Santriwati Krapyak Meraih Fellowship di Chicago AS
Saya mengikuti salat Jumat di University of Chicago, di mana umat Muslim menggunakan gereja secara bergantian.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Seorang santriwati Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta, Rhetno Arobiatul Jauzak, berhasil meraih fellowship untuk mendalami kehidupan beragama serta dialog antar kepercayaan di Chicago Amerika Serikat (AS).
Ini merupakan program delegasi interfaith dari Kementerian Agama RI bekerja sama dengan LPDP (Dana Abadi Pesantren) dan USAID serta bekerja sama dengan American Islamic College (AIC) dan Lutheren School of Theology at Chicago (LSTC).
Jalan menuju program itu tidaklah mudah. Dari ribuan pondok pesantren yang mendaftar, hanya 20 santri yang diterima melalui seleksi ketat dan transparan.
Melalui keterangan tertulis, Rhetno mengaku banyak memperoleh pengalaman unik bahkan mendapati banyak kesempatan serta tantangan seputar interfaith pada era modern. “Ïni adalah pengalaman yang luar biasa sekaligus penuh tantangan,” ujarnya, Senin (9/12/2024).
Baginya, pengalaman itu sekaligus dijadikan refleksi sebagai seorang guru pesantren dalam membangun harmoni lintas agama. “Sebagai seorang guru pesantren, pengalaman ini membuka cakrawala baru tentang bagaimana pendidikan di pesantren dapat berkontribusi dalam dialog global lintas agama,” ungkapnya.
Hubungan bilateral
Program tersebut bukan hanya menjadi representasi Indonesia dalam membangun dialog lintas agama, tetapi juga memperkuat hubungan bilateral dengan Amerika Serikat.
“Sebagai perwakilan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta saya merasa terhormat sekaligus unik, karena latar belakang saya sebagai bidan menjadikan saya satu-satunya peserta dari bidang kesehatan di antara delegasi lain,sehingga saya bisa memberikan sudut pandang yang berbeda,” kata Rhetno.
Dia juga merasa sangat terbekali, selain perwakilan dari pesantren juga menjadi representasi dari organisasi JPPPM (Jamiyyah Pengasuh Pondok Pesantren) tempat di mana dia memperoleh bekal dari para guru termasuk dari organisasi Fatayat DIY.
“Dengan bekal dari Fatayat serta berorganisasi di Nahdlatul Ulama (NU) Yogyakarta mempermudah saya untuk memahami banyak hal terkait sosial dan eksperimen serta interfaith pada negara besar dunia,” jelasnya.
Rhetno melihat peluang besar untuk memperluas wawasan seputar interfaith. “Selama hampir dua bulan kami di sini sudah banyak tempat kami kunjungi untuk saling berdialog dan melihat sudut pandang dunia terkait interfaith,” kata dia.
Harmoni sosial
Selama di AS, Rhetno bersama delegasi lainnya memperoleh kesempatan mengunjungi kantor pemerintahan interfaith. Tidak hanya dalam konteks agama, dibahas pula peluang-peluang yang lahir jika saja keselarasan ini tetap terjalin dalam membangun harmoni sosial.
Rhetno berpendapat, pada era digital saat ini teknologi menawarkan peluang besar untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Media sosial, webinar dan platform diskusi lintas budaya telah membuka jalan bagi kolaborasi antaragama tanpa batas geografis.
“Pengalaman saya selama program ini menunjukkan bagaimana komunitas lintas agama di Chicago memanfaatkan teknologi untuk memperkuat interaksi, seperti pertemuan virtual dan penyebaran konten edukasi tentang toleransi,” kata dia.
Pengalaman menarik lainnya adalah saat berhadapan dengan masyarakat global yang semakin majemuk di Chicago. Dia melihat langsung bagaimana komunitas Muslim, Kristen, Yahudi dan agama lainnya hidup berdampingan dengan damai.
“Misalnya, pengalaman saya mengikuti salat Jumat di University of Chicago. Umat Muslim menggunakan gereja secara bergantian, ini adalah contoh nyata toleransi dalam tindakan,” ujarnya.
Lintas budaya
Menurut dia, generasi muda memiliki akses luas informasi lintas budaya. “Di pesantren, saya menyadari pentingnya mengintegrasikan pendidikan tentang keberagaman budaya dan agama ke dalam kurikulum. Interaksi saya dengan mahasiswa dari berbagai negara di Chicago memperkuat keyakinan bahwa dialog lintas agama dapat dimulai sejak usia dini,” tambahnya.
Adapun tantangan terbesar adalah penyebaran disinformasi tentang agama yang masih marak terjadi di sosial media. Algoritma sosial media sering kali memperkuat pandangan ekstrem dan memperburuk stereotip. Literasi digital menjadi kunci penting mengatasi tantangan ini, khususnya di kalangan generasi muda pesantren.
Selain itu, agama juga sering dimanfaatkan untuk agenda politik yang berisiko memecah belah masyarakat. Di Chicago, pemerintah lokal menunjukkan contoh bagaimana program interfaith dapat berjalan tanpa memihak agama tertentu sehingga tercipta lingkungan yang inklusif.
Rhetno tidak menampik anggapan banyak masyarakat masih terjebak dalam stereotip tentang agama lain. Dari program itu dia banyak belajar bahwa keterbukaan adalah kunci utama untuk memecahkan hambatan seperti itu.
Rhetno merasakan masyarakat Chicago yang ramah terhadap Muslim. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat makan bersama komunitas Muslim di Lutheran School of Theology.
Makanan halal
“Meskipun bukan institusi Muslim, mereka memastikan makanan yang disajikan halal dan menghormati kepercayaan kami. Ini menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya tentang memahami, tetapi juga menghormati kebutuhan orang lain,” ucapnya.
Dari pengalaman itu pula, Rhetno memahami betapa pentingnya pendidikan interfaith di pesantren. Menyisipkan kurikulum lintas agama di pesantren dapat menjadi langkah awal untuk membangun generasi yang toleran dan inklusif.
Pesantren juga dapat memanfaatkan sosial media untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang toleransi dan perdamaian. “Pengalaman interfaith di Chicago menunjukkan pentingnya kerja sama lintas negara. Indonesia dapat menjadi contoh global dalam dialog antaragama,” tandasnya.
Kesempatan mengikuti program interfaith tidak hanya memperluas wawasannya tentang keberagaman tetapi juga menegaskan bahwa harmoni antaragama adalah tanggung jawab bersama.
“Sebagai langkah menuju kemanfaatan dalam program ini sekaligus memberikan dampak yang berarti, saya saat ini sedang menulis buku dan meneliti lebih dalam tentang Chaplaincy Muslim di Amerika, karena banyaknya manfaat yang saya lihat,” kata Rhetno.
Dia berharap dapat menjadi perantara adanya suatu masukan negara Indonesia. Sekali lagi, sebagai seorang guru pesantren dirinya berharap pengalaman ini dapat menginspirasi generasi muda untuk terus membangun dunia yang lebih damai dan inklusif. (*)