Kontekstualisasi Tahun Baru 1443 H

Kontekstualisasi Tahun Baru 1443 H

LEPAS dari ada atau tidak adanya pandemi Covid-19, memperingati tahun baru 1443 H (bertepatan dengan Selasa, 10 Agustus 2021), amat penting, khususnya bagi umat Islam. Pada dimensi spiritual-religius, pergantian tahun, mengandung makna peringatan terhadap perjalanan kehidupan, dari masa lalu, hingga masa kini, dan berlanjut ke masa depan. Semuanya merupakan rangkaian aktivitas (amalan) yang terjalin, tersambung, tali-temali, bahkan menjadi cermin jatidiri seseorang akan kesadarannya tentang sangkan paraning dumadi.

Layak diingat bahwa lahirnya tahun hijriah, bukanlah tiba-tiba dan tanpa sebab, melainkan sarat makna. Sejarah 1 Muharram tahun baru Islam, ditandai dengan peristiwa besar, yakni peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW, dari kota Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Gagasan tentang tahun baru Islam, bermula di masa Umar bin Khattab r.a. (tepatnya 6 tahun pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW). Sebelum mengenal kalender Islam atau kalender Hijriah, masyarakat Arab waktu itu sudah kenal hitungan hari, pekan, bulan dan tahun. Berbagai saat/waktu penting (istimewa) ada di dalamnya, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, di dalam setiap hari ada 24 jam. Di situ ada kesempatan dan kewajiban untuk menunaikan shalat wajib 5 kali. Shalat berintikan doa. Doa dan usaha merupakan dua aktivitas yang terangkai sebagai kewajiban dan kebutuhan setiap manusia, demi terpenuhinya kebutuhan lahir-batin, dunia-khirat.

Shalat adalah wujud penghambaan diri secara konkrit dan total (jiwa-raga) kepada Sang penguasa hidup dan kehidupan. Setiap muslim/muslimah, mesti memahami shalat sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan jagat semesta. Tak boleh lalai, apalagi ditinggalkan. Bagi para ilmuwan, shalat mesti dipahami dalam desain tata kerja jagat semesta, yang senantiasa bergerak dalam keseimbangan dan keharmonisan.

Kecemasan dan kegelisahan karena pandemi Covid-19, misalnya, perlu dinetralkan melalui penegakan shalat secara khusyuk. Seluruh perhatian tertuju pada ilahi Robbi. Semata-mata bersandar dan berlindung pada-Nya. Bermohon agar senantiasa diberi kesehatan prima. Mampu beraktivitas (beramal) lebih baik. Walaupun segalanya dilakukan dari rumah.

Pada hari penghisapan (perhitungan amal) nanti, siapapun yang bagus (berkualitas tinggi) shalatnya, maka amalan lain tak dipersoalkan (karena otomatis akan bagus pula). “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Amalan hamba yang pertama kali dihisab hari kiamat adalah shalat, jika shalat itu bagus, dia beruntung dan berhasil, jika cacat dia menyesal dan merugi. Bila shalat wajibnya tidak sempurna, Allah SWT berkata, ”Lihatlah apakah hamba-Ku punya amalan sunnah sehingga bisa menutupi amalan wajibnya, dengan demikian tertutup segala amalnya.”(HR Abu Hurairah RA).

Sudah tentu, shalat berkualitas itu sebagaimana dituntunkan Rasulullah SAW, dan daripadanya berbuah pada sikap dan komitmen terhadap pencegah nahi munkar, dan peningkatan amar ma’ruf.  Shalat bukan sekadar dilaksanakan agar bebas kewajiban saja.

Kedua, di dalam setiap pekan (7 hari), ada satu hari istimewa, yakni Jumat. Pada hari itu umat Islam (muslim) diwajibkan menengok dan meningkatkan kadar katqwaannya. Kothib diwajibkan (merupakan rukun sahnya shalat Jumat) mengingatkan pentingnya taqwa. Sering dikutip firman Allah SWT: “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah engkau mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (QS Al-Imran: 102).

Dalam konteks kemajuan sarana komunikasi, serupa dengan baterei ponsel, ketika dipakai beberapa hari, akan melemah kekuatannya. Begitulah kondisi keimanan, ketaqwaan, dan keislaman. Maka, ketiganya perlu di-charge ulang, agar senantiasa kuat, dan fungsional untuk mendukung segala aktivitas kehidupan.

Terasa urgen dan strategis, ketika realitas empiris menunjukkan bahwa kematian - utamanya karena Covid-19 - kini semakin bertambah dan rentan terjadi pada semua manusia. Agar kematian kita tergolong hasnul khatimah, maka tiga hal di atas perlu sungguh-sungguh diperhatikan.

Ketiga, di antara 12 bulan dalam satu tahun kalender Islam, ada bulan istimewa, yakni Ramadhan. Ramadhan adalah bulan mulia. Pada bulan Ramadhan umat islam diwajibkan menunaikan ibadah puasa, kecuali orang yang memiliki uzur, atau halangan: seperti musafir, orang sakit, ibu hamil, dan menyusui.

Dari berbagai sumber diperoleh penjelasan adanya beberapa keistimewaan bulan Ramadhan. 1). Ada malam Lailatul Qadar, yakni malam hari yang digambarkan kebaikannya lebih baik dari seribu bulan; 2). Bulan diturunkannya Al-Qur’an. "Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS al-Baqarah: 185); 3). Bulan dikabulkannya doa-doa, sebab di bulan Ramadhan terdapat banyak waktu mustajab; 4). Setiap amal perbuatan dilipat-gandakan nilai dan pahalanya; 5). Bulan Ramadhan penuh berkah. Disarikan dari sabda Rasullullah SAW bahwa pada 10 hari pertama, Allah berkenan mencurahkan rahmat-Nya sedemikian banyak; pada sepuluh hari di pertengahan, Allah berkenan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya; dan pada 10 hari terakhir dijanjikan-Nya pembebasan dari api neraka (HR.Bukhori dan Muslim); 6). Pada bulan Ramadhan, pintu kebaikan dibuka. Disarikan dari sabda Rasulullah SAW, bahwa apabila telah datang bulan Ramadhan, pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu (HR Bukhari dan Muslim).  

Pada tahun Hijriah, di dalamnya terangkai waktu-waktu dalam pelbagai namanya. Seluruhnya, sarat dengan makna. Makna-makna tersebut penting dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman. Waktu (Arab: waqt), kata ini dalam Al-Qur’an sering dikaitkan dengan masa akhir kehidupan di dunia. Oleh para pakar, secara eksplisit dikaitkan dengan kerja, perbuatan, aktivitas, atau amalan. Diberikan contoh, kata ‘ashr, terkandung makna “memeras atau menekan sekuat tenaga, sehingga bagian yang terdalam dari sesuatu dapat keluar dan tampak di permukaan” (Shihab, 1994: 144).

Dalam konteks kehidupan (kapan pun), manusia wajib menggunakan waktu dan semua potensi kemanusiaannya (lahir-batin) untuk mewujudkan kehidupan lebih baik. Masa menjelang terbenam matahari (yakni ‘ashr), adalah sebuah momentum sekaligus peringatan bahwa waktu bekerja, kesempatan beramal, sudah hampir habis. Setelah ‘ashr, segera tiba malam hari. Tuhan, menjadikan malam hari untuk istirahat. Firman Allah SWT: “Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan malam agar mereka beristirahat padanya dan (menjadikan) siang yang menerangi? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman” (QS an-Naml: 86). Apabila amalan-amalan yang telah diperbuat seharian berakhir, tetapi belum maksimal (baik proses maupun hasilnya), dapat dilanjutkan pada keesokan harinya, selagi hayat masih dikandung badan.

Persoalannya, benarkah kita sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, sebagai sebagai warga negara, ataupun penyelenggara negara, sudah mampu memanfaatkan waktu, pergantian tahun HIjriah, dan potensi kemanusiaan dengan efektif, efisien, dan bernilai ibadah?

Dalam dan melalui surat al-‘Asr (QS, 103: 1-3), kita diingatkan oleh Allah SWT, bahwa: 1). Demi masa, 2). Sungguh, semua manusia itu berada dalam kerugian, 3). Kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh (kebajikan), dan saling menasihati tentang kebenaran, dan kesabaran.

Hemat saya, dalam konteks usia (tahun) kemerdekaan negara RI ke 76, peringatan tahun baru 1443 H hanya akan bermakna bila bangsa ini mampu mewujudkan hal-hal berikut:

Pertama, mampu mengakhiri nuansa keterjajahan negara, baik yang dilakukan oleh bangsa asing, atau oleh bangsa sendiri, atau oleh kolusi bangsa asing dan bangsa sendiri.

Kedua, mengubah politik hukum, yakni mengubah keterjajahan rakyat dalam bingkai kebijakan dan regulasi negara yang represif, menjadi hukum yang bersifat populis, mengakui dan menghormati hak asasi, serta menumbuhkan iklim fastabiqul khairat (berloba-lomba dalam kebaikan).

Ketiga, perbaikan akhlak, yakni senantiasa bersikap jujur, bersatu, bersinergi, dan berjihad melawan penyakit kekuasaan dan penyakit cinta dunia.

Keempat, berkomitmen untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia dari keterjajahan oleh kaum kapitalis berwatak ateis-sekuler, apapun baju dan dalil yang digunakannya. Wallahu’alam. **

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM.