Isu Ketahanan Pangan Menjadi Konsentrasi Puluhan Profesional di GGF

Ancaman krisis pangan Indonesia perlu penanganan banyak pihak melalui inovasi dan kerjasama stakeholder.

Isu Ketahanan Pangan Menjadi Konsentrasi Puluhan Profesional di GGF
Pembukaan Global Future Fellow (GFF) di Royal Ambarrukmo (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID,YOGYAKARTA - Isu ketahanan pangan harus menjadi konsentrasi bersama. Bagaimana tidak, di tengah ketegangan geopolitik dan kurangnya minat pemuda pada sektor pertanian isu ini bukan tidak mungkin menjadi nyata. Selain itu, menurut Global Food Security Index (GFSI), skor ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2 lebih rendah dari rata-rata Asia Pasifik yakni 63,4.

Hal ini pula membuat 36 profesional dari sektor publik, privat, dan komunitas masyarakat yang berasal dari 21 kabupaten/kota se-Indonesia berkumpul di Yogyakarta untuk membahas isu ini dalam sebuah program bertajuk Global Future Fellows (GFF).

Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan nirlaba Pijar Foundation ini merupakan pendalaman, diskusi, serta eksplorasi kerjasama multi-sektor demi mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.

“Di tengah ancaman perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan kurangnya minat pemuda pada sektor pertanian, GFF menawarkan kesempatan langka untuk mendorong diskusi dan aksi kolaborasi lintas sektor dan generasi," papar Cazadira F. Tamzil Direktur Kebijakan Publik Pijar Foundation pada Senin (22/5/2023)

Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury yang hadir membuka rangkaian GFF mengatakan, ketahanan pangan terus relevan menjadi isu strategi Indonesia ke depannya karena tiga hal.

Pertama, lanjut Pahala, jumlah populasi dunia akan terus bertambah dan tidak semua negara punya sumber daya yang cukup. Tahun 2050 diperkirakan kita butuh tambahan 70% produksi dibandingkan sekarang, sehingga lahan dan sumber daya akan semakin diperebutkan tak hanya untuk produksi pangan tapi juga untuk kebutuhan lainnya.

Kedua, ia melanjutkan, perubahan iklim yang terbukti selama setahun terakhir telah sangat mempengaruhi produktivitas pangan kita dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena perubahan musim. Ini akan terus terjadi di tahun mendatang.

"Terakhir, kondisi geopolitik yang tidak menentu, terutama perang Rusia vs Ukraina yang tidak berkesudahan semakin memperparah ketersediaan pangan di Indonesia. Belum lagi perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat serta negara-negara Eropa yang berpengaruh pada ketersediaan pangan dunia,” jelas Pahala.

Pada 2050 mendatang, diperkirakan jumlah penduduk dunia mencapai 9,5 Miliar orang. Dengan adanya penambahan populasi yang signifikan, kebutuhan pangan pun mencapai lebih dari 70 persen dibandingkan saat ini.

"Sementara perubahan iklim terjadi yang menyebabkan produktivitas tanaman pangan sangat terpengaruh pada tahun ini dan mendatang," paparnya.

Bagi Indonesia sendiri, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah pengurangan impor bahan pangan. Setiap tahunnya, Indonesia mengimpor ekuivalen 1,5 juta ekor sapi, 3,8 juta ton gula konsumtif dan industri, dan 4 juta ton pupuk.

Mengatasi hal ini, menurut Pahala, membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak di bidang kebijakan, ekosistem, dan dan komunitas.

“BUMN hanya satu dari sekian pemain dan kami tidak bisa jalan sendirian. Dari sisi kami, Kementerian BUMN melihat bagaimana kami bisa menghasilkan laba dan sekaligus berperan merealisasikan ketahanan pangan. Di sinilah social dan economic value BUMN ditantang,” kata dia.

Untuk meningkatkan kinerja, pihaknya melakukan perubahan institusi dan bermitra dengan swasta. Investasi, modernisasi, mengubah tata cara serta model bisnis.

"Misalnya, dulu hanya di upstream, sekarang harus menjaring hulu ke hilir tapi dengan cara bermitra," tutupnya.(*)