Darurat Bencana Sosial-Kebangsaan
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Agar kebinasaan bangsa bisa dicegah, dan serta-merta eksistensi bangsa dapat dikokohkan/dipulihkan, maka semua ormas, golongan, partai, atau kelompok manapun yang menganut isme-isme bertentangan dengan Pancasila, wajib dibubarkan. Singkat kata, perkuat kembali penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila, sekaligus waspada dan lawan terhadap bahaya laten komunis beserta aliran-aliran sejenis lainnya.
BENCANA sosial-kebangsaan melanda seluruh wilayah negeri. Berbagai kerusakan di darat, di laut, dan di langit, terlihat dengan mata kepala. Hutan dibabat, dijadikan lahan sawit. Batubara, nikel, emas, timah, ditambang semena-semena. Laut dipagari, direkayasa, untuk pembangunan “negara dalam negara”. Korupsi, judi online, narkoba, miras, tindak kekerasan, semakin marak, tak terkendali. Institusi penegak hukum – KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman – kelabakan. Bahkan ditengarai, mereka terlibat (menjadi aktor) terjadinya bencana sosial-kebangsaan itu.
Semua bencana sosial-kebangsaan itu terjadi, terkait dengan proyek-proyek investasi yang dilakukan dan dinikmati hasilnya oleh segelintir orang/pengusaha dan antek-anteknya. Rakyat, masyarakat, dan bangsa, digusur secara represif. Jeritan dan penderitaan petani, nelayan, buruh, dan golongan miskin, tak dihiraukan. Dihadapkan pada kekerasaan, banalitas, dan premanisme, rakyat terlihat tak berdaya.
Rona kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, berada dalam ketegangan/turbulensi. Situasi panas dan mencekam, rentan berubah menjadi huru-hara. Untuk dipahami, bahwa kesabaran rakyat ada batasnya. Suatu saat, keberanian rakyat melawan penguasa dzalim, bisa muncul serentak. Perlawanan rakyat itu merupakan upaya meraih keadilan, sekaligus penolakan terhadap hadirnya penjajahan baru di negeri ini.
Para oligarki (beserta aparat penguasa yang dibelinya), bersikap congkak, angkuh, sombong. Seolah merekalah pemilik negeri ini. Negeri Indonesia, ditiadakan diganti negara Nusantara. Wilayahnya dipecah-pecah. Kekayaan alam dikuasainya. Kadar hidup dan kehidupan penduduk dan aparat negara, dalam banyak hal didekte oleh mereka/oligarki.
Mereka seolah berdiri di atas angin. Kuat, hebat, tak tertandingi. Benarkah demikian? Apakah mereka hidup tenang? Pasti tidak. Mengapa? Tiap hari ada hujatan terhadap mantan Presiden - yang notabene boneka oligarki - untuk ditangkap dan diadili. Kepadanya dituduhkan korupsi dan penggunaan ijazah palsu selama menjabat sebagai Presiden. Kepolisian dituding sebagai institusi yang telah dibeli dan karenanya cenderung berpihak pada oligarki. DPR, sebagai representasi wakil rakyat, tak terlihat keberpihakannya pada rakyat. Lembaga yudikatif, sebagai rumah keadilan, telah berubah menjadi sarang mafia peradilan. Pendek kata, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, tak lagi mampu menjalankan fungsi dan amanah yang diembannya secara baik dan benar.
Pertanyaan: Kapan darurat bencana-sosial berakhir? Kapan rekonstruksi negeri dilakukan? Mampukah Presiden Prabowo Subianto menormalkan kembali kehidupan bermasyarakat, bernegara? Jawabnya, pembalikan penderitaan menjadi kesejahteraan, akan terwujud bila Presiden berserta rakyat optimis, yakin, dan bersegera berusaha bersama. Bertindak tegas. Bukan sekadar omon-omon.
Doa dan perjuangan mesti dilakukan. Aktivis, akademisi, ulama, dan tokoh bangsa berjiwa sosial-kebangsaan, sehat akal-budinya, bersegera mengingatkan dan mengajak siapa pun yang telah salah kiblat (terjebak dalam hasutan syetan oligarki), agar segera kembali ke dalam jiwa/semangat kebangsaan. Sampaikan fatwa sesuai kitab suci, agar jiwanya tercerahkan dengan kebenaran sejati, sehingga sanggup melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara konkrit dan terkoordinir.
Dalam perspektif keimanan, bahwa bencana sosial-kebangsaan hanya akan berakhir dan berubah menjadi keberkahan hidup, bila doa dan perjuangan diridhai Ilahi Rabbi. Telah diilhamkan-Nya kepada penduduk bumi, bahwa anugerah dan bencana, hadir karena ulah manusia, bukan karena Tuhan murka. Tiada sulit bagi Tuhan memberikan anugerah/kebaikan kepada penduduk bumi, mengakhiri bencana, dan memberikan kenyamanan hidup. Kesalahan-kesalahan penduduk bumi, sangat mungkin diampuni. Itulah wujud kasih-sayang-Nya. Ilham demikian, wajib dijadikan sumber motivasi, untuk terus berjuang, tanpa putus asa.
Dalam kesadaran demikian, penderitaan akibat bencana sosial-kebangsaan, mesti dimaknakan sebagai pelajaran dan peringatan, untuk kembali ke jalan kebenaran. Kebenaran dimaksud, mencakup keseriusan merawat hubungan sosial-kebangsaan dan merawat bumi beserta seluruh isinya, agar tetap berada dalam keseimbangan ekologi.
Hemat saya, bencana sosial-kebangsaan, sebagai fenomena perubahan zaman, merupakan bagian dari perjalanan umat manusia. Muara dari perjalanan itu, bisa berupa kebinasaan, atau berupa keberkahan hidup. Segalanya, tergantung pada keseriusan bangsa yang bersangkutan dalam mensikapinya. Empat hal, perlu mendapatkan perhatian seksama, yakni:
Pertama, pada semua komponen bangsa mesti ada sensitivitas bahwa tanda-tanda kebinasaan bangsa, telah dihadirkan, melalui rekayasa para oligarki dan antek-enteknya. Indonesia ditiadakan dan diubah menjadi Nusantara. Ada Pancasila sebagai folosofi bangsa, sebagai sumber hukum, tetapi tak dipraktikkan. Justru paham komunis, ateis, sekuler, materialis, liberalis, terus dikembangkan secara laten, sistemik, dan berkelanjutan.
Agar kebinasaan bangsa bisa dicegah, dan serta-merta eksistensi bangsa dapat dikokohkan/dipulihkan, maka semua ormas, golongan, partai, atau kelompok manapun yang menganut isme-isme bertentangan dengan Pancasila, wajib dibubarkan. Singkat kata, perkuat kembali penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila, sekaligus waspada dan lawan terhadap bahaya laten komunis beserta aliran-aliran sejenis lainnya.
Kedua, pada semua komponen bangsa mesti ada kesadaran diri sebagai makhluk dhaif (lemah). Dalam kedhaifan itu, diikuti keseriusan dalam mengagungkan Tuhan, serta minta pertolongan kala bencana-sosial berkecamuk. Nyata betul, bahwa pemikiran, tenaga, kekuatan nasionalis-Pancasila di negeri ini lemah, tercerai-berai, tiada lagi persatuan dan kesatuan. Bak sapu lidi, telah lepas dari suhnya. Kebersatuan antarsesama nasionalis-Pancasila, perlu diperkuat dengan kebersatuan dengan pemilik kekuasaan sejati (Ilahi Rabbi). Singkat kata, kebersatuan vertikal maupun horizontal, merupakan parsyarat terhimpunnya kekuatan, demi kemenangan melawan olgarki dan antek-anteknya.
Ketiga, pertolongan Tuhan pasti hadir. Pada momentum demikian, jangan lupa terus berusaha menjaga kokohnya persatuan bangsa, agar kemenangan yang diraihnya dapat dijadikan sarana untuk perwujudan kesejahteraan bersama. Untuk keperluan itu, maka sistem hukum nasional perlu dibenahi secara fundamental. Perlu konsistensi menerapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional. Semua hukum positif harus sarat dengan nilai-nilai Pancasila. Keberlakuan hukum adat dan hukum agama, terakomodasi dan termanifestasikan dalam perundang-undangan, sikap dan perilaku.
Keempat, sebagai nasionalis sejati, hendaknya berpikir kritis dan berwawasan luas, bahwa bencana sosial-kebangsaan, terjadi karena keserakahan oligarki dan antek-anteknya. Kesilauan mereka terhadap perhiasan duniawi - berupa kekuasaan, jabatan, dan harta-benda - telah menjadikan mereka ingkar/bangkang terhadap Tuhannya. Bahkan, mereka telah menuhankan dirinya sendiri. “Negara dalam negara” dipersiapkan untuk anak-cucunya, melalui berbagai cara, tanpa menghiraukan cara-cara tersebut halal atau haram.
Disadari bahwa darurat bencana sosial-kebangsaan masih terus berlanjut. Rekonstruksi atas negeri ini bukanlah pekerjaan mudah dan ringan. Dalam situasi demikian, layak diingat dan dijadikan sumber motivasi perjuangan, bahwa Fir’aun dapat ditenggelamkan di laut. Qarun beserta rumah dan harta-bendanya dapat ditenggelamkan di perut bumi. Pasti, hanya soal waktu, oligarki dan antek-anteknya yang kerasukan roh jahat Fir’aun dan Qarun, dengan izin dan bantuan Allah Swt, pasti dapat ditenggelamkan juga.
Wallahu’alam.
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM