Inovasi Demplot Padi Apung UMY Lebih Mudah Dikembangkan Masyarakat

Inovasi Demplot Padi Apung UMY Lebih Mudah Dikembangkan Masyarakat

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Inovasi demplot padi apung yang pernah dikembangkan pemerintah pada masa silam dinilai Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebagai inovasi yang kurang tepat untuk masyarakat setempat dan tidak bisa bertahan jangka panjang.

Karena, pembuatan inovasi tanam untuk menyiasati lahan gambut yang luas terbentang di wilayah pesisir laut terutama Kalimantan itu, dulu tidak menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh oleh masyarakat sekitar.

Bahan serta alat tanam harus didatangkan dari luar daerah tersebut, sehingga menyebabkan biaya produksi mahal dan kontiniutas tidak bisa bertahan.

"Inovasi seperti ini memang sudah ada, tetapi sekarang menjadi masalah. Karena mereka tidak menggunakan bahan lokal, pakai paralon, plastik yang sudah tinggal diinstal, saat rusak selesai," kata Gunawan Budiyanto, Rektor UMY di sela-sela panen padi bersama, Rabu (3/1/2023), di Green House Fakultas Pertanian UMY.

Perangkat tanam padi apung yang dibuat UMY relatif tidak mudah rusak. “Kalau ini tidak, jika rusak mereka bisa bikin lagi, karena bahan bakunya ada di sekitar mereka. Makanya sebisa mungkin kita produksi menggunakan bahan lokal," lanjutnya.

Gunawan melanjutkan, mengingat teknologi ini dikembangkan 100 persen menggunakan sumber daya lokal maka menjadi keuntungan tersendiri bagi kelestarian teknologi tersebut. Ketika tim pengabdian menarik diri, masyarakat masih tetap berdaya.

"Mulai dari bahan baku pembuatan alat hingga pupuk, mereka bisa dapatkan secara alami di sana,” ujarnya.

Gunawan juga mengungkapkan lahan pertanian apung ini memanfaatkan lahan gambut di rawa-rawa yang sering mendapat luapan Sungai Mahakam

Lahan gambut memiliki segudang manfaat bagi pertanian, tapi di sisi lain tanah gambut juga bisa memberikan dampak buruk bagi iklim.

“Yang kami manfaatkan sebagai lahan pertanian di sini adalah lahan gambut. Lahan gambut ini sangat bermanfaat bagi pertanian. Namun, apabila lahan ini tidak dikelola dengan baik akan berakibat buruk bagi lingkungan dan juga iklim,” terangnya.

Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) UMY, Dr Ir Gatot Supangkat, menambahkan inovasi ini telah dikembangkan UMY melalui LPM UMY di Desa Minta dan Desa Muhuran Kecamatan Kota Bangun Kalimantan Timur. Kedua desa tersebut sering mengalami gagal panen sehingga produksi padi dan beras tidak optimal.

“Saat kami datang ke sana, warga mengeluhkan gagal panen dan produksi padi yang tidak optimal. Warga memanfaatkan area rawa yang surut sebagai lahan tanam padi. Namun, lahan ini sering kali mendapat luapan air sungai Mahakam, akibatnya padi terpendam air yang mengakibatkan gagal panen,” ujar Gatot.

Gatot mengakui, sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim terutama faktor intensitas hujan karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi dan kualitas hasil.

“Intensitas hujan yang tinggi dan tidak menentu mengakibatkan kondisi lahan pertanian mengalami banjir atau tergenang air, karena itu diperlukan suatu teknologi inovasi terkait sistem pertanian. Salah satu inovasi teknologi budidaya pada lahan rawan banjir dan rawa yaitu dengan menerapkan sistem pertanian terapung yang UMY kembangkan ini,” lanjutnya.

Dia mengklaim teknologi ini sangat tepat dan cocok diterapkan di Desa Muhuran dan Desa Minta yang memiliki area penuh rawa.

“Teknologi ini sangat cocok dikembangkan di lokasi lahan rawan banjir atau rawa seperti di Desa Muhuran dan Desa Minta. Ini bermanfaat bagi peningkatan hasil produksi dan pendapatan para petani, karena adanya peningkatan nilai ekonomi dari lahan tersebut," paparnya.

Tentu, lanjut dia, sistem pertanian padi apung menjadi solusi untuk mengatasi dan memanfaatkan kondisi lahan rawan banjir dan rawa dengan optimal. (*)