Pendekatan Administrasi Vis a Vis Pidana dalam Melihat Kerugian Negara

Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto

Jika ditelisik lebih terperinci kembali, ada dua lembaga yang paling berperan dalam melakukan proses audit ada tidaknya kerugian negara. Lembaga pertama adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga negara yang memiliki kewenangan ini secara atributif muncul baik melalui UU No. 1/2004 tentang Pembendaharaan Negara maupun UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Istilahnya jelas, lembaga yang berwenang “memeriksa” bukan “mengawasi”. Sedangkan lembaga kedua yakni Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) yang biasanya dilakukan oleh Lembaga Inspektorat maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Keberadaan APIP berdasarkan kewenangan atributif diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang diarahkan pada proses “pengawasan” bukan “pemeriksaan” terhadap penyalahgunaan wewenang, termasuk di dalamnya yang berakibat pada kerugian negara.

Pendekatan Administrasi Vis a Vis Pidana dalam Melihat Kerugian Negara
Ilham Yuli Isdiyanto. (Istimewa).

SALAH satu barometer kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi adalah adanya “kerugian negara”, namun tidak semua kerugian negara merupakan delik korupsi. Pemahaman ini yang sering terbiaskan. Setiap bentuk kerugian negara terutama yang berangkat dari penyalahgunaan kewenangan langsung diarahkan pada delik korupsi, terutama Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Lalu, apakah bisa kerugian negara yang berangkat dari peyalahgunaan wewenang terbebas dari delik korupsi dan diubah menjadi sanksi administrasi?

Menilik Kembali Kerugian Negara

Menurut data yang di-release oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2022, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi sebesar Rp. 42,747 triliun yang terakumulasi dari 597 kasus dengan 1.396 tersangka. Dari data ini, peran besar ternyata ada pada Kejaksaan yang menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian sebesar Rp 39 triliun diikuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 2,2 triliun serta kepolisian sebesar Rp 1,3 triliun.

Menjadi pertanyaan, apakah kerugian negara selalu identik dengan kriminalisasi, terutama sebagai tindak pidana korupsi?

Jika melihat ketentuan Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004 tentang Pembendaharaan Negara, prasyarat disebut kerugian negara adalah jika kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang notabene milik negara adalah nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun tidak disengaja.

Istilah perbuatan melawan hukum di sini berlaku umum, sehingga tidak hanya dibatasi pada domain pidana ataupun tindak pidana korupsi semata. Jika mengamati pada Pasal 62 ayat (2) UU No 1/2004 disebutkan, temuan terhadap unsur pidana ada pada pemeriksanaan kerugian negara di mana hal ini adalah domain dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Melihat lebih detail pada isi ketentuan  ini, arah kerugian negara seharusnya “tidak melulu” pada kriminalisasi. Walaupun, pada ketentuan Pasal 4 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas meyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan unsur pidana.

Jika dilihat lebih teliti pada UU No. 1/2004, terlihat masih sumir apakah fokus pada sisi administrasi ataupun pidana. Regulasi ini seakan ingin mengakomodir keduanya. Bahkan menurut ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU No. 1/2004, secara jelas dapat mengenakan sanksi administratif sekaligus sanksi pidana.

Cara pandang yang berbeda kemudian muncul dengan adanya UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pendekatan terhadap kerugian negara pada ketentuan Pasal 20 ayat (6) UU No. 30/2014 yang berangkat dari kesalahan admistrasi ataupun terpenuhinya penyalahgunaan wewenang, adalah sanksi administrasi dengan cara pengembalian, bukan sanksi pidana. Pada UU No 30/2014 tidak ada menyingung sama sekali aspek pemidanaan berkaitan dengan kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang.

Sanksi Pidana vis a vis Sanksi Administrasi

Pada posisi mana lebih didominasi sanksi pidana dan pada posisi mana sebenarnya bentuk kerugian negara didominiasi oleh sanksi administrasi?

Jika ditelisik lebih terperinci kembali, ada dua lembaga yang paling berperan dalam melakukan proses audit ada tidaknya kerugian negara. Lembaga pertama adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga negara yang memiliki kewenangan ini secara atributif muncul baik melalui UU No. 1/2004 tentang Pembendaharaan Negara maupun UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Istilahnya jelas, lembaga yang berwenang “memeriksa” bukan “mengawasi”.

Sedangkan lembaga kedua yakni Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) yang biasanya dilakukan oleh Lembaga Inspektorat maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Keberadaan APIP berdasarkan kewenangan atributif diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang diarahkan pada proses “pengawasan” bukan “pemeriksaan” terhadap penyalahgunaan wewenang, termasuk di dalamnya yang berakibat pada kerugian negara.

Di sini, ada dua aspek penting yang perlu dicatat, yakni “pemeriksaan” dan “pengawasan”. Jika mengacu pada arah politik hukum peraturan perundang-undangan, maka pemeriksaan ini yang diarahkan memiliki peluang paling besar terhadap unsur pidana, terutama jika berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kata pemeriksanaan mencerminkan sifat represif, yakni mencari kesalahan ada tidaknya perbuatan melawan hukum untuk ditentukan apakah perbuatan tersebut masuk sebagai perbuatan melawan hukum dalam ranah pidana atau cenderung pada administrasi.

Kata pengawasan mencerminkan sifat mitigatif, yakni bukan fokus pada kesalahanan, melainkan pada pengembalian arah penyelenggaraan keuangan yang sesuai dengan ketentuan hukum tanpa ada kesalahan administratif.

Persoalannya, bagaimana jika Aparat Penegak Hukum (APH) menggunakan laporan APIP dalam melakukan proses pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian negara? Di sinilah ketidakpastian hukumnya, karena ternyata banyak kasus yang ditangani oleh APH mendalilkan kerugian negara hanya berdasarkan hasil dari APIP, bukan dari BPK.

Konsistensi Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam hal ini harus mendorong konsistensi yang adil, transparan dan berkepastian. Terjadinya disparitas dalam penentuan kerugian negara yang menjadi domain wilayah administrasi atau wilayah pidana harus dilihat sejak awal prosesnya.

BPK harus menjadi satu-satunya lembaga secara konstitusional memiliki kewenangan dalam men-declare atau menetapkan ada tidaknya kerugian negara (vide Pasal 2 UU No. 15/2016). Sedangkan dalam konteks ini, APIP tidak memiliki wewenang.

Sudut pandang ini kemudian diperkuat melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016 di mana pada Rumusan Hukum Kamar Pidana angka 6 menyebutkan, bahwa instansi BPK adalah satu-satunya yang berwenang secara konstitusional dalam menyatakan ada tidaknya kerugian negara, instansi lainnya seperti APIP hanya berwenang untuk memeriksa atau mengaudit tanpa men-declare atau menyatakan ada tidaknya kerugian negara.

Berdasarkan analisa ini, seharusnya APH tidak bisa melakukan kriminalisasi berdasarkan laporan dari APIP, namun hanya bisa melakukan kriminalisasi berdasarkan laporan dari BPK.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam fakta yang terjadi banyak sebaliknya. Banyak dasar penentuan kerugian negara yang menjadi dasar penuntutan oleh APH berdasarkan laporan dari APIP, bukan dari BPK. Hal ini menjadikan penegakan hukum terkesan pragmatis dan asal kriminalisasi yang mengarah pada inkonsistensi penegakan hukum. 

Penegakan hukum adalah bagian dari proses hukum yang sarat dengan keadilan dan prosedur hukum yang telah ditetapkan, di sini ada batasan kewenangan yang harus dijaga, agar penegakan hukum tidak terkesan malah dengan cara melawan hukum. Kewenangan APIP sudah jelas tidak dapat menjadi dasar untuk menentukan kerugian negara, terkecuali dalam hal ini adalah pendekatan administratif bukan kriminalisasi sesuai ketentuan Pasal 20 UU No. 30/2014, sehingga jika APH mendasarkan proses kriminalisasi berdasarkan pernyataan kerugian negara dari APIP maka hal ini sudah di luar wewenang APIP atau inkonstitusional. **

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan (PKSPH FH UAD).