Menakar Realisme Politik Trump

Oleh: Boy Anugerah

Jika menilik secara cermat narasi-narasi yang ia lontarkan, tidak ada perbedaan yang signifkan antara cara pandang Trump pada 2016 ketika ia terpilih sebagai Presiden AS ke-45 dengan cara pandangnya saat ini; sangat kental realisme politik. Hal ini menimbulkan keyakinan yang kuat pada publik domestik dan dunia internasional, bahwa Trump akan cenderung melanjutkan kebijakan-kebijakannya terdahulu; bisa sama persis, tapi jika pun berbeda, coraknya tetap sama, yakni realisme politik. Tak lekang dalam ingatan publik ketika pada Pilpres AS 2016 Trump mengusung slogan “Make America Great Again”. Pada waktu itu, Trump menyerukan kepada publik AS untuk mendukung penuh kebijakannya dalam membangun tembok di perbatasan untuk mencegah imigran gelap masuk menyeberang AS, melarang umat muslim masuk dan tinggal di AS, serta memperkuat dominasi AS secara ekonomi, politik, dan militer di kawasan Indo Pasifik.

Menakar Realisme Politik Trump
Boy Anugerah (Istimewa).

DONALD Trump yang secara resmi memenangi Pemilu Presiden AS 2024 telah dilantik pada 20 Januari 2025 waktu Amerika Serikat atau 21 Januari 2025 waktu Indonesia. Pesta pelantikan Trump sebagai Presiden AS ke-47 ini dihadiri oleh banyak pemimpin negara-negara asing, termasuk Tiongkok yang menjadi rival AS di pentas dunia. Pasca terpilih sebagai Presiden AS melalui Pemilu yang ketat dengan meraih suara populer dan suara elektoral terbanyak, Trump tidak segan-segan melempar narasi-narasi yang cenderung bersifat kontroversial kepada publik. Ia berencana mengambil alih Terusan Panama dengan kekuatan militer, mengenakan tarif impor tinggi terhadap negara-negara anggota BRICS yang dianggap menjalankan praksis ekonomi revisionis, menyatukan AS dengan Kanada dan Greenland, serta mendeportasi jutaan imigran gelap ke luar AS.

Jika menilik secara cermat narasi-narasi yang ia lontarkan, tidak ada perbedaan yang signifkan antara cara pandang Trump pada 2016 ketika ia terpilih sebagai Presiden AS ke-45 dengan cara pandangnya saat ini; sangat kental realisme politik. Hal ini menimbulkan keyakinan yang kuat pada publik domestik dan dunia internasional, bahwa Trump akan cenderung melanjutkan kebijakan-kebijakannya terdahulu; bisa sama persis, tapi jika pun berbeda, coraknya tetap sama, yakni realisme politik. Tak lekang dalam ingatan publik ketika pada Pilpres AS 2016 Trump mengusung slogan “Make America Great Again”. Pada waktu itu, Trump menyerukan kepada publik AS untuk mendukung penuh kebijakannya dalam membangun tembok di perbatasan untuk mencegah imigran gelap masuk menyeberang AS, melarang umat muslim masuk dan tinggal di AS, serta memperkuat dominasi AS secara ekonomi, politik, dan militer di kawasan Indo Pasifik. Tidak semua kebijakannya berjalan mulus, terutama membangun tembok perbatasan di selatan AS. Dan, kali ini, melalui Pilpres AS 2024 yang ia menangi bersama JD Vance, Trump memiliki kans besar untuk memungkasi kebijakan-kebijakannya yang tertunda.

Realisme politik AS

Realisme politik merupakan perspektif tua dalam studi hubungan internasional. Ia merupakan oponen dari perspektif liberalisme politik yang lebih mengedepankan kerja sama dan kolaborasi untuk mewujudkan perdamaian abadi (perpetual peace). Dalam perspektif realisme, negara diibaratkan sebagai individu yang senantiasa mendominasi dan tak segan berkonflik untuk mencapai kepentingannya; homo homini lupus, animus dominandi. Realisme politik cenderung menavigasi pemimpin suatu negara untuk menjalankan kebijakan unilateralis, koersif, dan konfliktual dengan negara-negara lain dalam sistem internasional yang anarkis. Pada negara yang memiliki kapasitas dan kapabilitas militer yang tinggi seperti AS, realisme politik menjadi cara pandang pemimpin negara untuk tidak segan-segan menggunakan kekuatan militernya dalam memaksakan kepentingan nasionalnya terhadap negara lain. Sejatinya wajah AS dalam tiga dekade terakhir sangat kental realisme politik, cenderung tidak ada dikotomi antara Partai Demokrat dan Partai Republik, dua kontestan utama dalam Pilpres AS. Invasi AS ke Afghanistan pada 2001, serangan dan okupasi AS ke Irak pada 2003, penggunaan kekuatan militer dalam memerangi Al-Qaeda dan ISIS dalam satu dekade terakhir, serta meningkatnya kerja sama dan akuisisi teknologi pertahanan tinggi oleh negara-negara anggota NATO merupakan bukti sahih atas klaim realisme politik AS. Realisme politik tidak hanya menghadirkan wajah kekerasan dalam relasinya dengan aktor-aktor negara lain, tapi juga wajah hipokrisi dalam kebijakan. Kebijakan “Buy America” pada proyek infrastruktur yang dijalankan Trump pada periode pertama pemerintahannya, sejatinya merupakan hipokrisi dan antitesis terhadap spirit kapitalisme liberalisme yang selama ini digaung-gaungkan oleh AS.

Laporan Clingendael

Realisme politik merupakan wajah utama geopolitik AS. Bob Deen dan kawan-kawan dalam sebuah Laporan Clingendael pada 14 Januari 2025 bertajuk “Dirty deals, done dirt cheap? Implications of a Trump-brokered deal to end Russia-Ukraine war” menyebutkan, bahwa Trump sangat berambisi untuk menyelesaikan perang antara Rusia dan Ukraina. Bahkan Trump berjanji bahwa 24 jam pasca-pelantikannya sebagai presiden pada 20 Januari akan dicapai kesepakatan damai di antara kedua negara melalui peran AS. Upaya mewujudkan perdamaian di antara kedua negara tidak mudah, karena masing-masing negara memiliki kepentingan nasional yang diperjuangkan. Ukraina sudah barang tentu menolak perdamaian dengan Rusia karena telah menganeksasi Krimea dan mendukung kemerdekaan Luhansk dan Donetsk. Demikian juga dengan Rusia yang sudah pasti akan memasukkan proposal penolakan mereka terhadap keinginan Ukraina untuk menjadi anggota NATO, blok militer yang dipimpin AS. Di tengah kompleksitas persoalan dan pertarungan kepentingan di antara kedua negara, realisme politik Trump dan AS menarik untuk ditunggu pengejawantahannya. Dalam realisme politik, sebuah negara akan mengambil kebijakan yang memberikan keuntungan paling besar dan meminimalkan risiko. AS yang notabene merupakan sekutu Ukraina kemungkinan besar akan menekan Ukraina untuk berdamai dengan jaminan akan mendukung rekonstruksi pembangunan infrastruktur Ukraina yang rusak selama perang. AS juga akan menggunakan kekuatannya untuk menekan Rusia dengan memberikan konsesi seperti bergabung ke Uni Eropa, bergabung kembali ke dalam kelompok G-8, dan membebankan kewajiban untuk mendukung rekonstruksi infrastruktur di Ukraina. Hanya saja Trump perlu memperhitungkan variabel eksistensi Uni Eropa. Saat ini cukup sulit menakar perspektif Uni Eropa terhadap Rusia. Hanya saja ketergantungan pasokan energi dari Rusia akan menjadi poin penting bagi AS untuk membujuk dan melunakkan sikap Uni Eropa terhadap Rusia. Dengan metode positive sum game yang dimainkan tehadap aktor-aktor yang berkonflik tersebut, AS akan dengan mudah mengakumulasi dukungan dari banyak aktor geopolitik untuk memuluskan keinginannya dalam mengakuisisi Teluk Panama, serta mengintegrasikan Kanada dan Greenland. Wajah sebagai mediator perdamaian dan label sebagai super power akan dikedepankan sebagai nilai jual.

Realisme politik Trump juga menarik untuk ditunggu pengejawantahannya dalam menyikapi ketegangan di Indo Pasifik. Pertarungan antara AS vis a vis dengan Tiongkok begitu keras di kawasan kaya sumber daya alam tersebut. Trump pada periode awal kepemimpinannya di AS sebenarnya sudah cukup baik dan tajam dalam mengendus kebangkitan Tiongkok. AS di bawah Trump pada 2016-2020 menyadari absensinya di kawasan Indo Pasifik karena terlalu disibukkan oleh penguasaan militer terhadap Afghanistan dan Irak, serta kebijakan perang global melawan terorisme dengan memerangi Al-Qaeda hingga ISIS. Akibatnya, atensi dan pengaruhnya di Indo Pasifik melemah dan menjadi celah masuknya Tiongkok untuk menancapkan pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Tiongkok dan Rusia yang menginisiasi blok kerja sama semi-militer bernama Shanghai Cooperation Organization (SCO) bersama negara-negara Asia Tengah, serta blok ekonomi BRICS yang beranggotakan negara-negara Selatan. Dalam menjegal besarnya pengaruh Tiongkok di Indo Pasifik, AS tidak tinggal diam. Politik pembendungan dijalankan dengan menginisiasi kerja sama kuadrilateral bersama India, Jepang, dan Australia dalam organisasi bernama QUAD. AS juga membangun aliansi AUKUS bersama Australia dan Inggris Raya. AS di bawah Trump saat ini diproyeksi akan mengambil tindakan yang lebih represif dan koersif terhadap lawan-lawan geopolitiknya di kawasan. Ancaman tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS merupakan satu dari sekian banyak kemungkinan wajah realisme politik AS di bawah Trump.

Respons Indonesia

Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto perlu mencermati pola kebijakan luar negeri AS di bawah Trump. Presiden Prabowo tampaknya perlu realistis bahwa Indonesia belum dianggap terlalu penting bagi kebijakan luar negeri AS. Hal ini nyata terlihat dari tidak diundangnya Presiden Prabowo pada acara pelantikan Trump meskipun intensi untuk hadir tersebut dinyatakan secara jelas oleh Presiden Prabowo pada saat mengucapkan selamat via sambungan telepon. Yang paling krusial adalah ancaman Trump untuk memberlakukan tarif 100 persen kepada negara-negara BRICS, dalam hal mana Indonesia baru saja bergabung sebagai negara anggota penuh. Komitmen gigih Indonesia yang ditunjukkan secara eksplisit oleh Wamenlu Anis Matta di forum-forum global dalam mendukung kemerdekaan Palestina juga tentu akan menjadi catatan bagi Pemerintah AS yang selama ini dikenal sebagai big bro Israel. Indonesia yang selama 10 tahun terakhir bertaut mesra dengan Tiongkok yang terlihat dari banyaknya proyek dalam negeri seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan pabrik smelter dengan biaya Tiongkok di Sulawesi telah menimbulkan “kecemburuan” AS. Sebuah laporan intelijen yang terpercaya menyebutkan bahwa logo garuda biru yang memantik demo besar-besaran terkait putusan MA yang mengubah batas usia calon kepala daerah beberapa bulan silam diinisiasi oleh agen intelijen AS di Indonesia. Bagi AS, Indonesia sudah berada pada “ponten merah” dalam sepuluh tahun terakhir karena bergeser dari demokrasi versi AS dan “berasyik masyuk” dengan Tiongkok dalam kerja sama bilateral. Akan menjadi tugas besar bagi Presiden Prabowo dan segenap ekosistem politik luar negerinya untuk menundukkan realisme politik Trump yang suka tidak suka memimpin negara yang masih layak menyebut dirinya sebagai super power dunia. Mampukah Indonesia ? ***

Boy Anugerah, SIP, MSI, MPP.

Analis Kerja Sama Luar Negeri di Lemhannas RI (2015-2017)/Alumnus Taplaikbs Diplomat Lemhannas RI/Tenaga Ahli di DPR RI