Muhammadiyah Prihatin, Sungai di Kota Yogyakarta Jadi Tempat Buang Sampah

Jogja Obah diharapkan membangkitkan partisipasi warga melalui gerakan Reresik Jogja.

Muhammadiyah Prihatin, Sungai di Kota Yogyakarta Jadi Tempat Buang Sampah
Gerakan Reresik Jogja membersihkan sampah di Sungai Winongo Kota Yogyakarta, Minggu (26/11/2023). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sejak Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan ditutup, masalah sampah di Kota Yogyakarta belum selesai. Darurat sampah masih berlangsung hingga sekarang.

Lebih memprihatinkan lagi, sungai-sungai di kota ini yaitu Winongo, Gajah Wong maupun Code seolah-olah menjadi tempat paling mudah untuk membuang sampah.

Setidaknya, pemandangan seperti itu terlihat Minggu (26/11/2023) pada salah satu penggal aliran Sungai Winongo yang membelah Kota Yogyakarta, tepatnya di sekitar kawasan Grojogan Tanung Winongo Jogja Culture Park Sindurejo Patangpuluhan.

Persis di bawah grojogan, beragam sampah kampul-kampul menutupi permukaan sungai. Hampir semuanya dominan sampah plastik.

Inilah yang kemudian menyulut keprihatinan Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta.

Dwi Kuswantoro memberikan pengarahan sebelum memulai kegiatan membersihkan sampah di Kali Winongo. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Menggandeng Jogja Obah, PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta, Pimpinan Cabang IMM Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta serta Asosiasi Sungai Yogyakarta (ASY), diluncurkan gerakan Reresik Jogja.

Pagi itu, anak-anak muda dan mahasiswa serta warga yang tergabung di dalam gerakan itu secara bersama-sama turun ke Sungai Winongo membersihkan sampah yang mengendap di sana. Kegiatan ini sekaligus dalam rangka Milad ke-111 Muhammadiyah.

Kepada wartawan, Ketua MLH PDM Kota Yogyakarta, Heri Setiawan, menyatakan gerakan ini baru tahap awal. “Insyaallah nanti akan ada gerakan-gerakan lain, gerakan reresik dan mendiskusikan tentang penyelesaian sampah,” ungkapnya.

Dia mengakui, kondisi sungai di Yogyakarta sekarang ini kotor. Apabila tidak dipikirkan atau tidak dilakukan tindakan mulai dari sekarang bukan tidak mungkin ke depan dampaknya semakin merugikan masyarakat.

Melalui Gerakan Reresik Jogja, lanjut dia, Muhammadiyah ingin memberikan semangat sekaligus penyadaran serta edukasi terhadap masyarakat untuk tidak menjadikan sungai tempat pembuangan sampah.

Beragam sampah berhasil dikumpulkan dari Sungai Winongo. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Semestinya, lanjut dia, kawasan sungai yang bersih mampu menjadi sarana silaturahmi antar-warga Muhammadiyah maupun warga masyarakat di sekitar sungai dan menjadi destinasi wisata.

Bahkan, kata Heri, sungai juga bisa dikelola untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Dia pun mengajak warga Muhammadiyah dan seluruh warga Yogyakarta lebih mencintai sungai.

“Sungai adalah bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan. Ketika masyarakat mampu menjaga lingkungan sungai, ke depan sungai bisa menjadi ikon tujuan alternatif destinasi wisata,” ungkapnya.

Dwi Kuswantoro dari Jogja Obah juga merasakan keprihatinannya atas banyaknya sampah di sungai. Dwi yang turun langsung ke Sungai Winongo ikut membersihkan sampah mengakui persoalan sampah di Kota Yogyakarta terus berulang-ulang, sepertinya tidak kunjung selesai.

Jogja Obah diharapkan membangkitkan partisipasi warga melalui gerakan Reresik Jogja. “Tujuan dari gerakan ini adalah membangun kepedulian. Alhamdulillah hari ini bukan dari kita saja, beberapa warga dan pengurus RW juga terlibat. Ini memang gerakan riil, bukan hanya simbolis,” tegasnya.

ARTIKEL LAINNYA: Analisis Lemah Penyebab Program Food Estate Gagal

Dwi yang pada Pemilu 2024 mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Partai Ummat itu menambahkan, sejak ditutupnya TPST Piyungan warga kesulitan membuang sampah.

Mereka akhirnya menjadikan sungai sebagai tempat paling simpel untuk membuang sampah. “Tinggal war wer… yang terjadi kemudian banyak tumpukan sampah di sungai. Di sini hanya contoh kecil saja. Masalah sampah sebenarnya (ibarat) gunung es. Kecil kelihatan di permukaan, di bawah lebih besar lagi,” ucapnya.

Melalui Jogja Obah pihaknya ingin membangun sebuah gerakan untuk menyelesaikan masalah sampah yang berbasis gerakan warga.

“Kalau polanya konvensional dengan cara program maka akan berulang-ulang. Kita sudah tahulah, bertahun-tahun tidak selesai. Bahkan ada sindiran satire Jogja Wisata Sampah,” kata Dwi Kuswantoro.

Dia mengakui, secara teknis upaya membersihkan sampah yang sudah telanjur mengendap di sungai butuh biaya besar. Bahkan tujuh kali lipat dibandingkan sampah di daratan atau kawasan perkampungan. Jogja Obah akan terus menggalang koordinasi dengan berbagai pihak.

ARTIKEL LAINNYA: Maggot jadi Solusi Berkelanjutan Pengelolaan Sampah di DIY

Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Sungai Yogyakarta (ASY), Harris Syarif Usman, juga merasakan keprihatinannya. Dia memberikan apresiasi kepada Muhammadiyah, Jogja Obah, PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta, Pimpinan Cabang IMM Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta yang membuat gerakan reresik sungai.

Harris menyampaikan, sungai ini adalah peradaban yang harus dilestarikan dan dimuliakan mengingat air adalah sumber kehidupan. “Kami mengimbau warga masyarakat agar jangan membuang sampah di sungai,” pintanya.

Menurutnya, kondisi darurat sampah yang masih berlagsung sampai sekarang mengakibatkan banyak orang memilih jalan pintas membuang sampah di sungai.

Ini sangat ironis. Semestinya masyarakat benar-benar bisa menjaga kelestarian sungai dan benar-benar bisa merawat sungai agar sungai bisa destinasi wisata dan ikon wisata kota Yogyakarta. (*)