Narasi Perempuan Berdaulat, Daulat Perempuan

Narasi Perempuan Berdaulat, Daulat Perempuan

MEMBUKA lembaran sensus penduduk, pada September 2020, Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Penduduk laki-laki berjumlah 136 juta orang atau 50,58 persen dari penduduk Indonesia. Penduduk perempuan berjumlah 133,54 juta orang atau 49,42 persen dari penduduk Indonesia.

Jumlah penduduk miskin pada September 2020 naik menjadi 10,19 persen, meningkat 0,41 persen pada Maret 2020 dan meningkat 0,97 persen pada September 2019. Disebutkan, jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019.

Melihat angka di atas, Menteri Bappenas Suharso Manoarfa mengatakan, perempuan miskin lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki sepanjang tahun 2015-2019 (economy.okezone.com, 29/9/2020). Dan, pandemi Covid-19 telah berdampak kepada kelompok komunitas rentan di seluruh dunia, dan perempuan miskin adalah salah satu kelompok yang paling menderita.

Kemurungan perempuan masih ditimpuk atas berbagai kekerasan terhadap kaum hawa itu, juga tingginya angka kematian ibu maupun perempuan yang menganggur. Dilansir dari laman economy.okezone.com, 5/11/2020), merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan angka pengangguran semakin bertambah karena pandemi Covid-19. Di mana jumlah naik 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang hingga kuartal III-2020.

Menyoal demografi, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari lulusan SMK sebesar 13,55%, sementara yang paling rendah lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu 3,61%. Sedangkan sisanya seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 6,46%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 9,86%. "Lalu untuk lulusan diploma I-III sebesar 8,08% dan untuk lulusan universitas atau strata 1 sebesar 7,35," kata Suhariyanto, dalam video virtual, Kamis (5/11/2020). Sedangkan menurut jenis kelamin, TPT laki-laki sebesar 7,46% atau lebih tinggi dibandingkan TPT perempuan yang sebesar 6,46%.

Problema lain yang cukup membuat nasib perempuan sayu, yakni masifnya praktik perdagangan/eksploitasi perempuan, kemudian tak terhindar pula adanya perempuan yang terpapar paham radikalisme-terorisme, seperti menjadi pengantin atau bomber kasus terorisme tahun 2016, 2019 lalu juga sebagai aktor pada kasus penembakan di Mabes Polri tahun ini.

Suka tak suka, tak sedikit skill perempuan kita masih rendah, sehingga banyak juga yang terpaksa hanya puas menjadi buruh kasar dan atau tenaga serabutan atau asisten rumah tangga, maupun sebagai pekerja migran di negeri orang. Sudut perempuan lain bicara tetap saja ada dari faksi perempuan yang terlibat tindak kriminal maupun narkoba. Menyedihkan lagi, angka perkawinan anak di negeri ini masih cukup tinggi dan menyokong perempuan menjadi powerless.

Selain kemolekan kesetaraan dan atau posisi perempuan di ranah publik, seperti pengusaha, politisi, pejabat, atlet, akademisi, penegak hukum, berpendidikan tinggi, ASN, TNI, Polri, dll, pada praktik empirik perempuan masih harus berhadapan dengan tantangan yang ada. Sekali lagi, meski sekarang tak sedikit perempuan yang berkilau di aras publik, tantangan itu adalah bagaimana perempuan berdaulat.

Kedaulatan perempuan bukan urusan untuk mengalahkan laki-laki atau membuat laki-laki menjadi subordinat perempuan. Kedaulatan itu bukan untuk meninggalkan peran dan tanggung jawabnya dalam rumah tangga dan pengasuhan atau pendidikan anak. Kedaulatan perempuan hari ini tidak sekadar terkait dengan hak-hak politik perempuan (politik praktis), seperti hak dipilih dan memilih).

Jadi Penerang

Dalam hemat Nawal Arafah Yasin, isteri Wakil Gubernur Jawa Tengah dalam sebuah Webinar (22/4/2021) mengungkapkan, perempuan berdaulat adalah mengambil keputusan yang terkait dengan perempuan/kepentingan dirinya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik dan mengakses segala kesempatan dan sumber daya kehidupan di semua bidang (tanah, air, pekerjaan, lingkungan, pemerintahan, pendidikan, keuangan, perbankan, dll). Selain itu, mendapatkan manfaat pembangunan di berbagai sektor kehidupan (kesejahteraan) dan tidak mendapatkan diskriminasi berbasis gender, termasuk kekerasan.

Dalam mengakhiri ketidakadilan – diskriminasi gender,  RA. Kartini menekankan upaya 2 hal, yaitu peningkatan kapasitas perempuan melalui keadilan dan kesetaraan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan dalam pengambilan keputusan – kebijakan publik (rumah tangga dan pemerintahan/keraton).

Mengusir hal-hal yang menghambat kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan (kekerasan, perkawinan anak, kematian Ibu, perdagangan perempuan, dll). Meningkatkan solidaritas antarperempuan, organisasi perempuan dan jaringan perempuan.

Masyarakat hari ini sebenarnya sudah siap masuk lebih dalam ke ruang digital. Sekarang yang menjadi PR adalah, siapa yang akan memberi arah, memberi lampu penerangan ketika masyarakat sudah berada di dalam dunia maya? Inilah tugas kita bersama, termasuk perempuan.

Tumpuan besar kita, semoga kaum hawa di bumi pertiwi ini menjadi penerang dalam gelap. Maka kemudian, sudah saatnya perempuan menguasai panggung, bukan mencari panggung. Perempuan harus memiliki kuasa atas dirinya sendiri, bebas mengekspresikan cita-citanya, serta bisa menginspirasi banyak perempuan lainnya. Double effort kita mesti membawa perempuan berdaulat, daulat perempuan. **

Marjono

Penulis Lepas