Posisi Generasi Milenial Dilematis, Prima Sari: Mereka Membawa Restorasi

Politik anak muda sekarang ini memang berupaya untuk membangun keriuhan.

Posisi Generasi Milenial Dilematis, Prima Sari: Mereka Membawa Restorasi
Prima Sari, pemerhati digital ekonomi bisnis. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Pemerhati ekonomi bisnis digital, Dra Prima Sari FLMI, menyatakan populasi penduduk usia muda terus bertambah. Sebagai gambaran, di seluruh dunia tiga dari sepuluh orang adalah milenial yang kemudian disusul oleh Generasi Z, generasi yang memiliki usia 15-39 tahun. Hal serupa terjadi di Indonesia.

“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 diproyeksikan proporsi angkatan milenial Indonesia akan mencapai 106 juta jiwa atau 34 persen dari total penduduk. Artinya, wajah Indonesia dan dunia ke depan ditentukan oleh generasi milenial,” ungkapnya kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (30/11/2023).

Menurut dia, generasi yang juga disebut generasi Y dan Z ini tumbuh seiring berkembangnya teknologi infomasi, khususnya internet dan gawai. Kaum milenial berusaha keras mewujudkan kehidupan yang baik.

“Mereka menginginkan pekerjaan yang layak dan menarik, sebuah kegiatan yang menjamin kesejahteraan, dan sebuah tatanan politik yang baik sesuai dengan cita-cita mereka,” kata dia.

Tak hanya itu, mereka juga ingin terlibat di dalam sebuah aktivitas sosial, ekonomi dan politik yang terhubung secara emosional. Oleh sebab itu, memahami karakter generasi Y dan Z dalam memandang dunia masa kini, menjadi modal besar untuk memaksimalkan perannya dalam pembangunan.

ARTIKEL LAINNYA: Menulislah, Kau akan Dikenang dengan Karyamu

Di Indonesia, lanjtu Prima Sari, posisi kalangan milenial secara bertahap memperoleh atensi dan sorotan, terkait kontribusi mereka terhadap pembangunan negara bangsa ke depan. Terlebih mulai 2019, kalangan milenial mulai diproyeksikan akan mengisi berbagai macam posisi strategis, baik sektor publik maupun sektor swasta.

“Mereka diharapkan akan membawa restorasi yang lebih baik bagi Indonesia karena mereka adalah generasi yang dibentuk dan dididik dengan berbagai macam fasilitas memadai,” ungkapnya.

Umumnya, lanjut dia, mereka berada dalam dua posisi dilematis yaitu antara ingin menjadi eksis atau ingin menjadi narsis. “Eksis itu bisa diartikan sebagai upaya menjadikan dirinya ke dalam bentuk arena pencarian jati diri,” kata Prima Sari.

Lebih lanjut, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) ini berpendapat kalangan milenial melihat ini sebagai peluang melepaskan diri dari stigma sebagai generasi protektif.

Artinya, mereka lebih mengedepankan berjejaring (networking) dalam membangun identitas dan representasi sosial, politik dan ekonomi yang kemudian dimobilisasi jadi kerumunan (crowd) yang intinya menekan secara politis secara terus-menerus.

ARTIKEL LAINNYA: Teliti Bank Digital, Mahasiswi UMBY Meraih Juara Internasional

“Politik anak muda sekarang ini memang berupaya untuk membangun keriuhan yang tujuannya menarik simpati yang lebih besar, baik secara luring maupun daring. Meskipun masih dikatakan sebagai permulaan, model seperti ini diperkirakan akan membesar pengaruhnya karena kalangan milenial lebih menyukai praktik informal dalam praktik formal,” kata dia.

Bagi kalangan milenial yang memilih jalur politik, menurut dia, untuk narsis akan cenderung melihat politik sebagai bentuk pengakuan diri maupun kolektif. “Mereka berupaya sebisa mungkin diakui sebagai orang atau kelompok penting tanpa peduli ideologi ataupun kepentingan,” jelasnya.

Kondisi kekinian itulah yang sebenarnya menjadikan posisi kelompok milenial menjadi rentan karena mereka dengan mudah disusupi berbagai macam kepentingan tertentu.

Dia mengakui, adanya euforia dan luapan emosi yang belum stabil di kalangan milenial inilah yang kadang kala dimanfaatkan betul sebagai motor gerakan politik.

“Mereka ingin narsis, tak peduli apakah kepentingan politik yang didukung itu benar atau salah. Idealisme yang berkembang di kalangan mereka pada umumnya dibenturkan dengan narasi patriotisme ataupun narasi heroisme sebagai bentuk pandangan dasar politik mereka,” ucapnya.

ARTIKEL LAINNYA: Putu Susastriawan Dikukuhkan jadi Gubes IST Akprind

Menurut Prima, kondisi ini akan sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan politik. Dia tidak mengelak kondisi Indonesia pada tahun 2030 akan terjadi bonus demografi, yaitu jumlah kelompok usia produktif lebih banyak dari kelompok usia nonproduktif.

Sektor ekonomi Indonesia juga diprediksi menduduki nomor lima terbesar di dunia. Diharapkan generasi muda dapat menjadi generasi pembuat dan pencipta kerja.

”Dengan pertumbuhan teknologi digital yang begitu pesat saat ini mestinya memberikan keleluasaan dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Selain karier di ranah politik, tentu saja kelompok ini sebagian besar juga mengarah ke karir dan pengembangan dirinya di sektor ekonomi bisnis,” kata Prima.

Prima yang pernah mengenyam pendidikan di Fellow Life Insurance LOMA Palo Alto SF USA ini mengakui pasti akan terjadi, bahkan sudah terjadi, benturan dengan generasi sebelumnya yaitu boomers dan generasi X.

“Pertama, perlu diingat meskipun narasi generasi tersebar luas, narasi tersebut tidak mempunyai dasar ilmiah. Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa generasi milenial lebih malas atau generasi baby boomer lebih keras kepala,” terangnya.

ARTIKEL LAINNYA: Guru Didorong Berani Melakukan Terobosan

Setelah meninjau lebih dari 30 tahun penelitian akademis mengenai topik ini, lanjut dia, National Academies of Sciences menyimpulkan bahwa batasan generasi bersifat arbitrer dan dugaan perbedaan generasi -- meskipun tidak dibuat-buat -- sebagian besar mencerminkan perbedaan situasional dan tahap kehidupan, bukan ciri kepribadian tertentu. dimiliki bersama oleh anggota seluruh generasi.

Misalnya, generasi muda tidak “bersembunyi di rumah orang tuanya” karena mereka malas. Mereka melakukan hal ini karena mereka bersekolah lebih lama, menghadapi kewajiban pelajar yang semakin meningkat, menikah terlambat, dan menghadapi pasar yang lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya pada usia yang sama.

Prima melihat, kondisi ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah ke depan. Dia pun berharap pemerintah ke depan lebih banyak menyediakan lapangan pekerjaan baik sektor formal maupun informal terhadap ledakan demografi tahun 2030.

Demikian juga sektor pendidikan. Tentu saja, mau tidak mau ada perubahan kurikulum dan pembuatan silabus dalam proses belajar mengajar di pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang disesuaikan dengan situasi sosial ekonomi, dan perkembangan teknologi. “Para pendidik dan pengajar juga harus menyiapkan diri,” pesan dia. (*)