Peragaan Busana Prajurit Buka Simposium Budaya Jawa Keraton Yogyakarta

Simposium ini menyimpan proses seleksi ketat yang tak kalah menarik.

Peragaan Busana Prajurit Buka Simposium Budaya Jawa Keraton Yogyakarta
Peragaan Busana Prajurit Kuno Buka Simposium Budaya Jawa Keraton Yogyakarta di Royal Ambarrukmo Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Alunan gendhing tradisional yang telah digubah ke dalam format orkestra menggema di Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Sabtu (12/4/2025) pagi. Delapan bregada prajurit berseragam megah hasil rekonstruksi busana militer masa lampau berjalan dengan gagah, membuka acara International Symposium on Javanese Culture 2025.

Derap langkah prajurit Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero bersama Langenastra, dan Nyutra seakan mengantarkan hadirin pada perjalanan waktu ke masa kejayaan Kasultanan Yogyakarta.

Pertunjukan yang dipimpin kondakter Mas Wedana Widyowiryomardowo ini bukan sekadar pembuka acara, tetapi juga penegasan bahwa tema Apparatus at the Sultanate of Yogyakarta benar-benar hadir dalam bentuk yang nyata dan megah.

"Sesuai tema dari rangkaian kegiatan Tingalan Jumenengan Dalem yang temanya adalah Aparatur Nagari Ngayogyakarta, maka pada pembukaan pameran Hamong Nagari kemarin kami tampilkan peragaan busana Abdi Dalem Keraton Yogyakarta," jelas KPH Notonegoro, Penghageng Kawedanan Kaprajuritan.

Spektakuler

"Nah, sehingga di simposium ini, kami tampilkan peragaan busana aparatur militernya, lengkap dengan iringannya," tambahnya.

Ternyata, persiapan spektakuler ini telah berlangsung sejak Januari 2025 melalui sayembara orkestrasi gendhing prajurit.

"Jadi proses kami mempersiapkan pertunjukan ini memang sudah lama," kata KPH Notonegoro dengan bangga.

Di balik kemegahan pembukaan, simposium ini menyimpan proses seleksi ketat yang tak kalah menarik. Dari 92 pendaftar call for paper yang dibuka sejak Agustus 2024, termasuk peneliti dari Filipina, Malaysia, Kroasia dan Korea, hanya 10 tulisan terbaik yang akhirnya terpilih untuk dipresentasikan.

Standar internasional

"Tulisan tersebut diseleksi oleh reviewer senior dari Indonesia, Jerman dan Prancis," ungkap GKR Hayu, Penghageng Kawedanan Tandha Yekti sekaligus ketua panitia pelaksana simposium, menunjukkan standar internasional yang diterapkan dalam seleksi.

Keberadaan nama-nama besar dalam dunia akademik seperti Prof Dr Arndt Graf dari Goethe-University Frankfurt dan Prof Dr Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia semakin mengukuhkan bobot ilmiah acara ini.

Hari pertama simposium mengupas ragam penelitian yang menarik dari sudut pandang sejarah, politik, hukum, dan pemerintahan. Mulai dari peran prajurit wanita pada masa Sultan Hamengku Buwono II, sejarah lembaga pertanahan Kesultanan, hingga evolusi sistem hukum dan pengadilan di Yogyakarta.

Sesi tanya jawab dan diskusi pun berlangsung hangat, menandakan antusiasme tinggi dari 400 peserta yang hadir langsung dan 227 peserta daring, termasuk perwakilan dari berbagai KBRI di seluruh dunia.

Pendekatan ilmiah

Kehadiran Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Hayu, GKR Bendara, dan jajaran keluarga kerajaan lainnya menunjukkan komitmen kuat keraton melestarikan budaya Jawa melalui pendekatan ilmiah.

"Semoga gelaran ini membuka ruang seluas-luasnya bagi studi keilmuan Aparatur di Kesultanan Yogyakarta, baik dari bidang antropologi, filologi, sejarah, sains, politik, psikologi, pendidikan, gender, filsafat, dan lain sebagainya yang terkait dengan budaya Jawa," harap GKR Mangkubumi dalam sambutannya.

GKR Mangkubumi mengungkapkan rasa terima kasih mendalam untuk seluruh Abdi Dalem yang telah mendedikasikan hidupnya di Keraton Yogyakarta.

"Dengan golong gilig bersatu padu akan menuntun kita pada masa depan yang terus berkelanjutan. Hamemayu Hayuning Bawono," katanya.

Hari kedua

Simposium berlanjut pada Minggu (13/4/2025) dengan fokus pada aspek sosial budaya, seni, dan literatur berkaitan dengan aparatur di Kasultanan Yogyakarta.

"Ada pula sesi gelar wicara yang istimewa mengenai keberadaan prajurit Keraton Yogyakarta dari masa ke masa," lanjutnya.

Dia mengundang masyarakat untuk terus mengikuti rangkaian acara yang menggabungkan keanggunan tradisi dengan kekayaan intelektual ini.

Peringatan 36 tahun kenaikan tahta Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas ini membuktikan bahwa tradisi Keraton Yogyakarta bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan obyek kajian ilmiah yang terus relevan dalam perkembangan zaman modern. (*)