Pengakuan terhadap Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan Perlu Perjuangan Panjang

Pengakuan terhadap Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan Perlu Perjuangan Panjang

KORANBERNAS.ID, JAKARTA -- Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina kembali mengadakan diskusi publik bertajuk “Agama Leluhur dan Kebebasan/Berkeyakinan di Indonesia” yang mengundang dua orang narasumber, yaitu Husni Mubarok, MA, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina dan Dr. Aan Rukmana, MA, Dosen Prodi Islam Madani Universitas Paramadina dan dipandu moderator Nurul Hidayat (14/7/2021).

Dalam sambutannya, Tia Rahmania, M.Psi, Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina menyatakan, bahwa tema yang diangkat dapat menggugah kembali kesadaran akan akar budaya dan jati diri sebagai masyarakat Nusantara. “Agama lokal Nusantara telah ada sebelum diakuinya agama resmi yang kita kenal sekarang. Agama leluhur inilah yang membangun peradaban Nusantara yang kita banggakan. Namun kepercayaan lokal tersebut justru mengalami penindasan oleh adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara,” katanya.

Sementara itu Husni Mubarok, MA, peneliti Pusad (Pusat Studi Agama dan Demokrasi) Paramadina menyatakan, bahwa Orde baru melanjutkan warisan rezim sebelumnya yang membedakan agama dan keyakinan, yang tertuang dalam konstitusi. "Agama leluhur diakui sampai kemudian GBHN menetapkan agama yang diakui, dan berarti bahwa ada agama yang tidak diakui." Katanya.

Husni juga menyatakan bahwa hal ini menjadi dilematis, karena dengan mengosongkan di dalam identitas agama di KTP itu membuat situasi menjadi rumit. Karena stigma yang tidak ada agama atau yang bukan agama-agama dunia maka dia tidak mendapat ruang dan tempat di masyarakat, selain pelayanan administrasi. "Zaman Reformasi, perjuangan agama leluhur tumbuh seiring perubahan rezim. UU Administrasi Kependudukan tahun 2006 memberi ruang pada kartu identitas, peraturan pernikahan dan peraturan pendidikan. Putusan MK 2017, di KTP boleh mencantumkan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa," katanya.

Dalam diskusi yang digelar secara daring ini, ia juga menyatakan bahwa politik pengakuan soal politik identitas, advokasi yang pertama meyakinkan sebanyak-banyak orang bahwa sebenarnya kita bisa hidup berdampingan, pendekatan inklusi sosial kita pertimbangkan. "Perjuangan pengakuan kelompok penghayat kepercayaan dan siapapun yang rentan dalam administrasi kependudukan itu, adalah perjuangan yang panjang. Namun jumlah yang memperjuangkan semakin banyak, melalui pemikiran pemahaman filsafat perenial, dan yang kedua kegiatan advokasi di lapangan."

Pada kesempatan yang sama Dr. Aan Rukmana, MA  dosen program studi Islam Madani Universitas Paramadina, menyatakan bahwa agama leluhur perlu dilihat dari sisi filsafat perenial agar kita bisa menangkap sisi positif agama tersebut. Di mana semua agama sejatinya mengabarkan Yang Sakral dalam hidup. "Itu alasan mengapa agama disebut tradisi yang mentransmisikan Yang Sakral melalui banyak jalan-jalan suci," katanya.

Ia juga menambahkan "Jika kita menggunakan filsafat perenial dalam mendekati persoalan agama leluhur akan banyak tersingkap tradisi-tradisi hidup dari agama-agama tersebut," pungkasnya. *