Ada Oknum Memicu Protes Warga atas Dugaan Pemotongan Uang Ganti Rugi Bendungan Bener

Ada Oknum Memicu Protes Warga atas Dugaan Pemotongan Uang Ganti Rugi Bendungan Bener

KORANBERNAS.ID, PURWOREJO – Beredar kabar dugaan pemotongan sebesar lima persen UGR (uang ganti rugi) yang diterima 30 warga terdampak Bendungan Bener Purworejo Jawa Tengah.

Seperti diberitakan, pada 20 Maret 2022 sejumlah 30 warga Desa Limbangan Kecamatan Bener mengadu ke DPD LSM Tamperak. Mereka keberatan ada pemotongan lima persen.

Ketua LSM Tamperak kemudian melayangkan surat ke Kapolri agar segera menindaklanjutinya. Surat juga ditujukan ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Bareskrim Mabes Polri, Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi  Jawa Tengah, Ombudsman, Saber Pungli, Kepala Kepolisian Resor Purworejo serta Kejaksaan Negeri Purworejo.

Mereka meminta permasalahan yang menyangkut warga terdampak Bendungan Bener segera terselesaikan dan masyarakat terdampak bisa mendapatkan rasa keadilan.

Ketua LSM Tamperak, Sumakmun, kepada wartawan menyebut paguyuban Masterben (Masyarakat Terdampak Bendungan Bener) yang melakukan pemotongan lima persen.

Sebelumnya, pada Minggu (20/3/2022) Sumakmun mengatakan warga terdampak mengadu, apabila tidak memberi uang lima persen dari UGR, akan diancam. Warga sudah memberikan beberapa bukti.

"Terkait potongan lima persen dari UGR, warga tidak paham potongan tersebut buat apa? Banyak warga merasa keberatan walaupun tidak semuanya," ucapnya.

Menanggapi itu, perwakilan Masterben Desa Limbangan, Suharyono, mengatakan 280 pemilik lahan terdampak Bendungan Bener mayoritas sepakat meminta pendampingan hukum kepada  Hias Negara dan Rekan.

“Pendamping hukum tersebut kami undang untuk bertemu warga pemilik lahan terdampak Bendungan Bener, sebanyak tiga kali. Hanya dua orang yang menolak pendampingan hukum. 30 orang yang mengadu ke LSM Tamperak termasuk warga yang sepakat meminta pendampingan hukum,” kata dia.

Suharyono menambahkan, pertemuan pertama berlangsung di rumahnya (20/4/2021). Pertemuan kedua di Balai Desa Limbangan, Sabtu (1/5/2021). Pada pertemuan tersebut dijelaskan hak dan kewajiban apabila meminta pendampingan.

Pertemuan ketiga di Mushala Pungangan, Senin (3/5/2021), berisi penandatanganan kesanggupan. "Tidak ada ancaman atau paksaan pendampingan hukum. Kalau ada yang menyebut, paksaan, itu fitnah dan pencemaran nama baik," ujarnya, Selasa (22/3/2022), di Mushala Pungangan.

Dia melanjutkan, pendamping hukum akan diminta mengkaji langkah hukum adanya dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE terhadap pihak yang melakukan fitnah.

"Kami trauma dengan terjadinya peristiwa 9 Desember 2019 saat musyawarah, warga tidak diberi kesempatan mengusulkan nilai UGR. Nilai yang diberikan sangat kecil (Rp 60 ribu). Kami ingin dibantu pendamping hukum agar proses pembebasan lahan di Desa Limbangan dilakukan serentak agar tidak terjadi kecemburuan sosial dan menjaga kerukunan," kata Suharyono.

Setelah pembayaran UGR, menurut dia, mantan kepala desa (kades) Limbangan meminta uang kepada warga melalui pengurus paguyuban, karena merasa punya jasa saat menjadi kades.

Pengurus paguyuban melakukan rapat. Atas pertimbangan kemanusiaan, mantan kades tersebut diberikan uang Rp 100 juta. "Mantan Kades menerima Rp 100 juta tetapi minta tambah Rp 200 juta. Kami tidak memberi lagi, karena memberatkan," sebutnya.

Menurut Ketua Paguyuban Desa Limbangan, mantan kades tersebut menyampaikan jangan sampai masalah ini membesar. Setelah itu, LSM atau kuasa hukum kades mendatangi pengurus paguyuban, meminta agar paguyuban menuruti. "Karena kami tidak menuruti kemauan kades itu, maka persoalan ini muncul," ujar Suharyono.

Salah seorang warga Desa Limbangan, Tumiyah, turut serta meminta pendampingan hukum dari Hias Negara dan Rekan. "Kula ndherek kersane lemahe payu larang (saya ikut agar tanah laku mahal)," ujarnya kepada wartawan.

Nenek berusia 70 tahun tersebut merasakan hasil kerja tim pendamping hukum. Tanah sawahnya seluas 3.000 meter persegi dihargai Rp 400 juta. “Saya sudah membayarkan potongan lima persen sebesar Rp 20 juta," kata Tumiyah.

Eko Siswoyo selaku Ketua Paguyuban Masterben mengatakan pendampingan tidak ada paksaan. "Ada dua orang tidak ikut pendampingan, tidak apa-apa. Kami klarifikasi tidak ada unsur pemerasan dan pungli di Desa Limbangan, saya wajib mengklarifikasi karena sudah menyebut nama paguyuban," jelas Eko.

Dia menegaskan pihaknya tidak pernah memaksa. Kalau itu dilontarkan kepadanya, merupakan fitnah yang keji. "Kami akan mengkaji dengan pendamping hukum, perbuatan ini bisa dimasukkan perbuatan tidak menyenangkan atau pelanggaran UU ITE, karena sudah menyebut nama paguyuban," tegasnya. (*)