Karya Anak-anak Sanggar Alam Yogyakarta Memukau Akademisi
Pendidikan seni bukan sekadar tentang teknik, melainkan tentang kebebasan berekspresi.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang semakin dipenuhi teknologi digital dan gadget, sekelompok anak-anak berhasil membuktikan bahwa tangan-tangan kecil mereka masih mampu menciptakan karya seni yang menakjubkan.
Galeri Seni Prof But Muchtar di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi saksi bisu bagaimana sampah bisa menjelma menjadi kisah yang menginspirasi melalui mata anak-anak.
Bertajuk Sampah Kita Cerita Kita, pameran gambar dan fotografi karya siswa Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta ini resmi dibuka Sabtu (12/4/2025). Kemeriahan pembukaan pameran semakin terasa dengan penampilan seni dari anak-anak SALAM dan mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta.
"Tadi malam saya sempat bertanya-tanya, ini siapa yang masukin karyanya? Kok bisa sebagus ini?" ungkap Dr Fortunata Tyasrinestu SS MSi, Direktur Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan nada takjub.
Pengunjung menikmati sebagian dari karya-karya kelas minat gambar Sanggar Anak Alam, Nitiprayan, Yogyakarta. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)
Menurutnya, karya-karya yang dipamerkan benar-benar "sekelas para master dan doktor," sebuah pujian yang tidak main-main dari seorang akademisi seni.
Fortunata menyampaikan apresiasi mendalam terhadap SALAM yang dinilai merupakan salah satu tempat terbaik di Yogyakarta untuk menumbuhkembangkan kreativitas anak-anak, tanpa mematikan rasa ingin tahu mereka.
Pernyataan ini seolah menegaskan bahwa pendidikan seni bukan sekadar tentang teknik, melainkan tentang kebebasan berekspresi.
"Dalam seni, tidak ada rasa takut, tidak ada yang salah. Seni itu memerdekakan, membebaskan semuanya," tambahnya, sebuah filosofi yang tampaknya menjadi salah satu fondasi kuat bagi metode pengajaran di SALAM.
Label merah
Beberapa karya sudah dipilih oleh pengunjung, ditandai dengan label merah atau kuning. Dr Fortunata sendiri mengaku memilih beberapa karya, menunjukkan betapa karya anak-anak ini tidak hanya diapresiasi sebagai "karya anak-anak" tetapi benar-benar diakui nilai artistiknya.
Pameran yang digelar di Jalan Suryodiningratan No 8 Yogyakarta itu berlangsung satu minggu. Sebuah kesempatan langka bagi sivitas akademika ISI Yogyakarta dan masyarakat umum melihat dunia melalui kacamata anak-anak, bagaimana mereka menafsirkan sampah menjadi cerita yang bermakna.
"Dari anak-anaklah kita bisa diingatkan kembali pada masa kecil kita," kata Fortunata seraya mengajak untuk sejenak kembali pada kesederhanaan dan kejujuran mata anak-anak dalam melihat dunia.
Pada era digital yang kian mengepung, pameran ini ibarat oase bagi kreativitas anak-anak. Sri Wahyaningsih yang akrab disapa Bu Wahya selaku pendiri sekaligus pembina Sekolah Sanggar Anak Alam Yogyakarta menekankan tantangan yang dihadapi orang tua zaman sekarang lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya.
Pengaruh gawai
"Pengaruh teknologi, pengaruh gawai, di satu sisi juga bisa mengurangi kreativitas," ujarnya dengan nada prihatin namun penuh harapan.
Di sinilah peran penting para fasilitator dan orang tua yang dengan gigih mendampingi anak-anak mereka, memberikan ruang bagi kreativitas untuk terus berkembang.
Menariknya, pameran ini tidak hanya fokus pada karya visual. "Pameran ini bukan hanya tentang gambar dan fotografi. Kita juga berkolaborasi dengan bidang minat lainnya -- ada musik, ada tari," jelas Bu Wahya.
Kolaborasi lintas bidang seni ini menunjukkan pendekatan holistik yang diterapkan SALAM dalam mendidik anak-anak mereka.
Memberi ruang
"Mereka perlu ruang yang merdeka agar bisa mengekspresikan imajinasi mereka. Supaya anak-anak kita bisa menemukan potensi terbaiknya selama masa tumbuh dan belajar mereka," ungkapnya penuh semangat.
Pernyataan ini seolah menjadi refleksi dari realitas pendidikan saat ini, di mana ruang kreativitas seringkali terpinggirkan oleh tuntutan akademis yang kaku. SALAM, dengan caranya sendiri, mencoba untuk memberikan alternatif pendidikan yang lebih menghargai proses eksplorasi dan ekspresi diri anak.
Pameran kali ini menjadi bukti nyata bahwa di tengah gempuran teknologi, kreativitas masih bisa tumbuh subur jika diberi ruang dan bimbingan yang tepat. Dan mungkin, dari tangan-tangan kecil inilah, masa depan seni Indonesia akan terus bersemi. (*)