Cepat atau Lambat Indonesia Jadi Negara Tangguh

Cepat atau Lambat Indonesia Jadi Negara Tangguh

KORANBERNAS.ID, JAKARTA –Indonesia tercatat sebagai 35 negara di dunia yang memiliki risiko bencana. Setidaknya sampai Februari 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi 3.253 bencana.

Ini terungkap saat berlangsung Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana Tahun 2021 bertema Tangguh Menghadapi Bencana, Rabu (10/3/2021), di Jakarta.

Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo mengajak masyarakat selalu sadar dan tanggap menghadapi bencana yang bisa sewaktu-waktu mendera. “Bencana bukan untuk diratapi, tetapi dimitigasi. Bencana bukan semata-mata musibah, tetapi harus dicegah,” ujarnya.

Doni mengimbau jajaran BNPB maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) se-Indonesia tidak abai dan lalai.

“Jika abai terhadap tanda-tanda alam dan lingkungan hidup, cepat atau lambat bencana itu datang menghilangkan harta dan nyawa,” ujarnya.

Kapan bangsa ini tangguh menghadapi bencana? Doni menegaskan, jawabannya adalah bangsa tangguh bencana di dalam tubuhnya mengalir sel darah sadar bencana, menghirup nafas tanggap bencana. Dengan begitu kesadaran itu tertanam sebagai budaya, sadar hidup di negara rawan bencana.

“Apabila kita menjaga alam, maka alam menjaga kita. Bangsa dengan budaya sadar bencana, artinya memberdayakan diri dan lingkungan hidup agar hidup selaras dengan alam semesta,” tambahnya. Inilah pentingnya membangun mental tangguh bencana sehingga Indonesia menjadi bangsa yang tanggap bencana.

Seraya menyapa para Deputi BNPB, Kepala BPBD maupun perwakilan media yang mengikuti Rakornas secara virtual, Doni Monardo sempat mengapresiasi kehadiran penyanyi Edo Kondologit dari Sorong.

Saat tampil, dia menggunakan pembatas berupa akrilik sehingga penonton di lokasi acara tetap bisa menyaksikan wajahnya tanpa masker.

“Suaranya tetap bagus dan secara fisik aman dari yang lain. Mudah-mudahan ini jadi inspirasi bagi yang menyelenggarakan acara serupa di Tanah Air,” kata dia.

Doni menambahkan, momentum Rakornas kali ini menjadi titik awal sangat penting untuk melaksanakan kolaborasi pentahelix, menyatunya langkah dan perbuatan.

Kerja sama yang harmonis antara pusat dan daerah, pakar, dunia usaha maupun kalangan media tidak hanya di atas kertas, tetapi berjalan di lapangan.

Rakornas yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-13 BNPB kali ini, mendapatkan kejutan dengan hadirnya Kepala BNPB 2008-2015, Prof Syamsul Ma’arif.

Secara mengejutkan pula, dia menggerakkan semangat jajaran BNPB untuk selalu menguatkan jiwa kemanusiaan.

Kilas balik Syamsul Ma’arif mengupas proses lahirnya BNPB pada 2004 sebagai komitmen politik negara ketika terjadi tsunami 2004. Waktu itu Indonesia sepertinya tidak siap menghadapi given dari Allah SWT.

Di balik itu, kata dia, Indonesia ternyata punya pengalaman menangani bencana saat terjadi konflik. “Sekarang kita juga mengalami bencana di saat Covid. Pasti ada pola-pola yang berbeda,” katanya.

Dia yakin, bencana merupakan ujian Tuhan. “Memang definisinya ancaman, tetapi bagi BNPB dan BPBD ini adalah tantangan. Saya ingin BNPB dan BPBD tangguh. Jangan mengeluh,” tandasnya.

Semangat serupa disampaikan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhajir Effendy. Indonesia memang wilayah rawan bencana, tidak hanya sekarang tetapi sejak dulu kala.

Menko lantas menyebutkan adanya peninggalan berupa kearifan lokal, yakni bangunan maupun tata cara hidup yang menggambarkan nenek moyang merespons bencana di tempatnya masing-masing.

“Sangat bagus BNPB mulai merekonstruksi sejarah nenek moyang merespons aneka bencana di Indonesia. Setahu saya, ini belum ada. Ini pekerjaan besar dan menjadi nilai sangat besar,” tandasnya.

Mengutip pernyataan seorang sejarahwan, dia mengatakan, seseorang, masyarakat maupun bangsa akan menjadi bangsa besar dan kuat tangguh jika menghadapi tantangan.

“Kita-kita akan menjadi bangsa yang tangguh, cepat atau lambat. Supaya cepat kita harus mampu mendokumentasi pengalaman dan merekonstruksi yang pernah terjadi menjadi bahan kajian,” paparnya.

Dengan begitu, pengalaman sejarah menanggulangi bencana tidak hilang begitu saja, melainkan menjadi mata rantai yang tidak terputus.

Diakui, kelemahan bangsa Indonesia adalah dokumentasi. Jangan sampai belajar sejarah justru dari Belanda, Inggris atau Amerika Serikat.

Penghargaan

Pada Rakornas kali ini, diserahkan penghargaan Bidang Penanggulangan Bencana untuk pemerintah daerah, media, dunia usaha, masyarakat dan perguruan tinggi. Koranbernas.id menjadi salah satu penerima penghargaan tersebut.

Koranbernas.id selama tiga bulan (Oktober, November dan Desember 2020) menjadi salah satu partner BNPB untuk menyosialisasikan penanggulangan bencana non-alam yakni pandemi Covid-19.

Sosialisasi berupa publikasi tentang pentingnya penanggulangan dan pencegahan penularan virus Corona, melalui gerakan perubahan perilaku masyarakat tentang pentingnya protokol kesehatan. Yakni menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir serta menjauhi kerumunan.

Penghargaan diberikan pula kepada lembaga usaha seperti Garuda Indonesia, Bank Danamon. Tak ketinggalan, pegiat terumbu karang dari Kota Palu, Ahmad Maliki.

Kemudian, Dede Nurjaman pemusara jenazah Covid dari RSSD Wisma Atlet juga menerima penghargaan. Ada juga Sri Mulyati, pengemudi ambulans Covid RSDC Wisma Atlet.

Sedangkan kategori organisasi masyarakat, penghargaan antara lain diterima INTI, UNICEF, Baznas, ILUNI. Dari kampus, penerima penghargaan itu di antaranya UI dan IPB. (*)