Ramai-ramai Beralih ke Rokok Tingwe

Ramai-ramai Beralih ke Rokok Tingwe

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Harga rokok buatan pabrik yang terus merangkak naik, menginspirasi para perokok ramai-ramai beralih ke rokok linting. Tembakau rajangan, cengkeh, kertas rokok maupun alat linting manual kini banyak dicari.

Tidak sulit menemukan para penjual tembakau beserta peralatan linting plus gabus penyaring tar dan nikotin. Harganya pun relatif murah. Untuk alat linting sederhana dipatok Rp 25 ribu per unit. Bentuknya kecil bahkan bisa masuk kantong celana.

Seiring tren yang pernah muncul di masyarakat pada era 1990-an, rokok tingwe alias linting dhewe sekarang ini bukan lagi barang asing di kalangan perokok. Hal ini mengingatkan ketika Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DIY PD Taru Martani waktu itu sempat mengeluarkan produk tembakau siap linting.

Memang sedikit agak ribet. Perokok perlu mempersiapkan tembakau dan kertas. Berkat alat linting yang kini banyak dijual di pasaran, prosesnya pun semakin cepat, tidak perlu lagi digulung pakai dua telapak tangan.

“Tinggal diisi tembakau kemudian ditarik langsung jadi rokok,” ungkap Hardiyanto warga yang tinggal di Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta, belum lama ini. Dia memang baru saja menggunakan alat linting.

Soal rasa tak perlu diragukan, tak kalah dengan buatan pabrik. Di setiap toko tembakau rata-rata sudah tersedia tembakau siap linting dengan rasa apa saja sesuai selera pembeli.

Tembakau tersebut diramu sedemikian rupa, maka jangan heran begitu diisap rasanya persis sama dengan cita rasa rokok-rokok merk terkenal dan sudah menjadi legenda; Sebut saja Gudang Garam, Djarum, Dji Sam Soe dan lainnya.

Di Yogyakarta toko penyedia tembakau jenis ini mulai banyak bermunculan. Pusatnya berada di dekat Tugu Yogyakarta. Di tempat ini semua jenis tembakau tersedia. Bahkan cerutu pun ada. Semua tinggal pilih.

Puluhan tahun berjualan

Tak hanya di toko-toko yang sebagian dilengkapi alat pendingin udara, penjual tembakau juga banyak ditemukan di sejumlah tempat. Rata-rata mereka sudah puluhan tahun berjualan tembakau.

Salah seorang di antaranya Ny Sugeng, yang biasa mangkal di depan kawasan Kampus UNY Jalan Bantul, sekitar 500 meter dari Pojok Beteng Kulon.

Meski sudah lansia (lanjut usia) wanita itu masih terlihat bersemangat mencari rezeki dari tembakau rajangan yang dikirim dari berbagai daerah termasuk pusat tembakau Temanggung atau tembakau Siluk khas Gunungkidul yang cita rasanya begitu istimewa.

Pagi itu, sambil duduk di dingklik atau kursi kecil, Ny Sugeng mencabuti gumpalan-gumpalan tembakau supaya terurai. Sesekali dia menata kertas-kertas linting yang harganya cuma Rp 500 per kemasan.

Barang dagangannya cukup lengkap. Hanya beberapa menit usai menatanya, sudah beberapa kali terlihat anak muda mampir membeli tembakau. “Yang ini satu ons Rp 8 ribu,” ungkapnya dalam Bahasa Jawa.

Di luar pro dan kontra rokok dari segi kesehatan, yang pasti pemerintah meraup untung banyak dari cukai tembakau.

Berdasarkan data Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), pemerintah memperoleh pemasukan besar dari cukai rokok, total Rp 200 triliun.

Misalnya harga rokok dipatok Rp 10 ribu sebenarnya dari harga tersebut sebesar Rp 7 ribu masuk kas negara. Maka bisa dibayangkan berapa rupiah yang masuk kas negara setiap tahunnya. Fantastis. (iry)