Analisis Lemah Penyebab Program Food Estate Gagal

Lumbung Mataram bisa menjadi contoh program Food Estate berskala lokal.

Analisis Lemah Penyebab Program Food Estate Gagal
Nazir Foead dan Rustamaji memberikan penjelasan terkait poin-poin Seminar Menuju Indonesia Emas 2045 di UGM. (warjono/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Program Food Estate yang digagas sejak zaman Presiden Soeharto hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menemui kegagalan. Ketidakberhasilan program ini disebabkan implementasinya masih lemah pada aspek analisis. Terutama analisis pemanfaatan tanah.

Demikian diungkapkan Direktur Pengabdian Kepada Masyarakat UGM, Rustamaji, dalam sesi Media Brifieng Seminar Menuju Indonesia Emas 2045, Jumat (24/11/2023), di Gedung Pertemuan UC UGM. Seminar  dihadiri oleh para pakar dari berbagai daerah di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, salah satu bentuk usaha Pemerintah Indonesia untuk menuju kesejahteraan masyarakat dengan membuat konsep pertanian Food Estate atau lumbung pangan.

Secara terminologi, food estate adalah istilah populer dari kegiatan usaha budi daya tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.

Rustam menjelaskan, food estate merupakan upaya memanfaatkan tanah terlantar untuk dikelola lebih produktif. Persoalannya, implementasi dari program ini belum memperhitungkan secara maksimal peran SDM yang terlibat dalam program tersebut, terutama mereka yang mengolah tanah.

ARTIKEL LAINNYA: Program Partnership OCA Ajak Pengusaha Kembangkan Bisnis Layanan Komunikasi

“Biasanya SDM-nya belum siap. Tentu yang paling relevan dimulai skala lokal atau jika tidak dengan transmigrasi, tapi legalitas tanah jadi masalah kalau transmigrasi,” ujarnya.

Upaya mengembangkan food estate atau dikenal dengan istilah lumbung pangan, sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Di Yogyakarta juga muncul konsep Lumbung Mataram, yang sebenarnya bisa dijadikan contoh pemerintah untuk membangun food estate berskala lokal.

“Lumbung Mataram bisa menjadi contoh program food estate. Konsep ini berbasis lokal. Kemudian petani teredukasi dari turun temurun dan secara legal dimungkinkan,” jelasnya.

Nazir Foead selaku Direktur Sustainitiate selaku pemrakarsa seminar menambahkan, isu ketahanan pangan menuju Indonesia Emas 2045, memang menjadi perbincangan serius bagi kalangan akademisi, termasuk menjadi bahasan penting dalam seminar ini.

Ia mengatakan, ketahanan pangan yang menjadi program prioritas pemerintah untuk menjaga kedaulatan bangsa, mendapat ancaman serius dari persoalan perubahan iklim yang belakangan semakin mengkhawatirkan.

ARTIKEL LAINNYA: Kebutuhan Makanan Tambahan 165 Balita Stunting Terpenuhi

“Ancaman perubahan iklim, menjadi kekhawatiran seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Perlu pemikiran yang serius untuk mengamankan program ketahanan pangan dari ancaman perubahan iklim,” katanya.

Di era Presiden Joko Widodo, kata Nazir, pemerintah membuka lahan gambut untuk ditanami tanaman bahan pangan. Namun program ini mendapat kecaman banyak pihak, lantaran dianggap menjadi pintu dari kerusakan lingkungan.

Food estate dianggap gagal. Sebenarnya ada banyak lahan telantar yang bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian melalui prorgam tanah obyek reforma agraria (Tora). Tentu harus melibatkan petani setempat. Bisa diteruskan tapi skalanya tidak raksasa,” lanjut Nazir.

Walaupun dalam skala besar membutuhkan kemitraan dari dunia usaha, tetapi menurut Nazir hal itu bisa dilakukan.

“Para petani hanya butuh dibantu izin tanah lewat program Tora, itu bisa nambah ketahanan pangan,” ungkapnya. (*)