Waspadai Iming-iming Kerja di Luar Negeri Bergaji Besar

Tercatat lebih dari 2.800 PMI/Warga Negara Indonesia (WNI) jadi korban TPPO.

Waspadai Iming-iming Kerja di Luar Negeri Bergaji Besar
Sejumlah pembicara dalam FIRTUAL bertajuk “Pencegahan TPPO Melalui Online Scamming” di UAJY, Selasa (14/11/2023). (istimewa).

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pekerja Migran Indonesia (PMI) perlu lebih waspada. Sebab saat ini praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) khususnya yang bermodus penipuan daring atau online scamming marak.

"Hingga Agustus 2023, tercatat lebih dari 2.800 PMI/Warga Negara Indonesia (WNI) jadi korban TPPO. Kasus online scam ditangani oleh Perwakilan RI di negara-negara Asia Tenggara," kata Astrid Ramadiah Wijaya, Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Dalam Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (FIRTUAL) dengan tema Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Melalui Online Scamming di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Selasa (14/11/2023).

Astrid  menyampaikan TPPO perlu diwaspadai oleh masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang aktif mencari lowongan pekerjaan di situs daring dan media sosial.

Karenanya Kementerian Komunikasi dan Informatika berperan dalam pencegahan TPPO melalui dua strategi. Diantaranya menindak konten atau situs yang telah melakukan perekrutan tenaga kerja secara ilegal. Jika menemukan konten-konten atau iklan di media sosial yang mengarah ke TPPO, instansi dan masyarakat dapat menyampaikan aduan ke situs aduankonten.id.

ARTIKEL LAINNYA: Literasi Keagamaan Nusantara Tingkatkan Kerukunan Umat

"Strategi kedua adalah melakukan berbagai sosialisasi akan bahaya TPPO seperti kegiatan hari ini,” ungkapnya.

Astrid menambahkan, perkara TPPO telah menjadi urgensi yang dibahas dalam pertemuan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo. Para pemimpin ASEAN mendeklarasikan Pemberantasan Perdagangan Manusia Akibat Penyalahgunaan Teknologi, sebagai bentuk keseriusan ASEAN untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas penegak hukum dan lembaga terkait, serta memberikan bantuan kepada korban," ungkapnya.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Judha Nugraha menjelaskan lowongan kerja di luar negeri dengan penawaran yang begitu menarik menjadi awalan dari modus operandi online scamming.

“Lowongan kerja ini ada di sekitar kita, beredar di sosial media dan menjadi pintu masuk dari kasus-kasus online scam. Dari kasus-kasus yang kami tangani, kasus ini berawal dari lowongan kerja di medsos yang menawarkan gaji dan fasilitas besar,” jelasnya.

ARTIKEL LAINNYA: Angin Kencang Merusak Belasan Rumah di Kedawung

Korban yang terpedaya, dijelaskan Judha, akan diurus tiket dan dokumen perjalanannya tanpa ada visa kerja. Kemudian korban akan dibawa ke negara tujuan ataupun ke negara-negara transit untuk dipekerjakan sebagai online scammer (penipu daring).

Korban dipekerjakan untuk menjadi penipu, salah satunya love scam yang mendekati target dengan pendekatan romantis dan diajak untuk investasi bodong atau mengirimkan sejumlah uang.

“Begitu tiba di perusahaan online scam center, mereka akan dipaksa membuat akun-akun media sosial palsu dan kemudian diberikan daftar target korban dan jumlah target yang harus dicapai dalam satu bulan. Rata-rata targetnya sekitar Rp 60 juta dan ketika tidak mencapai target akan ada sanksi seperti penyiksaan verbal, fisik, atau ancaman akan dijual ke perusahaan scam yang lain,” tambah Judha.

Permasalahan TPPO yang terjadi saat ini tidak hanya menyasar kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Lewat modus online scamming, praktik TPPO kini menyasar korban yang melek teknologi dan tergolong dalam usia produktif. Profil korban yang dituju umumnya berusia muda yakni 18–35 tahun.

“Korban biasanya berasal dari usia muda, berpendidikan, bahkan kami pernah mencatat korban dengan gelar master (pascasarjana), dan yang umumnya akrab dengan berbagai teknologi digital,” tandasnya.

ARTIKEL LAINNYA: Artatix Mampu Melacak Tiket Palsu

Kepala Subdirektorat V/Siber, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Asep Suherman, turut sepakat terkait profil korban TPPO saat ini. Korban tidak lagi berasal dari golongan prasejahtera dan tidak berpendidikan, namun kini bergeser ke kelompok berpendidikan yang hampir setiap saat terpapar teknologi.

“Selain lewat media sosial, perekrutan online scamming juga dapat terjadi lewat kerabat, teman, atau kenalan. Karena korban yang sudah terjerat akan diancam, didenda, atau diiming-imingi komisi untuk merekrut pekerja lain,” jelas Asep.

Menurut dia, korban TPPO kadang kala tidak mau melaporkan kepada pihak berwajib karena adanya rasa malu. Selain itu, korban juga menerima ancaman atau tidak mengetahui dengan jelas pelaku perekrutan. Pencegahan dan sosialisasi kepada masyarakat, tentunya begitu penting. Khususnya untuk tidak mudah terbuai oleh berbagai lowongan kerja di luar negeri.

“Celahnya karena ada angan-angan dan pandangan bahwa jika bekerja di luar negeri adalah suatu pencapaian dan dinilai hebat. Apalagi jika diiming-imingi dengan gaji yang besar, kejahatan ini harus bersama-sama ditangkal karena TPPO sangat terorganisir dan sistematis,” jelas Asep.

Dosen dan Ketua Bagian Sistem Peradilan Fakultas Hukum UAJY, Al Wisnubroto mengungkapkan generasi muda termasuk ke dalam kelompok yang rentan sebagai korban. Khususnya, para lulusan baru (fresh graduate) yang sibuk mencari pekerjaan.

Peran orang tua supaya lebih waspada terhadap berbagai lowongan kerja sangat penting. Jangan sampai mendorong anak untuk bekerja di luar negeri hanya karena tawarannya yang menarik.

“Para lulusan yang belum menemukan pekerjaan, seringkali menemukan pertanyaan dan tekanan dari sekitar, yang bisa jadi akan terjebak pada lowongan-lowongan kerja di luar negeri yang persyaratannya mudah. Jangan sampai hal seperti ini pada teman-teman mahasiswa,” jelasnya. (*)