Perlu Peta Jalan Membangkitkan UMKM

Perlu Peta Jalan Membangkitkan UMKM

SECARA global, dampak Covid-19 telah merusak seluruh sendi perekonomian secara luas dan merata (economic wide shocks) baik di Indonesia maupun dunia. Aggregate demand dan aggregate supply mengalami goncangan yang sangat dahsyat. Akibatnya, rantai pasok hancur, harga untuk berbagai komoditas jatuh, risiko resesi ekonomi global meningkat, pabrik terancam tutup, pengeluaran diskresioner meningkat, dan seluruh sektor trasnportasi, perhotelan, pariwisata, dan kuliner matisuri.

Kelompok yang paling berdampak adalah UMKM, yang pada saat krisis moneter 1998, UMKM justru menjadi bumper yang mempunyai daya serap terhadap pengangguran paling tinggi. Harapannya, dengan new normal, memberikan kontribusi penting bagi hidup dan jayanya kembali UMKM dalam berkontribusi bagi perekonomian nasional dan PDB.

Dengan guncangan dahsyat akibat pandemi, perekonomian nasional yang ditopang oleh 93.194.057 UMKM (menyumbang 99% dari total unit usaha)  yang mempekerjakan sekitar 116.978.631 pekerja (97% dari total tenaga kerja di sektor ekonomi), dan selama ini menyumbang 61,41 persen PDB Indonesia, seolah-olah terhenti mendadak.

Menurut catatan Kementerian Koperasi dan UMKM, setidaknya ada 1.785 koperasi dan 163.713 UMKM terdampak. Awalnya, pandemi mengganggu kinerja usaha skala besar yang mengakibatkan PHK bagi kurang lebih 6 juta orang tenaga kerja dan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk UMKM. Konsumen pada era pandemi sangat berhati-hati mengatur pengeluaran keuangan, karena ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Akibatnya daya beli turun.

Hal itu akhirnya berdapak pula pada sisi suplai UMKM, hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja pula pada sektor UMKM. Mereka juga mengalami kesulitan dalam pembayaran utang atau kredit, yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlangsungan kinerja bank.

Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) menyebutkan, bahwa pandemi berimplikasi terhadap ancaman krisis ekonomi besar yang ditandai dengan berhentinya aktivitas produksi di banyak negara, menurunnya tingkat konsumsi, menurunnya kepercayaan konsumen, jatuhnya bursa saham, yang semuanya mengarah pada ketidakpastian. OECD memprediksi akan terjadi penurunan tingkat output antara seperlima hingga seperempat di banyak negara, dengan pengeluaran konsumen berpotensi turun sekitar sepertiga.

Banyak ahli memprediksi, pertumbuhan ekonomi global akan nimus 1,1 persen. International Monetar Fund (IMF) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi global minus 3 persen. Untuk itu perlu solusi riil agar pada saat new normal, UMKM dapat segera bangkit dari keterpurukannya.

Pada era new normal, UMKM perlu menerapkan protokol kesehatan ketat dalam menjalankan aktivitas ekonomi, dan penundaan hutang untuk menjaga liquiditas keuangan, serta melakukan berbagai inovasi agar keberlangsungan UMKM dapat dipertahankan.

Kebijakan Perekonomian di bidang UMKM

Pemerintah telah mengeluarkan lima paket kebijakan untuk UMKM seperti memasukkan UMKM sebagai penerima program bantuan pemerintah, seperti kartu parakerja, subsidi tarif listrik dan keluarga harapan, pemberian keringanan pembayaran pajak selama enam bulan ke depan, pemberian relaksasi dan restrukturisasi pembayaran pinjaman, termasuk subsidi suku bunga.

Kementerian Perindustrian telah berusaha menghubungkan UMKM dengan toko-toko berteknologi daring untuk membantu pemasaran produk UMKM. Selain itu, UMKM juga diberi pengenalan penggunaan teknologi digital untuk proses produksi, dan penggunaan media digital untuk promosi, serta untuk menemukan pasar potensial bagi produk yang dihasilkan.

Pada saat new normal, pemerintah perlu memberikan pendampingan kepada UMKM untuk dapat memanfaatkan media e-commerce dalam menjual produk mereka, mengingat sebelum wabah baru ada 8% UMKM yang memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya, dan baru ada 65% yang sudah bankable. Pada saat new normal, semua itu perlu ditingkatkan secara signifikan.

Selanjutnya, pemerintah perlu membuat peta jalan pengembangan UMKM dalam menghadapi perkembangan industri 4.0 yang bercirikan informasi dan teknologi serta media digital, dengan menghidupkan kemitraan dengan usaha besar. Pemerintah juga dapat mendorong perusahaan besar untuk memanfaatkan dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) untuk UMKM.

Kebutuhan UMKM saat New Normal

Sebagaimana diketahui, lima kebijakan di atas hanya tepat untuk UMKM yang sudah bankable yang jumlahnya baru 60 juta UMKM. Sementara itu sisanya yang 23 juta lebih belum menggunakan layanan perbankan. Pemerintah perlu membuat mapping UMKM mana yang layak dibantu dan UMKM mana yang tidak perlu dibantu. UMKM yang paling layak untuk dibantu adalah semua UMKM yang paling terdampak dan menjadi sektor kunci dalam mengangkat perekonomian dan mampu mempertahankan pegawainya dari PHK. Mereka inilah yang diprioritaskan untuk dibantu.

Bila bantuan dari 5 skema tadi dipukul rata, tentu menjadi tidak tepat sasaran. Dengan kata lain, tingkat efektivitas 5 skema di atas menjadi rendah. Padahal untuk memulihkan kondisi UMKM hanya tersedia dana APBN tidak lebih dari Rp 1 triliun. Mengingat total dukungan APBN hanya Rp 479,15 triliun, yang terdistribusi untuk belanja negara Rp 355,13 triliun, pembiayaan Rp 93,92 triliun, dan tambahan belanja K/L dan sektoral RP 30,1 triliun, sehingga tersisa Rp 1 triliun untuk UMKM melalui program penjaminan untuk Kredit Modal Kerja Baru. Dana inilah yang harus benar-benar terdistribusi secara tepat sasaran.

Mengingat permasalahan UMKM pada saat wabah ini sangat pelik, sementara 5 skema pemerintah belum mampu menjawab permasalahan yang ada, maka UMKM perlu melakukan inisiasi melalui berbagai strategi.

Setidaknya ada empat langkah jitu untuk menjaga agar UMKM tetap survival pada saat new normal. Pertama melakukan analisis SWOT. Analisis ini penting untuk melihat berbagai kekuatan dan kelemahan dari dalam diri UMKM, dan mengetahui peluang dan tantangan dari luar UMKM.

Setelah berhasil memetakan langkah pertama, maka dapat dilakukan langkah kedua, yaitu melakukan berbagai inovasi produk, pemasaran, dan rantai pasok, serta pelayanan sesuai perubahan preferensi dan perilaku konsumen. Inovasi juga harus dilakukan di bidang pembukuan, misalnya dengan membuat jurnal online, sehingga semua penagihan dan pembayaran dapat diakukan dengan mudah. Seluruh transaksi bisa dicek langsung melalui berbagai jaringan media online. Melalui jurnal online juga dapat digunakan untuk mengecek ketersediaan barang, pesanan, pemasaran dan lain-lain.

Ketiga, melakukan perencanaan anggaran ketat. Seluruh pengeluaran yang tidak sangat penting bisa ditiadakan. Keempat, fokus pada kebutuhan konsumen, serta tidak boleh cepat merasa puas terhadap indikator survival yang selama ini diperoleh.

Kebijakan Jangka Panjang New Normal

Berbagai kebijakan Pemerintah kangka panjang yang dapat dimulai pada era new normal antara lain, meningkatkan akses UMKM terhadap pasar ekspor, dengan meningkatkan daya saing, dan menurunkan biaya logistik, biaya modal, meningkatkan akses permodalam, dan menurunkan harga-harga barang impor yang menjadi bahan baku UMKM.

Pemerintah menurut Sumarto (2020) perlu memiliki program yang dapat membuka akses UMKM terhadap pasar potensial dan mendorong UMKM untuk memasukkan pasar potensial tersebut. Peningkatan daya saing harus didorong oleh pemerintah dengan melakukan pendampingan peningkatan kualitas produk agar mempunyai daya saing tinggi.

High cost economy yang disebabkan oleh tingginya biaya logistik yang dihadapi UMKM, harus ditekan sedemikian rupa sehingga harga dapat bersaing. Biaya logistik UMKM yang hampir mendekati 25% perlu ditekan sedemikian rupa dengan meningkatkan sistem transportasi terintegrasi, dan menurunkan ongkos bongkar muat yang selama ini sangat mahal.

Biaya modal yang tinggi sebagai akibat kewajiban collateral serta tingginya suku bunga, menjadikan modal usaha UMKM jauh lebih mahal. Pemerintah bersama BI dan OJK hendaknya dapat mengatasi masalah klasik ini, ketika menghendaki UMKM dapat segera bangkit pada era new normal.

Pemerintah hendaknya dapat mendorong BI untuk menetapkan Loan to Value (LTV) yang besar bagi UMKM, sehingga down payment (DP) untuk UMKM bisa lebih rendah. Suku Bunga yang berkaitan dengan pembiayaan yang dilakukan oleh UMKM harus ditekan serendah mungkin, sehingga UMKM semakin inklusif dengan lembaga keuangan, dan lebih kuat dalam melakukan persaingan.

OJK harus mendorong lembaga keuangan untuk bekerja lebih efisien lagi, agar dapat memberikan bantuan permodalan kepada UMKM dengan suku bunga efektif yang rendah. Hal ini tentu akan mempermudah UMKM bangun dari keterpurukan saat new normal. ***

Dr. Basrowi, M.Pd., M.E.sy.

Alumni Pesma Baitul Hikmah Sby, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung, S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta.