Perilaku Hukum Mantan Pejabat Publik
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Dalam kesepian itu, sering gangguan jiwa menyertainya. Terbayang, betapa mewahnya kehidupan masa lalu. Pada saat yang sama terbayang, betapa kemewahan itu segera berakhir. Berganti kehampaan. Orang lain tak lagi peduli terhadapnya. Bagi mereka yang tidak siap mental, maka rasa percaya diri menjadi turun. Bahkan bisa depresi. Itulah post power syndrome. Tentu. Tidak semua mantan pejabat mengalami post power syndrome. Ada mantan pejabat, justru merasa gembira, lega, legawa, menerima takdir sebagai orang biasa lagi. Bersyukur karena telah selesai menunaikan tugas dan kewajibannya. Seorang teman tersebut di atas, adalah salah satu contoh konkritnya.
SEORANG teman bertutur tentang perjalanan kehidupannya. Ia tak pernah bermimpi menjadi kepala daerah. Tetapi, itulah kenyataan yang dijalaninya. Usai menunaikan jabatan, dia ditawari menjadi anggota badan legislatif. Tawaran itu ditolaknya. Mengapa? “Saya mau mengurangi dosa. Kembali di jalan kebenaran,” katanya.
Pernyataan itu bikin saya penasaran untuk bertanya. “Apa dosa-dosamu? Dengan senyuman misterius, dijawabnya: “Ah .... semua orang sudah tahu, di tempat kotor, sulit seseorang bertahan dalam kebersihan.”
Masih banyak tutur-kata lain yang tidak layak ditulis di sini. Satu hal, bahwa sikap teman ini, tergolong langka. Pada kebanyakan, justru orang berebut mencari jabatan, demi kekuasaan, harta-benda, dan kemewahan hidup. Dapat dinyatakan, sikap elegan itu, sepadan dengan mutiara di tengah kubangan lumpur. Daripadanya perlu diangkat, dibersihkan, dan direfleksikan, agar menjadi pembelajaran bagi publik.
Pada ranah moralitas-religius, ada ajaran tentang pentingnya menjaga jiwa. Ketika Allah Swt mencipta manusia dari tanah liat, dan kemudian dimasukkan ke dalamnya, roh/jiwa/nyawa, maka sejak saat itu, ada kehidupan. Hidup akan berakhir pada saat maut tiba. Jasad/raga/badan, berpisah dari rohnya. Jasad yang telah menjadi mayat, dikebumikan. Selesailah urusannya. Tetapi roh/jiwa/nyawa, tetap hidup. Cuma beralih alam kehidupannya. Dari alam dunia, ke alam barzah. Saatnya kelak, roh/jiwa/nyawa dibangkitkan, untuk dihisap. Tempat terakhir kehidupannya adalah alam akhirat.
Sungguh beruntung, roh-roh yang bersih, dan berisi amalan saleh/kebajikan. Surga menjadi tempat terbaik baginya. Sebaliknya, sungguh celaka, roh-roh yang kotor, sarat dengan noda dan dosa. Neraka menjadi tempat terburuk. Di sanalah azab ditimpakan sebagai balasan atas perbuatannya.
Sebentar lagi, di negeri ini, ada pergantian pemerintahan. Para pejabat publik, seperti: Presiden, Menteri, Deputi, Direktur Jenderal, dan lain-lain akan berganti. Pada situasi pergantian itu, orang-orang (pejabat) baru, akan kebanjiran ucapan selamat. Orang lama (mantan pejabat), akan memasuki kehidupan sepi. Sepi kekuasaan, sepi sanjungan, sepi penghasilan.
Dalam kesepian itu, sering gangguan jiwa menyertainya. Terbayang, betapa mewahnya kehidupan masa lalu. Pada saat yang sama terbayang, betapa kemewahan itu segera berakhir. Berganti kehampaan. Orang lain tak lagi peduli terhadapnya. Bagi mereka yang tidak siap mental, maka rasa percaya diri menjadi turun. Bahkan bisa depresi. Itulah post power syndrome.
Tentu. Tidak semua mantan pejabat mengalami post power syndrome. Ada mantan pejabat, justru merasa gembira, lega, legawa, menerima takdir sebagai orang biasa lagi. Bersyukur karena telah selesai menunaikan tugas dan kewajibannya. Seorang teman tersebut di atas, adalah salah satu contoh konkritnya.
Dengan kata lain, sikap syukur ataukah kufur terhadap jabatan, segalanya, tergantung kualitas jati-diri masing-masing. Suka atau tidak suka, berlakulah sunatullah, hukum alam, karma, atau law of attraction, baginya.
Makna sunnatullah adalah jalan atau arah yang ditetapkan Allah. Jalan manapun yang dilaluinya, akan berkonsekuensi pada capaiannya. Mereka yang menempuh jalan lurus, akan diperolehlah kemuliaan. Sebaliknya, siapa pun menempuh jalan sesat, maka kehinaan menyertainya.
Post power syndrome merupakan realitas, sekaligus bukti, berlakunya sunatullah secara universal. Bukti dimaksud adalah: (1). Ada gangguan kondisi jiwa, hingga rentan menjadi penyebab sakitnya jiwa-raga seluruhnya; (2). Ada harapan (kebahagian) yang sirna, dan berganti dengan realitas buruk (kehinaan); (3). Suatu kepastian bahwa bilamana sunatullah dijadikan kaidah kehidupan, maka post power syndrome tidak akan pernah terjadi.
Satu hal wajib diwaspadai, ketika post power syndrome terjadi, akan berlaku dalil like attracts like. Artinya, suatu hal akan menarik hal lain yang serupa. Seperti magnet, daripadanya terpancar frekuensi atau pancaran kekuatan untuk menarik hal serupa menjadi bagiannya. Konkritnya, bila saat kala berkuasa ada perilaku negatif (kejahatan) yang dilakukannya, maka pertanggung-jawaban hukum akan datang menghampirinya. Persoalan hukum, tiadalah mungkin berlalu begitu saja. Kehinaan akan berakhir, dan kemuliaan akan muncul, bila persoalan hukum telah terselesaikan dengan tuntas. Pertanggung-jawaban hukum itu, bisa di alam dunia, bisa pula di alam akhirat kelak.
Jeratan hukum, harus masuk bui (penjara), dikucilkan oleh masyrakat, dan sanksi-sanksi lainnya, selalu menghantui mantan pejabat yang terindikasi kotor. Pada tingkat tinggi, rasa ketakutan demikian, disebut sebagai sciophobia, yakni suatu jenis fobia (ketakutan) terhadap bayangan dirinya sendiri. Fobia itu berlangsung laten, dalam waktu lama, hingga berakibat penderitanya tidur tak nyenak, makan pun tidak enak.
Dalam kondisi tertentu, seorang penderita sciophobia, tidak mampu membedakan antara bayangan dan sentuhan realitas. Mereka akan menjerit, menangis, dan berusaha menghindari semua bayangan. Ketika tidur pun, mereka lebih memilih di ruangan terang, untuk menghindari pembentukan bayangan dari benda-benda yang ada di kamar. Bayangan orang bergerak, membuat mereka cemas terus-menerus.
Fobia pada koruptor, berupa ketakutan terjebak oleh aparat penegak hukum. Padahal, pada dimensi sunatullah/hukum karma, perihal keterjebakan itu, hanyalah soal waktu. Penegakan hukum, sebagai proses penerapan hukum pada kasus konkrit, terus berjalan, hingga kasusnya terbongkar dan terselesaikan tuntas.
Pengadilan terhadap pelaku kejahatan, merupakan tahap-tahap akhir penegakan hukum. Putusan hakim (vonis) yang menyatakan tersangka bersalah, ataukah tidak bersalah, berkonsekuensi pada sanksi hukumnya.
Berbahagialah mantan pejabat yang bebas dari jeratan hukum. Kepada mereka yang kotor jiwanya, berlumuran dengan noda dan dosa, hadapilah konsekuensi hukum dengan tegar. Berbagai dinamika kehidupan yang dijalani oleh para pejabat dan mantan pejabat, sungguh menjadi nutrisi bernilai tinggi, bagi masyarakat dan generasi penerus. Sikap jujur, bijak, berakhlak al karimah, merupakan fondasi peri-kehidupan yang ayom, ayem, dan tentrem, terbebas dari sciophobia. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM.