Konsisten Promosikan Wisata Walau Lirik Patah Hati

Konsisten Promosikan Wisata Walau Lirik Patah Hati

KORANBERNAS.ID --The Godfather of Brokenheart, (bahasa Jawa: Bapak Loro Ati Nasional; Bapak Patah Hati Nasional), Didi Kempot penyanyi campur sari yang memiliki penggemar lintas generasi, belakangan ini kembali naik daun di kalangan milenials.

Lantunan lagu berbahasa Jawa miliknya getarkan auditorium Amartha, Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (Stipram) Sabtu (12/10/2019) siang.

Pemilik nama asli Dionisius Prasetyo ini membawakan lima tembang hitsnya, lagu-lagu lama yang dilantunkan Didi, sukses membuat para Sobat Ambyar (penggemar Didi Kempot-red) ikut bernyanyi.

Penggemar-penggemar baru Didi Kempot ini muncul, dengan nama beragam. Jika pada era 90-an hanya dikenal sebagai Kempoters, kini selain Sobat Ambyar penggemar laki-laki Didi Kempot dijuluki Sad Boys dan Sad Girls untuk perempuan.

Kali ini merupakan kedua kalinya Didi Kempot tampil di Stipram setelah tahun lalu Didi menerima penghargaan sebagai pionir pariwisata dari kampus ini. Penyanyi asal Solo, Jawa tengah ini dianggap konsisten mempromosikan pariwisata lewat lagu-lagunya. Sebut saja lagu Parangtritis, Pantai Klayar, Banyu Langit dan masih banyak lagi

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Hildiktipari Suhendroyono,

“Hampir semua lagu Didi Kempot mempromosikan pariwisata, sekalipun itu lagu patah hati,” paparnya disela-sela puncak Dies Natalis Stipram ke-18 di kampus setempat.

Sebelumnya, 80 perguruan tinggi pariwisata yang tergabung dalam Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (Hildiktipari), selama tiga hari melakukan rapat kerja di Stipram. Raker yang dilakukan setiap tahun ini penting dilaksanakan. Menurut Hendro sebagai pengurus Hildiktipari harus bisa memberikan sesuatu yang beragam untuk anggotanya.

“Harus ada program-program kerja yang disusun untuk tahun 2019 ini, karena untuk menjawab isu-isu yang berkembang sekarang ini. khususnya yang menyangkut tentang keberadaan perguruan tinggi lebih khususnya bagi perguruan tinggi swasta,” imbuhnya.

Hendro melanjutkan, isu tersebut antara lain adalah perubahan kurikulum di Indonesia, sehingga terpaksa harus mengimpor, perlukah atau tidakkah itu? kemudian isu tentang pengurangan jumlah keseluruhan tinggi di Indonesia karena dinilai terlalu banyak.

Pengurangan yang terjadi karena penggabungan, tapi ada juga yang mati secara otomatis karena memang di bawah standar dan lain-lain.

"Semua isu-isu itu perlu kita elementer dan kita cari jalan keluar agar tidak berkembang sendiri. selain itu, ada isu kebijakan pemerintah bahwa akan dihilangkannya program studi sekolah tinggi. Di luar negeri sekolah tinggi itu diterjemahkan hanya menjadi high school, yaitu setingkat dengan sekolah SMA atau SMK. Sehingga program itu tentu tidak begitu saja mudah untuk diselesaikan, walaupun sekarang sudah mulai ada yang berubah perguruan tingginya berubah menjadi politeknik dan sebagainya,” tandasnya.

Meskipun pada perkembangannya, lanjut Hendro, belum tentu menjadi sesuatu yang diharapkan, bisa saja menjadi sebaliknya, karena tidak semuanya bisa berhasil.

Untuk itu pihaknya melakukan antisipasi dengan cara menghadirkan orang yang kompeten akan regulasi yaitu mengundang direktur eksekutif BAN PT yang bertanggung jawab untuk seluruh akreditasi secara nasional. (SM)