilo Wardoyo dan Penata Kostum Nita Azhar serta penata cahaya Eko Sulkan.

Beberapa penari yang terlibat adalah Sitras Anjilin, Uni Yutta, Heni Pujiastuti, Asteria, Retno Swastiastuti, Veronica Retnoningsih, Istu Noor Hayati, Bambang Widyanto, Icha Fikri Kurniawan, Jalu Pamungkas dan Andy SW.

Para pemusik adalah Andreas Dola Marsenda, I Wayan Pande Narawara, M. Erdifadilah, M Dimas, Istiadi, Noval Fitra Al Matiin, Ramberto Agozalie dan Steven Michael Burrell. (*)