Keputusan Sekolah Tatap Muka Harus Libatkan Epidemiolog
KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Wacana pembelajaran tatap muka didengungkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan dimulai Januari 2021. Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, menanggapi keputusan untuk memulai pembelajaran tatap muka di sekolah perlu melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan juga pakar epidemiologi.
Hal ini terutama diperlukan untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil di masing-masing daerah, mulai dari asesmen kesiapan hingga manipulasi infrastruktur, karena pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko Covid-19.
“Zonasi kurang bagus akurasinya, perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate juga,” jelasnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).
Positivity rate sendiri, lanjutnya, diharapkan berada di bawah angka 5%. Namun indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional.
“Dan ini salah satunya selain jumlah yang di-tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya,” imbuh Bayu.
Keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari mendatang menurutnya dapat dikatakan belum tepat jika melihat data Covid-19 di Indonesia secara umum saat ini. Namun ia menyebut bahwa untuk dapat menakar kesiapan hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
“Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan,” jelasnya.
Selain protokol umum Covid-19 seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan, Bayu memaparkan bahwa dalam konteks kegiatan belajar mengajar di sekolah diperlukan sejumlah protokol tambahan.
Protokol ini berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta bagaimana memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik.
Ia menambahkan, perlu asesmen yang lebih detil untuk pembukaan sekolah pada jenjang SD dan jenjang pendidikan di bawahnya, karena lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan.
Karenanya menurut Bayu perlu upaya lebih, mulai dari kesiapan guru, edukasi ke anak-anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan saat belajar, hingga pengaturan jam belajar.
“Anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA," lanjutnya.
Sementara itu terkait penerapan pembelajaran tatap muka di jenjang pendidikan tinggi, masing-masing perguruan tinggi bersama pemerintah daerah setempat perlu berkoordinasi dalam melakukan pengawasan terhadap mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut. Semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah menurutnya wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
“Kemudian jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan Dinas Kesehatan, dan lain sebagainya,” pungkasnya.(*)