Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro Digelar di Jogja Gallery

Mengambil inspirasi dari naskah penting Keraton Yogyakarta berjudul Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi HB V.

Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro Digelar di Jogja Gallery
Persiapan Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro di Jogja Gallery, Senin (14/10/2024). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sebuah event seni rupa spektakuler Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro digelar di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No 7 Alun-alun Utara Yogyakarta. Pameran yang berlangsung 15 Oktober hingga 3 November 2024 kali ini mengangkat sisi humanistik Diponegoro yang jarang diketahui oleh publik.

Di sela-sela persiapan pameran yang ditandai doa bersama serta potong tumpeng di lokasi pameran, Ketua Panitia R Rahardi Sapta Abra, Senin (14/10/2024) sore, menyampaikan pameran yang diselenggarakan Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patrapadi) dan Jogja Gallery itu dijadwalkan dibuka dan dihadiri oleh Hashim Djojohadikusumo serta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Berbagai agenda pendukung seperti diskusi dan lainnya diadakan selama pameran berlangsung. Dengan harga tiket Rp 20 ribu, pameran bisa dikunjungi setiap hari mulai 16 Oktober sampai 3 November 2024 pukul 10:00 - 19:00,” ungkapnya.

Rahardi Sapta Abra yang juga Ketua Umum Patrapadi menjelaskan, salah satu misi penting penyelenggaraan pameran tersebut adalah mensosialisasikan sisi kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam konteks humanisme, selain pahlawan juga seorang guru ngaji.

Doa bersama menjelang Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro di Jogja Gallery. (sholihul hadi/koranbernas.id)

“Yang muncul seringkali hanya terkait kehidupan dalam perang Jawa. Pembacaan tentang sosok pahlawan nasional ini perlu diketengahkan sebagai sajian berharga bagi masyarakat,” ujarnya.

Pameran dengan kurator Dr Mikke Susanto MA dan Dr Sri Margana M Phil itu diikuti oleh 39 seniman. Mereka adalah Agus TBR, Alodia Yap, Amin Taasha, Andi Firda Arifa, Andy Wahono, Angga Sukma Permana, Angga Yuniar S, Aurora Santika, Bambang Nurdiansyah, Bambang Sudarto, Choerodin Roadyn, Deddy PAW, Dedy Sufriadi, Dyan Anggraini, Eddy Sulistyo, Edi Maesar, Endro Banyu, Enka Komariah.

Kemudian, Galam Zulkifli, Galuh Tajimalela, Hadi Soesanto, Haris Purnomo, Januri, Laila Tifah, M Lugas Syllabus, M Aidi Yupri, Mahdi Abdullah, Muhammad Andik 'Gus Black', Muji Harjo, Nasirun, Prihatmoko Moki, Setyo Priyo Nugroho, Sigit Raharjo, Soegian Noor, Subandi Giyanto, Sujiwo Tejo, Suraji, Suroso Isur dan Ugy Sugiarto.

“Setelah pameran Babad Diponegoro yang pertama pada 2019, Jogja Gallery dan Patrapadi bersama Departemen Sejarah UGM dan Jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta mengadakan pameran yang kedua. Pameran Sastra Rupa #2 Babad Diponegoro ini mengambil inspirasi dari salah satu naskah penting dari Keraton Yogyakarta berjudul: Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi HB V,” jelasnya.

Konferensi pers Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro di Jogja Gallery. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sri Margana menambahkan, kitab yang bernilai sejarah tinggi ini ditulis oleh seorang pujangga atas perintah dari Sultan Hamengku Buwono VI, kemudian disalin kembali pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII.

Sekalipun naskah ini diberi judul Babad Ngayogyakarta HB IV dan V, namun sebagian besar dari pupuh-pupuh-nya menggambarkan tentang Perang Jawa dan kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang dijuluki sebagai Satria Pinandhita.

“Julukan ini menunjukkan bahwa historiografi keraton tentang Diponegoro tidak menempatkan tokoh ini sebagai sosok antagonis vis a vis dengan keraton, sebaliknya tindakan dan budi-pekertinya menjadi model dan”panutan,” ungkapnya.

Margana mengakui kebesaran nama Diponegoro tidak diragukan lagi bahkan musuh-musuhnya (penjajah Belanda) sekalipun ikut menokohkannya sebab perang Jawa yang berlangsung lima tahun itu terbukti membuat penjajah Belanda kocar kacir.

Sebagian pada Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro di Jogja Gallery. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Melalui pameran kali ini akan terbuka kesadaran sejarah baru dari perspektif Indonesia bahwa Diponegoro bukanlah musuh keraton sebagaimana yang digambarkan di dalam catatan-catatan sejarah yang ditulis versi Belanda dan orang-orang asing. Bahkan lebih separo elite keraton waktu itu sebenarnya secara terang terangan mendukung perjuangan Diponegoro.

Secara teknis, Mikke Susanto menyampaikan nukilan dari pupuh-pupuh yang menggambarkan tentang Pangeran Diponegoro ini dipecah ke dalam 39 narasi yang diberikan kepada setiap pelukis untuk divisualisasikan sesuai interpretasi dan gaya pelukis-pelukisnya. “Hasilnya, dapat dilihat lukisan-lukisan yang disajikan bukanlah sepenuhnya “dokumentasi" atau ilustrasi peristiwa atau lukisan sejarah an sich,” kata dia.

Disebutkan, lukisan-lukisan para pelukis ini berfungsi ganda, yakni sebagai bentuk ekspresi simbolik individual, sekaligus memiliki dimensi atau ilustrasi realitas sejarah. Lukisan-lukisan ini berfungsi sebagai "medium antara" yang tidak dibatasi oleh kepentingan bidang studi sejarah, tetapi juga kepentingan seni itu sendiri.

Karena bertema perjuangan Pangeran Diponegoro, pameran yang diperuntukkan segala usia ini jelas sangat berguna bagi pelajar, mahasiswa hingga para kolektor lukisan. “Sebab, pameran ini diikuti oleh 39 perupa ternama Indonesia yang telah malang melintang di berbagai pameran nasional dan internasional,” tambahnya.

Dunia literasi

Pameran yang didasari dari dunia literasi ini menuju satu tujuan, yakni mengupayakan nilai- nilai sejarah dan kearifan Diponegoro agar terus tertanam dan semakin banyak yang memahami perannya. Setidaknya pameran ini memberi ruang temu dan telaah lebih lanjut terkait masyarakat masa lalu yang dihidupkan oleh masyarakat hari ini.

Wakil Ketua Umum Kadin DIY Robby Kusuma Harta memberikan dukungan atas penyelenggaraan pameran tersebut. Dari kacamata aspek perekonomian, ada yang menarik dari kisah kepahlawanan Diponegoro.

Baginya, Diponegoro adalah seorang penjahit kekuatan nasional. Kenapa? Karena pada waktu itu sudah berani menyuarakan pembebasan pajak dari penguasa. Inilah yang membuat Robby merasa rindu bergaul dengan para seniman dan pelukis sehingga tercipta energi baru Yogyakarta.

Menjadi logos

Sepakat dengan Mikke Susanto, dia menyatakan Diponegoro tidak lagi sebatas mitos tetapi menjadi etos bahkan ke depan bisa menjadi logos atau ilmu.

Pembukaan pameran akan dimeriahkan penampilan musisi nasional era 1990-an. Dia adalah Andi Bayou, yang akan menampilkan karya masterpiece instrumen musik  The Java War.

“Lagu instrumen Java War itu saya rekam saat di Manhattan New York pada tahun 2017 dan menjadi nominator karya progresif terbaik ajang AMI Award,” ujar Andi Bayoe. (*)