Mirip Sinetron, Anak Orang Kaya Hidup di Panti karena Orang Tuanya Sibuk

Mirip Sinetron, Anak Orang Kaya Hidup di Panti karena Orang Tuanya Sibuk

KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL -- Perjuangan Panti Asuhan Putri Rumah Sejahtera di Tembesi Ponjong Gunungkidul, ternyata penuh lika-liku. Mendengarkan kisah pengelola panti dalam upaya mereka ikut mengurusi anak-anak “telantar”, semakin membuka kesadaran tidak sedikit anak-anak yang telantar karena kondisi ekonomi orang tua mereka yang sempit.

Ditemui di PA Rumah Sejahtera Komplek Masjid Al Huda, Tembesi Ponjong Kabupaten Gunungkidul, belum lama ini, pengurus panti Faiyuz Sya’bani mengungkapkan, banyak kisah yang dia alami saat memutuskan menerima dan mengurus anak-anak tersebut.

“Memang sebagian besar karena kondisi ekonomi. Tapi ada juga yang sebaliknya. Orang tuanya kaya, super sibuk. Mereka lupa bahwa anak-anak kita itu butuh diperhatikan, butuh kasih sayang. Tidak cukup hanya diberi harta. Kayak sinetron saja, tapi ini riil ada di sekeliling kita,” kata Pak Yuz, demikian pria berkacamata ini biasa dipanggil.

Di depan tim dari Indosat Ooredoo yang datang untuk menggelar bakti sosial, Yuz mengisahkan sengaja tidak menyertakan kata “Yatim Piatu” untuk panti, karena panti ini memang tidak hanya menampung anak-anak yatim piatu. Panti ini terbuka untuk siapa saja anak yang belum terpenuhi hak-hak hidupnya sebagai anak.

“Jadi ada memang yang yatim piatu. Tapi tidak sedikit pula yang orang tuanya masih komplet. Ada yang fakir miskin, tapi ada juga yang anak orang mampu dan bahkan kaya. Tapi mereka atau keluarganya belum bisa memberikan hak-hak anak secara utuh. Hak-hak anak itu termasuk di antaranya mendapatkan kasih sayang dari orang tua dan keluarganya. Ada lho orang tua yang congkrah terus sehingga anaknya ketakutan. Kebutuhan anak-anak menjadi tidak terpenuhi,” lanjut Yuz.

Anak yang ikut di panti, kata Yuz diperlakukan layaknya anak atau keluarga sendiri oleh Yuz dan istrinya. Perlakuan Yuz terhadap anak-anak kandung tidak berbeda dengan cara memperlakukan anak-anak asuh yang ikut di sana. Demikian pula dengan kebutuhan hidup sehari-hari dan bahkan kepentingan untuk sekolah. Pihak panti tidak pernah membatasi tingkat pendidikan. Selama anak-anak masih ingin bersekolah, selama itu pula pihak panti akan mengusahakan kebutuhan biaya dan mengarahkannya.

“Alumni kami sudah sekitar 190-an anak. Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya lulusan perguruan tinggi, dengan sekitar 90 persen mendapatkan beasiswa. Artinya, anak-anak kami termasuk anak-anak yang pintar,” lanjutnya.

Melirik Lansia

Seiring waktu, Faiyuz Sya’bani mulai menyadari ternyata bukan hanya anak-anak yang selama ini kerap tidak mendapatkan hak-haknya. Kalangan orang tua atau lansia, ternyata juga menjadi kelompok warga yang rentan dengan kepahitan hidup. Di masa tuanya, lansia seringkali masih harus hidup susah, entah karena impitan hidup ataupun karena problem keluarga.

Padahal, seharusnya semakin beranjak usia manusia semakin bisa menata hidupnya. Bisa lebih meluangkan waktu untuk urusan-urusan akherat dan mulai melepaskan diri dari berbagai macam urusan dan problem duniawi.

“Tapi coba perhatikan, di sekitar kita saja tidak sedikit orang tua yang masih sibuk berkutat dengan keduniawian. Di antaranya memang karena terimpit masalah kebutuhan hidup. Tapi tidak sedikit yang karena problem keluarga. Misalnya ditinggal anaknya merantau, dan lansia ini justru dititipi cucu. Cucunya nakal lagi,” kata Yuz berkelakar.

Sebagai panti yang menasbihkan niat membantu masyarakat lebih sejahtera, maka sejak tiga tahun terakhir mulai melirik nasib lansia. Yuz tidak ingin pada hari tuanya, lansia masih saja menderita dan penuh kesedihan.

“Meskipun kami tidak bisa ngeloni (mengajak tinggal di panti-red), tapi kami tetap berupaya membuat mereka lebih berbahagia. Kami secara periodik mengunjungi para lansia ini. Ngobrol dengan mereka, mendengarkan keluh kesahnya dan sebisa mungkin ikut meringankan beban hidup mereka. Biasanya, saat berkunjung kami mengajak serta anak-anak asuh kami. Sekaligus kami ingin mereka belajar untuk peduli dan berbagi dengan mengunjungi para lansia yang kurang beruntung ini. Prinsip kami adalah berbagi. Setiap kali kita sudah cukup, maka yang lain harus dibagikan. Kami juga memastikan, kalau anak-anak sudah bisa mandiri, itu berarti saatnya mereka kembali ke keluarga. Jadi kami tidak akan pernah menghilangkan ikatan sebuah keluarga. Itu tidak boleh. Tugas kami hanya memberikan apa yang belum mereka dapatkan dari keluarga. Itulah mengapa kami juga tidak akan mengizinkan anak-anak diadopsi. Kalau mau ikut momong atau mengasuh boleh,” katanya menerangkan.

Head of Sales Area Indosat Ooredoo Yogyakarta Ahmad Afdholli mengaku trenyuh dengan lika-liku yang dialami oleh pengelola Panti Asuhan Rumah Sejahtera. Memed, panggilan akrab Ahmad Afdholli menilai, masih begitu banyak problem di masyarakat. Bukan melulu soal eksistensi ekonomi, tapi juga pengetahuan dan pemahaman mengenai kehidupan sosial dan bahkan kerumahtanggaan.

“Kami ikut prihatin. Tidak keliru kami datang ke sini untuk sedikit ikut membantu meringankan apa yang dialami anak-anak panti. Tidak banyak yang kami berikan, tapi ini amanah dari Sekretariat Kerohanian Islam (SKI). Semoga bisa membantu,” kata Memet didampingi Sales Area Manager Wilayah Yogyakarta 1, Heri Ichwanto Akel dan Marketing Communication Sales Area Indosat Yogyakarta, Inner Dyah Herlina Deasy Fristanti. (*)