Pageblug

<i>Pageblug</i>

EDITORIAL

PAGEBLUG. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pagebluk (dengan k bukan g), bermakna wabah penyakit. Atau epidemi. Bila dirunut asal-muasalnya, kata pagebluk dari bahasa Jawa dan ditulis dengan huruf terakhir g. Pageblug. Antara pagebluk dengan pageblug, serupa tetapi tidak sama.

Bahwa kondisi saat ini disebut sebagai pageblug, tidak ada orang Jawa yang paham tentang Jawa dan atau kejawèn membantahnya. Serangan Covid-19 dengan berbagai varian yang sudah dikenali, memang menjadi wabah penyakit yang mengerikan. Pandemi ini membuat miris banyak orang. Termasuk di dalamnya pemerintah daerah Provinsi DIY.

Beberapa waktu lalu, mungkin karena sudah sampai pada puncak kejengkelannya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan wacana akan melakukan lockdown. Apalagi penyebabnya kalau bukan rakyat kebanyakan abai terhadap pandemi Covid-19. Tidak patuh pada aturan protokol kesehatan yang berlaku tanpa kecuali. Akibatnya, lonjakan kasus warga terpapar Covid-19 makin meluas. Nyaris tak terkendali. Rumah sakit penuh dengan orang sakit. Bahkan ada kebijakan untuk sementara tidak menerima orang sakit apa pun di instalasi gawat darurat mereka. Tenaga kesehatan banyak yang tumbang.

Bisa dibayangkan, kalau kebijakan menutup instalasi gawat darurat dilakukan tanpa kecuali, orang yang sudah sakit parah atau sekarat sekalipun, tidak boleh berharap mendapatkan pertolongan medis.

Beberapa hari kemudian, Gubernur menyatakan tidak akan melakukan lockdown. Alasannya, pemerintah tidak punya cukup uang untuk membiayai kebijakan lockdown. Orang pun ada yang bertanya, pejabat paling tinggi di provinsi, mengapa bisa menyampaikan pernyataan seolah-olah tanpa dipikir akibatnya terlebih dahulu? Sekarang bicara A besok bicara B. Pemerintah seolah-olah menjadi tidak berwibawa, karena tidak ada konsistensi sikap dari seorang pemimpin.

Dalam pagebluk, cara menghadapi wabah penyakit benar-benar 100 persen menggunakan rasio. Setiap tindakan memerlukan dukungan ilmiah. Ini dapat disebut bertolak belakang dengan pageblug dalam pandangan orang Jawa.

Pageblug tidak cukup didekati dengan rasio. Konsep pandangan orang Jawa yang kosmologis, melihat persoalan dengan dimensi lebih lengkap. Keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos menjadi pijakan penting dalam menghadapi pageblug. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu muncul wacana untuk mengarak pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berupa bendera bernama Kangjeng Kyai Tunggul Wulung.

Pada generasi pemimpin Kraton Yogya terdahulu, setiap muncul pageblug, seperti wabah pes, influenza atau kolera, pusaka ini diarak keliling Keraton. Dan perlahan-lahan wabah menghilang.

Apakah Keraton Yogyakarta masih mampu bertahan sebagai pusat kebudayaan, yang pada masa lalu menjadi pengayom kawula? ***