Pandemi dan Kesehatan Jiwa

Pandemi dan Kesehatan Jiwa

KESEHATAN jiwa merupakan bagian penting terciptanya sumber daya manusia yang produktif dan sekaligus merupakan aset bangsa yang berharga. Saat ini 75 persen – 95 persen orang dengan gangguan jiwa di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak dapat mengakses layanan kesehatan jiwa. Kurangnya investasi pada kesehatan jiwa, stigma dan diskriminasi juga berkontribusi pada kesenjangan pengobatan. Stigma dan diskriminasi tidak hanya berdampak pada kondisi kesehatan orang dengan gangguan fisik dan kejiwaan tetapi juga keluarga dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.

Hari ini kita masih diganggu pandemi Covid-19, semua sektor terdampak, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, pendidikan, termasuk bidang kesehatan dan itu semua membawa tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, siswa yang harus beradaptasi dengan pembelajaran daring, pegawai yang mesti bekerja dari rumah, pekerja yang tertimpa PHK, belum lagi mengelola kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai karena Covid-19. Semua itu berpotensi pada terganggunya kesehatan jiwa.

Riskesdas 2018 menyebutkan, lebih dari 19 juta penduduk usia lebih atau sama dengan 15 tahun mengalamai gangguan mental emosional, lebih dari 12 juta pada usia lebih dari atau sama dengan 15 tahun menderita depresi, dan terdapat 7 dari 1000 rumah tangga ada anggota keluarganya yang skizofrenia/psikosis. Parahnya setiap hari kurang lebih 5 penduduk kita meninggal karena bunuh diri atau sejumlah 1.800 kematian akibat bunuh diri dalam setahun (2016). Sementara tak kurang 730 milyar dana BPJS untuk penanganan gangguan jiwa (2016).

Agresi pandemi Covid-19 cukup memengaruhi kesehatan jiwa masyarakat. Data menunjukkan, terjadi peningkatan kasus depresi dan ansietas selama pandemi. Lebih dari 60 persen mengalami gejala depresi dengan lebih dari 40 persen disertai ide bunuh diri. Sekitar 32,6-45 persen penduduk yang terpapar Covid-19 mengalami gangguan depresi, sementara 10,5-26,8 persen penyintas Covid mengalami gangguan depresi.

Selama pandemi lebih dari 60 persen mengalami gejala ansietas dan lebih dari 70 persen dengan gangguan stres pasca trauma. Saat terpapar Covid, sekitar 35,7 – 47 persen mengalami gangguan ansietas serta 12,2 persen mengalami gangguan stres pasca trauma. Bagi penyintas Covid terjadi sekitar 12,3-29,6 persen gangguan ansietas dan 25,1-32,2 persen gangguan stres pasca trauma; insomnia sebanyak 12,1 persen; dan seluruh penyintas Covid mengalami gangguan tidur.

Angka-angka kemurungan tersebut tentu kemudian harus menjadi perhatian kita semua, bagaimana mereka kita sentuh, berdayakan dan bebaskan dari kemelut kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa selama ini adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang acap terabaikan dan sekarang menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Siapa pun tak ingin terganggu kesehatan jiwanya.

Itulah kemudian, tanggal 10 Oktober kita peringati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) dan tahun ini mengambil tema, “Mental Health in An Unequal World’' dengan sub tema “Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua”. Melalui kegiatan ini, kita harapkan peringatan ini menjadi titik balik kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya kesehatan jiwa. Ini menjadi bagian investasi kita. Dengan demikian, mulai hari ini mari kita merepair diri, semoga tak ada lagi stigma negatif, bullying dan subordinat lainnya terhadap saudara kita yang kebetulan sedang terganggu kesehatan jiwanya.

HKJS menjadi momentum kampanye masif bagi stakeholder yang bekerja pada isu-isu kesehatan jiwa dan mendorong upaya-upaya untuk mencari solusi bagi upaya pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan napza di seluruh dunia.

Selain itu, kampanye kita hari ini, kita perlu lebih membuka mata bahwa semua orang berhak mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang berkualitas dan perlu upaya bersama berbagai pihak untuk mencegah dan mengendalikan masalah kesehatan jiwa. Masih banyak kelompok yang lebih rentan mengalami masalah kesehatan jiwa dan paling banyak pada masa pandemi, meliputi  depresi 31,4 persen, anxietas 31,9 persen, distres 41,1 persen dan insomnia 37,9 persen. Inilah kemudian, kita penting merawat kesehatan jiwa, karena jika tidak, maka hanya akan menjadi bom waktu bagi kita semua.

Keterpaduan

Hari ini PR dan tantangan kita masih banyak, seperti masih besarnya stigma dan diskriminasi, kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan jiwa. Kita harus terus bergerak melakukan berbagai langkah memperkecil dampak pandemi, mewujudkan sehat jiwa, di antaranya, advokasi/sosialisasi, surveilans, kemitraan, peningkatan kapasitas SDM, deteksi dini kesehatan jiwa dan napza.

Permasalahan tentang kesehatan jiwa sangatlah kompleks, maka kemudian penting bagi kita untuk mengonsentrasikan segenap potensi kekuatan dan kebersamaan untuk menitikberatkan pembangunan generasi sehat yang dilandasi tekad untuk memajukan bangsa. Kita dapat bekerjasama dengan baik dalam melakukan upaya-upaya inovasi untuk percepatan pembangunan kesehatan, khususnya dalam mengentaskan kesehatan jiwa, memperbaiki layanan kesehatan dan membenahi tata kelola BPJS Kesehatan serta penyediaan obat dan alat kesehatan lokal yang murah berkualitas.

Kita optimis, dengan keterpaduan sumber daya yang kita miliki sekaligus mampu mewujudkan Indonesia yang lebih baik ke depan, mewujudkan SDM unggul dan sehat. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng