Hukum sebagai Nasihat Bijak

Oleh: Sudjito Atmoredjo

HUKUM, sedari awal, memang berurusan dengan keteraturan. Hukum ada dan/atau diadakan, sebagai rambu-rambu keteraturan. Hukum berfungsi sebagai instrumen perwujudan proporsionalitas hak dan kewajiban. Kategori unsur-unsurnya, berupa: perintah, anjuran, maupun larangan. Seluruhnya, bermakna positif (baik), demi keharmonisan kehidupan. Dengan kata lain, hukum itu selalu berada dalam jagat keteraturan. Bila hukum dilanggar, pasti muncul ketidakteraturan, muncul masalah sosial-kebangsaan, dan masalah-masalah lainnya. Kebenaran hakikat hukum demikian itu, perlu dinasihatkan kepada semua orang. Hukum sebagai nasihat bijak, senantiasa berkaitan dengan kehidupan yang kompleks. Seiring dengan itu, keteraturannya pun juga majemuk dan dinamis. Tiadalah suatu keteraturan berdiri sendiri, terpisah dari lainnya.

Hukum sebagai Nasihat Bijak

PEKERJAAN yang ditekuni oleh Mamad adalah sebagai tukang pijat. Talenta pekerjaan ini menurun dari neneknya, sebagai dukun bayi. Banyak orang, puas dengan pijatannya. Dari mulut ke mulut, kepiawaian Mamad sebagai tukang pijat, tersebar ke mana-mana. Setiap hari, ada saja orang datang, minta dipijat. Dari pekerjaan ini diperoleh penghasilan lumayan. Cukup untuk hidup sederhana. “Biar sedikit, cukup, alias Bsc,” katanya. Mamad senang dengan gelar itu. Mamad Bsc.

Suatu hari, Abu Waras berkehendak dipijat oleh Mamad. Gangguan badan, karena pegal-pegal, ingin segera tersembuhkan. Kebugaran amat didambakan. Agar mampu beraktivitas seperti sediakala. Sembari pemijatan, obrolan keduanya berlangsung dalam sausana akrab.

Dalam nada keprihatinan, Mamad bertutur: “Pak Abu, Tuanku. Maaf ya, saya boleh cerita?” “Cerita apa Mad?” “Cerita kejadian-kejadian di sekitar kita”. “Ya, silahkan, asal pemijatan tetap serius, kuat, dan mantap”. “Baik Tuanku”, kata Mamad.

Kejahatan di sekitar kita kok semakin banyak ya. Beraneka ragam, macam, dan jenisnya. Contohnya: Tukang parkir, nuthuk. Warung-warung wisata juga nuthuk. Itu kejahatan di tingkat bawah. Di atasnya sedikit, saya dengar, mahasiswa-mahasiswa berlaku curang. Bikin skripsi, tesis, disertasi, tetapi plagiat. Padahal, mereka kan orang-orang terdidik. Calon-calon pemimpin. Kok begitu ya”.

“Masih ada lainnya. Kata Menkopolhukam, korupsi di negeri ini semakin mengerikan. "Indeks persepsi korupsi turun, dari 38 persen menjadi 34 persen pada tahun 2023. Berdasarkan hasil temuan transparansi internasional, tingkat korupsi terbanyak ada di DPR. Wakil rakyat, (juga: bupati, gubernur, menteri), tak sedikit ditangkap KPK.”

Abu Waras, cepat-cepat menyahut cerita Mamad. “Stop. Stop. Stop. Jangan teruskan Mad. Kepalaku menjadi pusing. Tengoklah ke luar, mendung semakin tebal. Udara semakin panas. Itu semua, bukan karena akan turun hujan, melainkan, ikut prihatin atas kejadian-kejadian yang Mamad ungkapkan. Suasana panas demikian, tak mungkin didinginkan dengan AC,” katanya.

“Duuuh, maaf Tuanku. Tak kusadari ternyata ceritaku tadi berdampak negatif. Mangga, sekarang Tuanku bercerita hal-hal kebaikan. Agar Mamad bisa bersikap bijak.” Begitu, permohonan maaf dari Mamad.

“Baik, Begini Mad. Suatu ketika saya sedang gundah-gulana. Pikiran kalut. Perasaan sensitif. Mudah tersinggung. Mudah marah. Beruntunglah, dalam susana demikian, seorang sahabat datang. Dia memberi nasihat bijak. Dengarkanlah. Nasihat bijak itu, saya teruskan kepadamu”. “Siap Tuanku”, sahut Mamad.

Kata sahabatku: “Abu Waras. Kau tak lebih tinggi ketimbang cebol. Kau juga tak lebih rendah dari raksasa jangkung. Sesekali kau pernah mencaci orang lemah; atau kau kasihi; atau kau santuni. Tehadap orang kuat, pejabat tinggi, orang kaya, popular, kau mengidolakannya. Tetapi atas kedzalimannya, kau melawannya”.

“Sadarkah, bahwa siapa pun orangnya, apapun predikat, posisi dan jabatannya, semuanya tercipta dari tanah. Berlanjut dari setetes mani yang bertemu telur. Itu semua benda-benda tak berharga. Bahkan menjijikkan. Ketika bayi terlahir, tumbuh menjadi dewasa, hingga tua-renta, kebajikan pernah diperbuatnya. Tetapi, kejahatan, pelanggaran hukum, pernah dilakukan. Pahala dan dosa bercampur-aduk. Tiba suatu saat, semua orang pasti mati. Tak terkecuali engkau Abu Waras. Gadjah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Apa yang kau tinggalkan ketika maut menjemputmu?”. Mengapakah kau larut dalam kenestapaan? Ayo, bergegas, bangkit, perbaiki dirimu.

Cerita Abu Waras berlanjut. “Begitulah. Bagiku, seluruh cerita sahabat itu nasihat. Maknanya sepadan dengan cahaya hati. Cahaya itu datang dari Ilahi Rabbi. Penerang jiwaku. Pembimbing langkahku. Dari gelapnya jiwa, pedihya rasa, sempitnya wawasan, menjadi terang-benderang.”

“Saat demikian, mampu kuciptakan lagu. Kudendangkan sembari mengiringi pekerjaanku. Ternyata, tidaklah cukup, marak dan masifya kejahatan itu sekadar diratapi. Tidaklah bijak, pelanggar hukum, dihukum mati. Betapa pun aku bukan pemain kecapi, tetapi berpadunya lagu merdu, didukung dawai-dawai kecapi, ternyata mampu menghadirkan suasana damai dan harmoni. Para pelanggar hukum, penjahat, koruptor, pun terbuai. Mereka sejenak menikmati alam keteraturan irama kehidupan. Nah, saya, Mamad, dan kita semua, mesti menjalani kehidupan ini dengan cahaya hati, nyanyian merdu, dalam bingkai keteraturan irama”.

Direnung hingga ke lubuk hati. Hukum, sedari awal, memang berurusan dengan keteraturan. Hukum ada dan/atau diadakan, sebagai rambu-rambu keteraturan. Hukum berfungsi sebagai instrumen perwujudan proporsionalitas hak dan kewajiban. Kategori unsur-unsurnya, berupa: perintah, anjuran, maupun larangan. Seluruhnya, bermakna positif (baik), demi keharmonisan kehidupan. Dengan kata lain, hukum itu selalu berada dalam jagat keteraturan. Bila hukum dilanggar, pasti muncul ketidakteraturan, muncul masalah sosial-kebangsaan, dan masalah-masalah lainnya. Kebenaran hakikat hukum demikian itu, perlu dinasihatkan kepada semua orang.

Hukum sebagai nasihat bijak, senantiasa berkaitan dengan kehidupan yang kompleks. Seiring dengan itu, keteraturannya pun juga majemuk dan dinamis. Tiadalah suatu keteraturan berdiri sendiri, terpisah dari lainnya.

Beragam kejahatan yang diceritakan Mamad dan direspons Abu Waras, merupakaan wujud berkelindannya kejahatan ekonomi, kejahatan sosial, kejahatan politik, dan lain sebagainya. Para penjahatnya, sepadan dengan perampok-perampok di laut lepas. Di situ, tidak ada aparat pengaman, tidak ada hukum, dan tidak ada keteraturan, melainkan kekuatan dan keserakahan memainkan peran dominan.

Memikirkan hukum di negeri ini, agar mampu menjadi kekuatan, dan sekaligus mampu merebut kekuasaan dari para perampok, sungguh tidak mudah (amat berat). Mengapa? Karena, mendung - sebagai simbol dari turbulensi antara benar dan salah – semakin menebal. Artinya, kehidupan tak kunjung berubah menjadi terang, sejuk, adil, sejahtera, seolah tersiram air hujan. Melainkan justru semakin gelap, gerah, panas, dan ganas.

Realitas empirik, di zaman kolonial ada doktrin dan praktik: “hukum adat dan hukum agama itu hanya berlaku sepanjang diakui oleh hukum negara”. Di era kekinian, praktik itu dimantapkan oleh oknum-oknum rezim penguasa. Artinya, kekuatan absolut (legitimacy), tidak muncul dari hukum negara, melainkan muncul dari relasi kekuatan (power relations) para aktor-aktor di belakangnya. Kedaulatan penguasa, betapapun terlihat kuat dan menang ketika konfrontasi dengan hukum adat dan hukum agama, tetapi tidak akan pernah melahirkan keteraturan, keharmonisan, kecuali ketertindasan.

Tak terasa, pemijatan dan obrolan antara Mamad dan Abu Waras, sudah berlangsung satu jam. Keduanya saling berbagi nasihat tentang kebajikan. Alangkah indahnya negeri ini, bila keakraban hubungan keduanya, kebugaran badan Abu Waras, serta terangnya cahaya hati karena nasihat-nasihat bijak, dapat direntang hingga jagat kehidupan bernegara hukum, dalam skala sosial-kebangsaan. Walllahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM