Tiga Potongan Gambar saling Melengkapi

Ibarat sebuah puzzle, apa yang disampaikan Adian, sengketa di MK yang tak menyoal perselisihan hasil Pemilu, juga hak angket yang bakal digulirkan, agaknya merupakan satu kesatuan. Ada pihak yang ingin mengulang sejarah reformasi 1998. Sangat boleh jadi, keinginan ini akan kandas di tengah jalan.

Tiga Potongan Gambar saling Melengkapi

ADIAN Yunus Yusak Napitupulu – lebih populer dengan nama Adian Napitupulu, politisi PDI Perjuangan, ketika menerima rombongan pengunjuk rasa di kantor DPR-RI beberapa waktu lalu, menarasikan tentang reformasi, pemakzulan Presiden dan lain-lain. Reformasi yang berlangsung tahun 1998 berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto lengser. Kala itu, Adian menjadi mahasiswa aktivis. Ia juga mengisahkan ketika DPR memakzulkan Presiden Gus Dur. Esensi narasi Adian, tak lain bahwa Presiden bisa diturunkan oleh kekuatan rakyat atau DPR melalui pemakzulan.

Apa yang disuarakan Adian, sepertinya tidak berdiri sendiri. Pada sisi yang lain, Ganjar Pranowo menggagas agar partai pengusungnya menggulirkan hak angket untuk menyoal berbagai persoalan yang melingkupi Pemilu 2024, khususnya Pilpres. Ide hak angket yang menyeruak setelah hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menempatkan pasangan Ganjar – Mahfud gagal memenangi pilpres, hingga sekarang masih maju mundur. Politisi PDI Perjuangan mengaku menunggu perintah Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, untuk menggulirkan hak angket. Usulan hak angket yang hanya mensyaratkan usulan 25 anggota parlemen minimal dari dua fraksi, sampai sekarang belum juga terwujud.

Sementara itu, pasangan Anies – Amien serta Ganjar – Mahfud, yang kalah dalam pilpres, ‘mengadu dan memohon’ kepada Mahkamah Konstitusi, agar lembaga itu membatalkan keputusan KPU tentang hasil pilpres. Dua psangan itu, sebagaimana disampaikan melalui sidang pendahuluan MK, Rabu (27/03/2024), bahkan meminta pemungutan suara ulang tanpa keikutsertaan pasangan Prabowo – Gibran, yang sudah memenangi pilpres dengan dukungan suara rakyat lebih dari 96 juta suara. Pasangan Anies – Amin, lebih spesifik lagi permohonannya, Prabowo boleh ikut pilpres ulang, sepanjang tidak berpasangan dengan Gibran.

Narasi yang disampaikan dalam sidang pendahuluan itu, pasangan 01 dan 03, sama-sama menyuarakan bahwa terjadi kemunduran demokrasi. Pemilu yang baru saja berlalu, kata mereka, diwarnai intervensi Presiden Jokowi, seperti memberikan ruang bagi majunya Gibran – melalui putusan MK – sampai dengan penggelontoran bansos dan pengerahan aparat untuk memenangkan pasangan Prabowo – Gibran. Dua kubu ini, mengkritisi – untuk menghindari istilah menyerang – Presiden Jokowi, yang kebijakan-kebijakannya merugikan dua pasangan capres-cawapres 01 dan 03. Padahal, Joko Widodo adalah kader PDI Perjuangan, yang secara formal masih tercatat sebagai kader Banteng Moncong Putih.

Menurut peraturan perundangan yang berlaku, Mahkamah Konstitusi, dalam konteks Pemilu, sejatinya hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Dalam bahasa yang sederhana, tugas MK adalah memastikan penghitungan suara yang dilakukan KPU sama dengan catatan kubu pasangan. Bila terdapat perbedaan, MK akan memutuskan, siapa yang benar.

Berangkat dari pemahamaan itu, Cawapres Mahfud MD dalam sidang pendahuluan menegaskan, bahwa permohonan yang diajukan ke MK tidak lagi menyoal menang dan kalah. Hal yang sama juga disampaikan advokat Todung Mulya Lubis, bahwa pasangan 03 tidak mengejar kemenangan dengan menyoal perbedaan penghitungan suara. Agaknya, mereka sadar, bahwa perbedaan prosentase perolehan suara yang lebih dari 40 % tak bisa dikejar dengan ngotot soal perolehan suara.

Menilik petitum permohonan yang diajukan ke MK, bahwa pasangan 03 meminta pasangan Prabowo – Gibran didiskualifikasi sebagai peserta pilpres dan meminta pemungutan suara ulang paling lambat 26 Juni 2024 tanpa keiikutsertaan Prabowo – Gibran, sama artinya dengan mengejar kemenangan pilpres. Permohonan itu, dilandasi dengan berbagai kecurangan yang terjadi dan ketidaknetralan Presiden Jokowi dalam proses menuju pemungutan suara 14 Februari 2024. Presiden Jokowi dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap keadaan saat ini, terhadap berlangsungnya Pemilu yang dinilai paling brutal.

Mencermati petitum permohonan pasangan 01 dan 03, semuanya memang tidak sesuai dengan kewenangan MK dalam memeriksa sengketa perselisihan suara hasil Pemilu. Gugatan yang dilayangkan, agaknya lebih diarahkan untuk membentuk opini publik, bahwa Presiden Joko Widodo telah melanggar etika dan tak pantas menjadi pemimpin negara karena melegalkan nepotisme yang menghasilkan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden mendatang.

Ibarat sebuah puzzle, apa yang disampaikan Adian, sengketa di MK yang tak menyoal perselisihan hasil Pemilu, juga hak angket yang bakal digulirkan, agaknya merupakan satu kesatuan. Ada pihak yang ingin mengulang sejarah reformasi 1998. Sangat boleh jadi, keinginan ini akan kandas di tengah jalan. **