Kisah Mbah Tupon, Lansia Buta Huruf yang Kehilangan Tanahnya Kini Peroleh Dukungan Warga
Petisi itu berisi tuntutan keterbukaan proses hukum serta dikembalikannya hak dan keadilan Mbah Tupon.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Ratusan warga Dusun Ngentak dan sekitarnya di Kalurahan Bangunjiwo Kapanewon Kasihan Bantul membubuhkan tanda tangan pada spanduk besar berisi petisi cinta dan peduli kasih bagi Mbah Tupon dan keluarga serta orang-orang yang terzalimi korban kasus penipuan tanah, Rabu (23/4/2025) sore.
Petisi itu berisi tuntutan keterbukaan proses hukum serta dikembalikannya hak dan keadilan Mbah Tupon dan keluarga sebagai pemilik sertifikat asli. Diduga, ada tokoh publik yang terlibat dan pernah menjadi anggota DPRD Bantul.
Selain tanda tangan, juga dilakukan doa bersama dipimpin Slamet Widodo agar Mbah Tupon mendapat keadilan. Kasus ini sudah dilaporkan ke Polda DIY dan pemeriksaan kepada Mbah Tupon akan dilakukan mulai Kamis (24/4/2015).
"Jadi kami sebagai warga tergerak hatinya dan membuat petisi ini. Kami juga turut mendampingi pelaporan ke Polda DIY," kata Agil Dwi Raharjo, Ketua RT 04 Ngentak, didampingi koordinator aksi, Riandani.
Warga membubuhkan tanda tangan petisi dukungan pada Mbah Tupon. (sariyati wijaya/koranberbas.id)
Kasus ini berawal tahun 2020 silam saat itu Mbah Tupon yang memiliki tanah dengan luas total 2.100 M2 menjual sebagian tanahnya seluas 298 M2 persegi ke seorang tokoh publik di Bantul karena perlu uang untuk membangun rumah anaknya.
Pembayaran dilakukan bertahap atau mengangsur. Harga kala itu Rp 1 juta per meter. Selain dijual ke tokoh publik, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan kampung serta mewakafkan 53 M2 persegi untuk gudang RT. Total tanah yang tersisa adalah 1.655 M2.
"Saat itu ada tawaran dari pembeli tanah Mbah Tupon, karena pembayaran masih kurang Rp 35 juta, ditawarkan bagaimana kalau pembayaran itu diijoli dengan memecah tanah sisa milik Mbah Tupon menjadi empat sertifikat. Yakni tiga buat anak Mbah Tupon dan 1 sertifikat buat Mbah Tupon. Singkat cerita Mbah Tupon mau karena memang percaya sama tokoh ini," kata Agil.
Dalam prosesnya, Mbah Tupon diminta beberapa kali membubuhkan tanda tangan ke berkas-berkas yang ternyata Mbah Tupon tidak pernah tahu berkas apa yang ditandatangani tersebut.
Warga membuat plang tanda tanah dalam sengketa (sariyati wijaya/koranbernas.id)
Mbah Tupon memang tidak bisa membaca dan sudah lansia sehingga suda rungon atau agak terganggu pendengarannya.
"Mbah Tupon saat kami tanya mengatakan bahwa dirinya hanya tanda tangan tapi tidak paham apa yang ditandatangani. Dia hanya manut saja pada orang suruhan atau kepercayaan tokoh publik tadi. Merekalah yang menjemput dan mengantar Mbah Tupon ke daerah Krapyak dan ke Jalan Solo buat menandatangani berkas. Saat kami tanya lagi, Mbah Tupon tidak tahu di mana dirinya saat tanda tangan dan di tempat apa," kata Agil.
Kasus ini mencuat pada September 2024 saat petugas Bank PNM mendatangi rumah Mbah Tupon dan mengatakan tanah berikut bangunan miliknya akan dilelang.
Sebab, sertifikat yang kini telah berganti nama menjadi milik Indah Fatmawati warga Kotagede itu telah dijaminkan di bank senilai Rp 1,5 miliar dan tidak terbayar oleh peminjam.
Dukungan
Riandani menambahkan warga secara inisiatif dari hati nurani melakukan aksi gerakan untuk memberikan dukungan dan pembelaan kepada Mbah Tupon.
Di lokasi tersebut dipasang plang dengan tulisan Tanah dalam Sengketa sehingga bagi orang yang ingin membeli tanah melalui lelang akan berpikir ulang. "Kami prihatin dengan kasus ini," katanya.
Pada 14 April 2025, warga RT 04 bersama Ketua RT menggelar forum klarifikasi di Kalurahan Bangunjiwo yang dihadiri lurah, Babinsa, Bhabinkamtibmas dan warga setempat.
Dalam forum tersebut tokoh publik itu diminta menandatangani surat pernyataan tanggung jawab dan menjaminkan aset setara, namun hingga saat ini belum ada realisasi.
Buta huruf
Mata Mbah Tupon (70) tampak menatap kosong ke langit-langit rumahnya di Dusun Ngentak RT 04 Bangunjiwo Kasihan Bantul saat ditemui, Rabu (23/4/2025) petang.
Pria buta huruf yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani dan buta huruf ini tidak menduga tanah warisan dari orang tuanya seluas 1.655 M2 kini telah menjadi milik orang tanpa dia menerima uang sepeser pun.
Bahkan Mbah Tupon beberapa kali pingsan saat pertemuan warga membahas kasus dugaan mafia tanah yang menimpanya itu.
"Kula mboten paham ken tandha tangan napa, kok sertifikat retos-retos dados gadhahe tiyang (saya tidak paham diminta tanda tangan apa, kok sertifikat tahu-tahu jadi milik orang)," kata Mbah Tupon sembari menyeka wajahnya yang keriput tersebut menggunakan tangannya.
Didatangi tokoh
Bahkan dirinya juga tidak bisa mengingat secara pasti tanggal dirinya menandatangani surat tersebut. Hanya saja dia mengaku pernah didatangi oleh tokoh publik di rumahnya untuk tanda tangan.
Pada lain hari dia pernah dijemput orang suruhan dari tokoh publik itu menuju ke sebuah tempat dan di sana juga diminta tanda tangan. Dia ingat nama yang menjemput adalah Triyono dan Fitri.
"Sebelum tanda tangan saya ditelepon (tokoh publik) melalui teleponTriyono yang intinya saya diminta tanda tangan saja berkas-berkas yang ada. Kula manut mawon, karena saya percaya sama bapaknya (tokoh publik tadi) mau menguruskan pemecahan sertifikat. Saya memang tidak tahu isi surat yang ditandatangani karena saya buta huruf. Jadi iya iya saja," katanya menggunakan bahasa Jawa.
Bapak tiga anak ini berharap tanah miliknya bisa kembali. Maria, tetangga Mbah Tupon bersaksi Mbah Tupon adalah orang yang jujur, lugu dan baik hati.
"Maka kami juga memberikan dukungan dan doa agar tanah ini bisa kembali kepada Mbah Tupon. Memang Mbah tupon ini tidak bisa baca dan tulis. Dan saat kejadian penandatanganan juga Mbah Tupon tidak didampingi siapa-siapa dari pihak keluarga maupun ahli warisnya," kata Maria. (*)