Gamelan, Warisan Budaya yang harus Dijaga

Gamelan, Warisan Budaya yang harus Dijaga

DI TENGAH terjalnya tren kegandrungan terhadap dunia hiburan, seperti K-Pop, Pop Indonesia, Pop Religi, Rock n’ Roll, Jazz, Bosanova, Dangdut Koplo, dan lain-lain, rupanya gamelan tetap menjadi pilihan bagi masyarakat di negeri ini. Kita lihat saja, tak sedikit seremoni yang sarat makna tetap menghadirkan gamelan yang gagah dalam kesahajaan mengalun membius telinga dan jiwa.

Alat musik gamelan adalah sekumpulan instrumen musik yang dimainkan dalam sebuah ensembel atau sajian musik. Dalam sebuah pertunjukan gamelan, akan dimainkan beberapa alat musik yang saling berpadu untuk menghasilkan sebuah tetabuhan yang merdu. Saat ini, gamelan banyak digunakan di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Selain itu, gamelan Jawa juga berkembang pesat ketika zaman Majapahit. Bahkan pada saat itu dapat menyebar ke beberapa daerah di sekitar Jawa, seperti Bali dan Sunda. Akan tetapi gamelan yang terdapat di Jawa Tengah berbeda dengan gamelan dari Bali dan Sunda. Gamelan Jawa berfrasa nada lembut. Sedangkan gamelan Bali trennya rancak dan gamelan Sunda lebih mendayu dengan balutan seruling.

Dari upacara bersih-bersih di lingkugan, hajatan keluarga, syukuran, menyambut kedatangan pejabat, peresmian lembaga, maupun pembuatan konten video dengan penuh percaya diri mengangkat live gamelan dalam sukacita, bahkan gamelan bisa menjadi bagian panasea diplomasi budaya. Atau sayup-sayup lembut kita bisa mendengarkan romantisme gamelan di kantor-kantor Pemda pada hari tertentu. Tentu ini menjadi bagian cara kita mengapresiasi warisan budaya bangsa.

Dosen ISI Surakarta, Aris Setiawan (Jawapos, 26/12/2021) mengungkap, pada era revolusi kemerdekaan Indonesia pun, gamelan menjadi bagian heroisme melawan kolonial. Ada Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang mengeropakan musik gamelan, sehingga para pemain gamelan mulai menggunakan jas, dasi, sepatu, layaknya pemain musik Barat.  Lewat musik tradisi, Ki Hadjar ingin meletakkan basis soal kesetaraan, mengemas gamelan dalam framing nasionalisme. Sebuah effort luar biasa yang layak kita berikan penghormatan.

Tahun 1950 berdiri sekolah gamelan di Solo, yaitu Konservatori Kerawitan Indonesia (Kokari). Lembaga pendidikan ini boleh disebut sebagai starting point bagi ngrembaka-nya dunia musik gamelan yang tak hanya dipandang sebelah mata.

Ataupun hadirnya perusahaan Lokananta kala itu sebagai industri dengan dokumentasi rekaman musik Indonesia, termasuk musik tradisional, seperti keroncong, langgam, dan sebagainya juga gamelan yang seksi. Karena gamelan secara evolutif mampu memberikan nilai tambah bagi penggulawentahan karakter, budi pekerti, gotong royong dan sebagainya.

Jika kemudian lahir komunitas, asosiasi pencinta musik gamelan atau maraknya pertunjukan gamelan di kampus maupun event seni budaya internasional, itu mengindikasikan bahwa gamelan diterima oleh masyarakat dunia. Dalam domain domestik, kita saksikan Prambanan Jazz beberapa waktu pernah menampilkan harmoni paduan jazz dan gamelan.

Atau lagi, ketika kita sesekali menikmati musik gamelan dari kawan-kawan pengamen yang menyuguhkan lembutnya alunan gamelan di perempatan jalan. Mereka sesungguhnya juga sedang berjuang sebagai pelestari budaya meskipun tak pernah diakui pemerintah bahkan kerap dihalau Korps Satpol karena dianggap mengganggu kota.

Bertumbuhnya sekolah kerawitan dan pedalangan di daerah, seperti di Semarang, ada sekolah kerawitan Monod, Sekolah Kerawitan dan Pedalangan Sindu Laras, sekurangnya membawa angin segar bagi pemerintah. Ini bagian partisipasi real rakyat dalam perlindungan dan penyelamatan budaya.

Maka kemudian, jika gamelan acap dikolaborasikan dengan pertunjukan modern dengan aransemen yang ngepop, maupun hadirnya e-gamelan, kita tak perlu berisik apalagi gusar. Ini sejatinya menjadi momentum kebangkitan bersama bagaimana kita merawat dan mengembangkannya, sehingga gamelan makin dicintai dan masyarakat kian merasa memiliki atas berkah dari gamelan.

Kebahagiaan dan kebanggaan kita, karena UNESCO telah menetapkan gamelan sebagai warisan budaya tak benda ke dua belas, setelah Wayang, Keris, Batik, Pendidikan Membatik, Angklung, Tari Saman, Tiga Genre, Tari Bali, Noken, Phinisi, Pencak Silat, dan Pantun. Pengakuan dan penghargaan internasional badan PBB ini berkonsekuensi logis untuk terus dan selalu membesarkan dan memajukan gamelan pada aneka zaman. Tugas ini sebagaimana amanat UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Cita-cita Bersama

Menjadi PR bersama, bagaimana gamelan mampu mencuri hati kaum muda, sehingga mereka tak mengalami alienasi (kepanglingan budaya). Jangan sampai gamelan dengan segenap budayanya mengungsi di tanah sendiri apalagi sampai diklaim di tanah orang. Bahkan Presiden Jokowi mengajak kita semua bekerja keras untuk terus melestarikan melalui festival, pawai, pertunjukan, dan pertukaran budaya.

Pergelaran wayang virtual dengan seperangkat gamelan dan waranggana-nya, seperti yang telah disematkan almarhum Ki Dalang Seno Nugroho dari Bantul, semestinya menjadi materi evaluasi dan inovasi atas gamelan dan tanggung jawab kita. Pada domain digitalisasi, penting di sini kita melakukan teknik marketing yang hiperbolis, tak boleh biasa-biasa saja. Jalur-jalur off line dan on line perlu kita intensifkan. Ini semua, sekurangnya bakal mengatrol kenaikan kelas mutu dan penguatan identitas bangsa.

Tugas ini tak ringan dan tak bisa dikerjakan sendirian, kita butuh kerja-kerja keroyokan secara pentahelix, termasuk pemda, kampus, korporasi, media maupun sekolah/sanggar kerawitan dan pedalangan, membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi aktor budaya, termasuk dalang, sinden atau pangrawit dan keluarganya.

Kemudian menjangkau hingga para perajin industri/sentra gamelan, di Jateng (Desa Wirun Sukoharjo, Desa Pekunden Banyumas, Desa Jagoan Boyolali), Yogyakarta (Desa Gilangharjo dan Desa Baturetno Bantul), Jatim (Desa Paju Ponorogo, Desa Kauman Magetan), Bali (Desa Sawan Buleleng,  Desa Tihingan Klungkung). Kita semua mesti kerja keras bagaimana menyihir gamelan menjadi sektor ekonomi yang tak terpinggirkan lagi.

Begitu juga sudah selayaknya kita memberikan apresiasi kepada para guru kerawitan dengan reward maupun tunjangan khusus sebagai sosok pelestari budaya maupun komunitas yang peduli terhadap gamelan dan seni budaya di dalamnya.

Tak salah juga untuk membangkitkan kerinduan dan kecintaan anak-anak terhadap budaya dan seni gamelan. Barangkali perlu dipikirkan adanya bantuan perangkat alat musik maupun gamelan ke Sekolah-sekolah, terutama di wilayah pedesaan. Pendeknya ada gamelan masuk sekolah, masuk desa, masuk kampus, masuk kantor, masuk hotel, dan lainnya.

Tak ada salahnya Pemda secara regular bulanan, misalnya menggelar wayang atau menghelat semacam pemilihan Duta Gamelan, Sinden maupun Dalang Idol, Bintang gamelan bagi media cetak maupun media elektronik yang peduli pada konten dan performance gamelan. Praktik ke-tradisonal-an, sekurangnya bisa mendongkrak muatan lokal dan daya hidup tradisi.

Harap maklum, budaya itu nut jaman kelakoné nanging aja nganti kintir. Terpenting dipahami, mengajak dan mengedukasi masyarakat, terutama anak-anak dan kaum muda agar tresna budaya kuwi perlu nganggo rasa lan wirama.

Yang pasti kita pernah mengerjakan cita-cita bersama, suatu ketika cita-cita itu akan selalu mengikat kita. Semoga gamelan semakin menyatukan Indonesia, Nusantara. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng.