Menyoal Reposisi Polri

Oleh: Boy Anugerah

Persoalan Polri sejatinya sangat banyak, tidak hanya menyangkut dugaan keterlibatan dalam proses Pemilu saja. Kasus-kasus besar yang menyeruak ke publik seperti kasus Irjen Ferdi Sambo yang melakukan pembunuhan secara berencana terhadap ajudannya Brigadir Joshua, kasus Irjen Teddy Minahasa yang divonis seumur hidup penjara karena terbukti terlibat perdagangan narkoba, kasus Irjen Napoleon Bonaparte yang terlibat kasus suap penerbitan Red Notice Djoko Tjandra pada 2021 dan hanya disanksi demosi tiga tahun empat bulan, bukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) oleh Sidang Komisi Kode Etik (KKEP) Polri, menjadi kasus-kasus yang mencoreng wajah Polri yang saat ini berkomitmen untuk menjalankan Program Presisi. Belum lagi apabila mempertimbangkan minimnya kontribusi Polri dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum kasus-kasus pembalakan liar di hutan Sumatera dan Kalimantan, serta masifnya kejahatan berbasis siber yang sulit dihentikan baik oleh Polri, BSSN RI, maupun Komdigi RI. Hanya saja memang dugaan keterlibatan oknum Polri dalam Pemilu 2024 menjadi “pukulan” paling keras bagi integritas dan eksistensi Polri saat ini.

Menyoal Reposisi Polri
Boy Anugerah (Istimewa).

BERAKHIRNYA rangkaian Pemilu dari Pilpres, Pileg, hingga Pilkada sepanjang 2024 melahirkan wacana untuk mereposisi kedudukan Polri, tidak lagi berada di bawah Presiden sebagaimana berjalan seperti saat ini, melainkan di bawah Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri RI). Ada juga yang mengusulkan agar Polri dikembalikan posisinya seperti pada masa pra-reformasi, yakni bergabung bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi matra keempat dalam sistem pertahanan negara (Sishanneg). Bagaimana mendudukkan Polri secara ideal dan objektif?

Sebelum masuk pada elaborasi dan analisis, ada baiknya diperhatikan terlebih dahulu genealogis atau latar belakang hadirnya wacana ini. Adalah Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang mencuatkan usulan reposisi kedudukan Polri. Meskipun berstatus sebagai partai pemenang Pemilu 2024, PDI-P mengklaim merasa banyak dicurangi selama perhelatan Pilpres hingga  Pilkada. Tuduhan yang dilontarkan cukup serius, yakni adanya keterlibatan  oknum Polri dalam pemenangan kandidat tertentu. Sontak, istilah “partai coklat menjadi masyhur untuk menyebut bagaimana Polri menyalahi tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat negara yang bertugas melakukan pengamanan dan penegakan hukum.

Catatan untuk Polri

Secara empirik, dugaaan keterlibatan Polri dalam pergelaran Pemilu tidak hanya disuarakan oleh elit-elit PDI-P saja yang merasa dirugikan pada Pemilu, tapi juga partai-partai politik lainnya, meskipun magnitudo kritik dan keluhan tidak sekuat yang disampaikan oleh elit-elit PDI-P. Di Denpasar, Bali, ada keluhan dari pejabat partai politik bahwa baliho dan spanduk yang mengusung Ganjar-Mahfud pada Pilpres lalu diturunkan oleh personel Polri. Di Jakarta, ada seniman pementasan yang diinterogasi oleh Polri karena mengkritik tajam proses Pilpres yang dianggap penuh pelanggaran etika. Di desa-desa di  beberapa  Indonesia, beberapa oknum Polri diduga melakukan intimidasi dan tekanan kepada kepala desa untuk mendukung calon tertentu. Bila tidak, maka kasus korupsi dan permainan proyek yang dilakukan kepala desa akan diblow-up.

Bawaslu RI selaku lembaga yang diberikan amanat untuk menjaga marwah Pemilu juga terlihat “tumpul ketika berhadapan dengan laporan yang melibatkan aparat Polri. Begitu juga dengan laporan kepada Propam Polri, lebih banyak yang tidak ditindaklanjuti karena ada semangat korsa menjaga nama baik kesatuan di antara mereka. Tak pelak, Polri yang sejatinya merupakan elemen penting dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)  bersama institusi penegakan hukum lainnya untuk menjaga ketertiban Pemilu dianggap menjadi variabel utama yang melemahkan peran dan fungsi Gakkumdu.

Persoalan Polri sejatinya sangat banyak, tidak hanya menyangkut dugaan keterlibatan dalam proses Pemilu saja. Kasus-kasus besar yang menyeruak ke publik seperti kasus Irjen Ferdi Sambo yang melakukan pembunuhan secara berencana terhadap ajudannya Brigadir Joshua, kasus Irjen Teddy Minahasa yang divonis seumur hidup penjara karena terbukti terlibat perdagangan narkoba, kasus Irjen Napoleon Bonaparte yang terlibat kasus suap penerbitan Red Notice Djoko Tjandra pada 2021 dan hanya disanksi demosi tiga tahun empat bulan, bukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) oleh Sidang Komisi Kode Etik (KKEP) Polri, menjadi kasus-kasus yang mencoreng wajah Polri yang saat ini berkomitmen untuk menjalankan Program Presisi. Belum lagi apabila mempertimbangkan minimnya kontribusi Polri dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum kasus-kasus pembalakan liar di hutan Sumatera dan Kalimantan, serta masifnya kejahatan berbasis siber yang sulit dihentikan baik oleh Polri, BSSN RI, maupun Komdigi RI. Hanya saja memang dugaan keterlibatan oknum Polri dalam Pemilu 2024 menjadi “pukulan paling keras bagi integritas dan eksistensi Polri saat ini.

Mengkaji opsi-opsi

Lantas bagaimana dengan wacana reposisi Polri? Apakah cukup solutif untuk mereformasi Polri dengan menempatkan kembali posisi mereka ke dalam TNI atau Kemendagri RI seperti yang banyak disuarakan?

TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri menyebutkan, bahwa pemisahan Polri dari TNI adalah karena spesialisasi tugas yang diemban masing-masing; TNI sebagai alat pertahanan negara, sedangkan Polri sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih lanjut, pemisahan Polri dari TNI juga membawa konsekuensi pada perubahan kedudukan. UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, bahwa dalam hal pengerahan  dan  penggunaan  kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden. Sedangkan dalam hal kebijakan, strategi pertahanan, serta dukungan administrasi, maka kedudukan TNI di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan RI (Kemenhan RI). Kedudukan TNI yang ditempatkan di bawah koordinasi kementerian lain ini  berbeda dengan kedudukan Polri yang sepenuhnya berada di bawah Presiden berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Dalam implementasinya, pemisahan antara TNI dan Polri tidak serta-merta menjadikan kinerja Polri lebih baik daripada TNI. Baik TNI maupun Polri dibebani kewajiban untuk menjalankan mandat reformasi sektor keamanan (Security Sector Reform). Eksekusi yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut sejauh ini banyak mendapatkan kritik dari kelompok masyarakat dan pegiat demokrasi/HAM karena dinilai tidak progresif, bahkan jalan di tempat. TNI misalnya, masih sering terlibat praksis bisnis. Sebagai contoh kecil, oknum-oknum TNI di level Koramil banyak yang “menyambi tugas sebagai penjaga keamanan para pengusaha dan pebisnis, yang mana hal ini jelas-jelas bertentangan dengan spirit reformasi TNI. Di level yang lebih tinggi, bisnis-bisnis tambang dan perkebunan di Sumatera, Kalimantan dan Papua, baik yang legal maupun ilegal menggunakan back-up dari TNI. Sedang di sisi Polri, kasus jenderal polisi yang terlibat perdagangan narkoba, suap menyuap hingga berakhir di bui merupakan contoh nyata betapa leluasanya mereka yang memegang jabatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Yang cukup miris  dalam relasi kedua institusi ini, ada anekdot yang menyebut bahwa posisi Panglima TNI sejatinya setara dengan Kapolda karena TNI yang saat ini berada di bawah koordinasi Kemenhan RI dalam beberapa fungsi, sedangkan Polri berada di bawah presiden secara langsung. Di level akar rumput, personel kedua institusi kerap bertikai untuk isu-isu yang “remeh karena adanya kecemburuan sosial; polisi dianggap lebih berduit ketimbang TNI. Dari sisi anggaran, kedua institusi ini cukup jomplang. Anggaran pertahanan 2025 (Mabes TNI, Kemenhan RI, dan tiga matra) sebesar 165,16 triliun rupiah, sedangkan Polri yang notabene satu matra mendapatkan pagu sebesar 126 triliun rupiah. Jika menggunakan perspektif ancaman (threat analysis) dalam studi keamanan nasional, derajat ancaman yang dihadapi oleh TNI jauh lebih tinggi seperti pelanggaran ZEE di Natuna Utara oleh Tiongkok, perompakan di Selat Malaka, pengamanan Selat Makassar untuk menopang eksistensi IKN, penjagaan ALKI I, II, dan IIII, dan masih banyak lagi. TNI juga belum menyentuh posisi ideal dalam minimum essential forces (MEF), yakni sedikitnya 1,5-2 persen dari PDB.

Jika berbicara komitmen untuk memperbaiki integritas Polri secara organisasional, opsi untuk menggabungkan Polri ke dalam TNI mungkin bisa terjadi. Hanya saja postur risikonya sangat tinggi, terutama konflik internal. Tidak mudah untuk meleburkan dua institusi yang notabene memiliki ego masing-masing pasca-pemisahan seperempat abad silam. Polri yang saat ini dituduh terlibat politik praktis dalam Pemilu 2024 belum tentu mudah menyatu dengan TNI yang secara historis merupakan “dedengkotnya aparat pertahanan  yang berpolitik melalui dwifungsi ABRI pada masa Soeharto. Belum lagi apabila kita menakar kohesivitas di tubuh TNI sendiri yang sejatinya rentan karena ada pertarungan ego dan kepentingan di antara masing-masing matra TNI pasca-reformasi, terutama terkait suksesi di level elit Panglima TNI yang menjadi ranah “adu kuat antarmatra.

Solusi konkret

Ada dua opsi yang lebih moderat. Pertama, mendudukkan Polri sebagaimana TNI dalam undang-undang. Dalam hal penggunaan kekuatan koersif untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, maka Polri berada  di bawah Presiden. Sedangkan dalam hal pengembangan strategi keamanan nasional, anggaran, dan administrasi, posisi Polri dapat didudukkan di bawah Kemendagri RI. Posisi kepolisian yang didudukkan di bawah kementerian ini pada dasarnya dapat meniru model Amerika Serikat yang mendudukkan  kepolisian sebagai aparat penegak hukum di bawah Kementerian Kehakiman AS. Di sisi lain yang lebih kompleks, diskursus mengenai hubungan relasional antara Polri, TNI, Kemenhan RI terkait wacana mendudukkan Polri bergabung dengan TNI dapat berkembang luas menjadi diskursus mengenai urgensi keberadaan Dewan Keamanan Nasional untuk menyinergikan strategi pertahanan dan keamanan nasional antarinstitusi, yang akan dibahas pada kesempatan berikutnya. Kedua, memperkuat kapasitas dan integritas Polri melalui optimalisasi fungsi pengawasan, baik yang dilakukan oleh DPR RI maupun lembaga watchdog seperti Komisi Kepolisian Nasional RI (Kompolnas RI) dan kelompok masyarakat sipil peduli di bidang kepolisian. Banyak yang beranggapan bahwa peran Kompolnas RI saat ini minim dalam melakukan pengawasan terhadap Polri dan cenderung menjadi lembaga justifikasi saja terhadap kebijakan-kebijakan Polri. Namun kans untuk memperkuat fungsi pengawasan dari lembaga ini tetap terbuka selama figur-figur yang mengisi jabatan adalah figur-figur yang berintegritas dan lebih banyak berasal dari unsur non-Polri seperti akademisi dan tokoh masyarakat. Jika pengawasan yang dilakukan kuat dan ada upaya internal dari Polri sendiri untuk mereformasi diri secara kultural dan struktural, maka opsi mendudukkan Polri ke dalam TNI atau di bawah Kemendagri bisa dinegasikan. ***

Boy Anugerah, SIP., MSI., MPP.

Analis Kerja Sama Luar Negeri Lemhannas RI (2015-2017)/Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI/Tenaga Ahli di DPR RI