HGB Gereja Pantekosta Hayam Wuruk Belum Bisa Diperpanjang

HGB Gereja Pantekosta Hayam Wuruk Belum Bisa Diperpanjang

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Kepemilikan tanah yang digunakan untuk Gereja Pantekosta di Jl. Hayam Wuruk No. 22 Yogyakarta, kini mengambang. Izin Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta untuk masa 20 tahun, berakhir pada 23 September 2020.

Menyusul sengketa memperebutkan aset tanah seluas 698 m2, antara Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Provinsi DIY dengan pengurus Majelis Jemaat gereja setempat, Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta memblokir status tanah tersebut pada 23 Juli 2020.

Sampai dengan saat ini, sertipikat tanah HGB atas nama Persekutuan Gereja “Gereja Pantekosta” di Indonesia berkedudukan di Yogyakarta, dikuasai pengurus Majelis Jemaat Gereja Pantekosta Hayam Wuruk.

“Ya benar. Sertipikat itu ada pada kami dan disimpan oleh Yayasan Sabda Asih Persada. Kami beberapa waktu lalu memang bermaksud memperpanjang Hak Guna Bangunan untuk gereja kami. Namun, rupanya ada yang meminta untuk diblokir. Jadi, ya sampai sekarang kami belum bisa memperpanjang HGB itu,” kata Anton Sutrisno kepada koranbernas.id, Senin (21/9/2020) lalu, di Yogyakarta.

Sementara itu, Ketua Majelis Daerah GPdI Provinsi DIY, Pdt Samuel Tandiassa, kepada koranbernas.id, Rabu (23/9/2020) sore, menjelaskan tanah dan bangunan di Jl. Hayam Wuruk No. 22 jelas milik GPdI. Karena itu, ketika ada upaya dari pihak lain untuk memperpanjang izin HGB, ia meminta kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta untuk memblokir permohonan perpanjangan sertipikat HGB oleh pihak lain.

Apalagi, menurut Pdt Samuel Tandiassa, ada upaya untuk mengalihkan kepemilikan Gereja Pantekosta Hayam Wuruk ke dalam sebuah yayasan yang dibuat oleh pengurus Majelis Jemaat. Yayasan itu, bernama “Sabda Asih Persada” yang berkantor di Jl. Hayam Wuruk, persis di seberang jalan gereja.

Menyelamatkan aset GPdI

Dalam rangka menyelamatkan aset GPdI berupa tanah dan bangunan yang digunakan untuk gereja di Jl. Hayam Wuruk 22 Yogyakarta, jelas Samuel Tandiassa, Majelis Daerah sudah meminta kepada gembala jemaat GPdI Hayam Wuruk, R James Prayitno Tjahjono, mengirim surat kepada BPN Kota Yogyakarta agar perpanjangan HGB diterbitkan atas nama yang sudah ada pada sertipikat sebelumnya.

Berkaitan dengan hal itu, BPN Kota Yogyakarta kemudian menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah untuk nomor hak: HGB 00123 – Bausasran seluas 698 m2. Hak Guna Bangunan itu atas nama Persekutuan Gereja “Gereja Pantekosta” di Indonesia berkedudukan di Yogyakarta.

“Sayangnya, permohonan itu belum dapat diproses lanjut dan dibayar kewajibannya, karena ada surat dari Pak Sultan selaku Gubernur, agar BPN menunda seluruh izin perpanjangan HGB di DIY,” kata Samuel Tandiassa.

Hak Guna Bangunan atas tanah di Jl. Hayam Wuruk, menurut Samuel Tandiassa, diperoleh dari pemberian Gubernur DIY yang diterbitkan tahun 1981 tertanggal 6 Oktober 1981 dan ditandatangani oleh Wakil Gubernur DIY, Paku Alam VIII. Dalam Keputusan Gubernur DIY No. 412/HAK/KPTS/1981 disebutkan, tanah yang diberikan tersebut adalah tanah negara.

Pemberian tanah itu sebagai jawaban atas permohonan dari Majelis Gereja Pantekosta di Indonesia yang diajukan oleh AM Hardjono. Surat permohonan itu bertanggal 9 Januari 1980. Dalam permohonan tersebut dijelaskan bahwa tanah termaksud akan dipergunakan untuk tempat hunian atau pemukiman.

Keberadaan Gereja Pantekosta Jl. Hayam Wuruk No. 22, kata Samuel, sebenarnya sudah sejak zaman Belanda. Berdasarkan catatan sejarah yang ada, kebaktian gereja Pantekosta pertama kali digelar tahun 1928 di Jl. Ngupasan. Tempat kebaktian kemudian berpinda-pindah antara lain ke Jl. Gondomanan, Jl. Yudonegaran, Jl. Ronodigdayan dan tempat lain.

Terakhir, mereka menempati tanah di Jl. Lempuyangan No. 15 yang sekarang berganti nama menjadi Jl. Hayam Wuruk No. 22. Di tempat itulah, Pdt Raden Gideon Sutrisno yang semula berstatus pembantu pendeta terus mengembangkan ajaran sampai akhir hayatnya.

“Jadi jelas sekali, menurut keputusan pemerintah DIY, tanah di jalan Hayam Wuruk itu memang milik GPdI. Bukan yang lain,” tegas Samuel Tandiassa, yang dalam sertipikat yang diterbitkan BPN, nama Samuel Tandiassa disebutkan sebagai orang yang menunjukkan batas-batas tanah dalam surat gambar situasi No. 516/1982 tertanggal 10 Agustus 1982.

Dilaporkan hilang

Samuel menengarai, upaya memindah-tangankan tanah dan bangunan di Jl. Hayam Wuruk 22 sudah sejak lama dilakukan. Tiga tahun setelah Pdt Gideon Sutrisno meninggal tahun 1991, pada bulan Maret 1994 ada upaya pelaporan sertipikat hilang.

Laporan sertipikat hilang itu dilakukan oleh Harud Daud SH, beralamat di Jl. Poncowinatan. Laporan dibuat pada 12 Maret 1994. Kemudian, pada 2 April 1994, Kantor Pertanahan Kotamadya Yogyakarta membuat pengumuman pertama dan terakhir tentang sertipikat hilang. Pengumuman itu dimuat sebagai iklan di Harian BERNAS pada 11 April 1994.

Upaya mencari sertipikat pengganti itu, kata Samuel, berhasil digagalkan. Salah satu putra Pdt Gideon Sutrisno, yakni Pdtm Letkol Inf Drs Budi Tjahjono (ayah R James Prayitno Tjahjono), mengajukan keberatan sebagai penghalang kepada Kepala Kantor Pertanahan Yogyakarta. Melalui surat bertanggal 11 Mei 1994, Budi Tjahjono menegaskan bahwa sertipikat itu berada dalam penguasaannya sebagai pemegang hak. Budi Tjahjono, pada tahun 1994 itu adalah salah satu pendeta pembantu di Gereja Pantekosta Hayam Wuruk.

Koordinator Majelis Jemaat Gereja Pantekosta Hayam Wuruk, Anton Sutrisno, mengatakan para jemaat memang sudah sepakat bahwa aset gereja jangan sampai dikuasai pendeta. “Kami justru sedang berupaya mengamankan aset dengan cara mengatasnamakan aset tanah ke dalam Yayasan Sabda Asih Persada. Kami tidak ingin, kalau dikuasai pendeta, kemudian tanah dan bangunan dijual seperti pernah terjadi di Gereja Pantekosta Pangukan, Sleman,” tegasnya.

Tentang kekhawatiran itu, Samuel Tandiassa mengklarifikasi, gereja Pantekosta di Pangukan, Sleman, tanahnya memang diusahakan sendiri oleh pendeta. Dan itu memang menjadi hak milik pendeta. Dalam tradisi Pantekosta, terang Samuel, antara pendeta dan gereja memang lebih dulu ada pendeta. Justru pendeta itulah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mencari jemaat, kemudian mencari tempat ibadah yang tetap. Dalam banyak kasus, tanah untuk gereja memang dimiliki oleh pendeta. (*)