Warga Bantul Sadar Bahaya Politik Uang
Penggunaan uang untuk membeli suara hanya melahirkan pemimpin yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Menjelang pemilihan bupati dan calon bupati 2024, kesadaran politik warga Bantul semakin meningkat. Hal ini tercermin dari pernyataan beberapa warga yang menegaskan bahwa mereka tidak akan memilih berdasarkan amplop uang yang diterima dari pasangan calon (paslon). Mereka menyadari bahaya politik uang, bahwa suara atau hak pilih mereka tidak bisa dihargai hanya dengan beberapa ratus ribu rupiah.
Seorang petani dari Srandakan, Sugeng, menyatakan dirinya mengetahui betapa kerasnya bekerja untuk mendapatkan hasil panen. "Uang dari paslon memang bisa membantu sementara, tapi saya tidak mau suara saya dibeli," terang dia.
Sugeng menegaskan dirinya akan memilih pemimpin yang benar-benar peduli dan punya rekam jejak baik, meskipun baru di tingkat kelurahan.
Seorang pengemudi ojek online yang tinggal di Banguntapan, Haryadi, mengatakan ingin menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, dirinya akan benar-benar menyeleksi calon kepala daerah yang terbaik, bukan seperti memilih kucing dalam karung.
Perubahan positif
"Saya sering mendengar keluhan dari penumpang tentang kondisi Bantul. Kami butuh pemimpin yang amanah dan punya komitmen memajukan Bantul di segala lini," ungkapnya.
Pengalaman dari beberapa pemilihan umum sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan uang untuk membeli suara hanya melahirkan pemimpin yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat. Dia pun berharap, pemilihan bupati 2024 dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi Bantul.
Jogja Corruption Watch (JCW) mendorong sanksi terhadap praktik politik uang pada pilkada diperberat untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku politik uang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada semua level, termasuk di Bantul, didorong untuk meningkatkan patroli pengawasan.
"JCW mendorong Bawaslu di semua level untuk meningkatkan patroli pengawasan yang dimulai pada masa kampanye seperti sekarang ini karena yang penting adalah mencegah terjadinya praktik politik uang agar tidak terjadi. Lakukan pengawasan setiap tahapan Pilkada," tegas Baharuddin Kamba, aktivis JCW kepada awak media, Kamis (24/10/2024).
Memberi tindakan
Hal ini penting agar membuat para pelaku takut melakukan politik uang. Bila ditemukan adanya praktik politik uang, seharusnya Sentra Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) langsung memberi tindakan kepada pelaku dengan jerat pidana.
"Bawaslu seharusnya dapat melanjutkan ke tindak pidana dan ke Sentra Gakkumdu karena politik uang termasuk larangan kampanye yang berakibat terhadap tindak pidana pemilu termasuk Pilkada," kata dia.
Selain itu JCW juga mendorong adanya pengawasan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana kampanye seluruh paslon dalam kontestasi Pilkada di seluruh Kabupaten maupun Kota ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kamba juga menegaskan, saat ini sanksi terkait politik uang yang diatur di Undang-Undang Pemilu masih tergolong ringan. “Kalau kita melihat Pasal 523 baik dari ayat 1 sampai dengan ayat 3 di Undang-Undang Pemilu, sanksi terhadap politik uang tidak terlalu tinggi, baik dari pemberian pidana penjaranya maupun juga pidana dendanya. Pemberian sanksinya ada yang 1 tahun, kemudian ada yang 2 tahun,” kata dia.
Ketentuan
Menurut dia, Undang-Undang Pemilu saat ini belum cukup komprehensif mengatur tentang politik uang. "Tidak ada ketentuan secara spesifik yang mengatur apa itu politik uang. Namun, ada sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang mengatur kegiatan aktivitas atau perbuatan yang mengarah pada politik uang yaitu Pasal 280 dan Pasal 253," terang dia.
Apabila dilihat pada Pasal 253, lanjut Kamba, ada periode waktu aktivitas atau perbuatan bisa disebutkan politik uang, di antaranya dilakukan pada masa kampanye, masa tenang, hari pemungutan suara, dan perhitungan suara. Sementara, di luar itu tidak bisa disebut politik uang.
Alhasil, aturan tersebut dinilai belum cukup komprehensif karena proses Pilkada cukup panjang dan melelahkan. Peluang atau potensi politik uang terjadi di luar periode itu sangat besar.
"Konsekuensinya ketika terjadi di luar periode yang telah diatur, maka tidak bisa dilanjutkan ke penanganan ke tahap berikutnya," tandasnya. (*)